JAKARTA – Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Ali Fikri, mengatakan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bukan lagi perkara pidana setelah putusan kasasi Mahkamah Agung, dua tahun lalu. Putusan kasasi itu dikuatkan dengan keputusan KPK yang menghentikan penyidikan perkara BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. "Kalau bicara hukum, sudah bukan tindak pidana, karena putusan MA bilang demikian," kata Ali Fikri, kemarin.
Skandal ini berawal dari krisis moneter pada September 1998. Lalu pemerintah, melalui Bank Indonesia, memberikan bantuan kepada bank-bank yang hampir bangkrut terkena krisis itu melalui skema BLBI. Kemudian Bank Indonesia menyalurkan bantuan Rp 147,7 triliun kepada 48 bank pada Desember 1998.
Bantuan BLBI itu ditengarai tidak digunakan sesuai dengan peruntukan. Bantuan ini diduga banyak diselewengkan oleh penerimanya. Audit Badan Pemeriksa Keuangan pada Agustus 2000 menemukan ada kerugian negara penggunaan bantuan ini hingga Rp 138,7 triliun.
Di tengah memanasnya temuan BPK, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Isinya, memberikan kewenangan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk menerbitkan surat keterangan lunas kepada para debitor yang sudah melunasi utangnya. Surat keterangan lunas ini juga ditengarai bermasalah.
Aksi unjukrasa menuntut pengusutan tuntas kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta Selatan, 2014. Dokumentasi TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Ketika skandal ini bergulir, Kejaksaan Agung turun tangan. Lembaga ini mengusut keterlibatan beberapa petinggi Bank Indonesia, seperti Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin dan tiga bekas Direktur Bank Indonesia, yakni Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo. Kasus keempatnya berlanjut ke pengadilan. Mereka divonis bersalah telah menyelewengkan dana BLBI.
Kejaksaan Agung juga menelusuri para pihak penerima bantuan. Di tengah jalan, Kejaksaan Agung menghentikan sejumlah pengusutan skandal BLBI yang melibatkan para obligor.
KPK periode kedua juga sempat menangani skandal BLBI ini. Ketika itu, Ketua KPK periode 2007-2011, Antasari Azhar, membentuk empat tim untuk melakukan penyelidikan skandal ini. Tapi penyelidikan itu tersendat setelah Antasari Azhar menjadi tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen. Antasari pun diberhentikan dari jabatan Ketua KPK pada 2009.
Pimpinan KPK periode berikutnya melanjutkan pengusutan skandal BLBI. Ketua KPK 2011-2015, Abraham Samad, membentuk satuan tugas untuk mengusut perkara ini. Di tengah jalan, Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK 2011-2015, Bambang Widjojanto, juga diberhentikan dari jabatan pimpinan lembaga antirasuah itu. Abraham diberhentikan setelah polisi menetapkannya sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen, dan Bambang jadi tersangka saksi palsu di pengadilan.
Pengusutan skandal BLBI dilanjutkan di era Ketua KPK 2015-2019, Agus Rahardjo. Di eras Agus ini, KPK menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka korupsi BLBI. Ia jadi tersangka terkait dengan penerbitan surat keterangan lunas kepada Bank Dagang Nasional Indonesia milik Sjamsul Nursalim. BDNI mendapat kucuran dana BLBI sebesar Rp 47,2 triliun. Dua tahun setelah Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka, KPK menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka.
Dari penelusuran KPK, Sjamsul disinyalir belum melunasi utang BLBI. Berdasarkan bukti dokumen dan keterangan saksi, Sjamsul melunasi utang menggunakan aset pinjaman petambak PT Dipasena sebesar Rp 4,8 triliun. Belakangan diketahui bahwa aset itu bermasalah. Meski tahu bahwa aset Sjamsul bermasalah, Syafruddin tetap menerbitkan surat keterangan lunas kepada BDNI.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat memutus Syafruddin bersalah karena telah merugikan negara Rp 4,58 triliun. Di tingkat banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Syafruddin menjadi 15 tahun penjara.
Namun vonis itu dimentahkan lewat putusan kasasi Mahkamah Agung, tiga tahun lalu. Hakim kasasi melepas Syafruddin dengan alasan perbuatannya tidak masuk ranah pidana. Saat itu, tiga majelis hakim kasasi, yaitu Salman Luthan, Syamsul Rakan Chaniago, dan Mohammad Askin, berbeda pendapat. Salman sependapat dengan putusan pengadilan tinggi. Sedangkan Syamsul Rakan menyatakan tindakan Syafruddin merupakan perbuatan hukum perdata. Lalu Askin menyatakan perbuatan itu masuk ranah hukum administrasi.
Belakangan terungkap bahwa Syamsul Rakan bertemu dengan pengacara Syafruddin, Ahmad Yani, dua pekan sebelum putusan. Akibatnya, Syamsul Rakan dinyatakan melanggar etik dan dikenai sanksi non-palu selama 6 bulan.
Meski Syafruddin divonis lepas, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif kala itu memastikan lembaganya tak akan berhenti menyelesaikan kasus BLBI. Laode meyakini kasus Sjamsul dan Itjih masih bisa dilanjutkan karena bukan perkara suap, melainkan perbuatan memperkaya diri dan orang lain. "Ini bukan kasus suap yang ada pemberi dan penerima," kata Laode pada 11 Juli 2019.
KPK berupaya melawan putusan kasasi dengan mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Upaya hukum luar biasa ini juga gagal. Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali KPK dengan alasan penegak hukum tidak berhak mengajukan PK. Putusan ini ditindaklanjuti di era Ketua KPK 2019-2023, Firli Bahuri. KPK memutuskan menghentikan penyidikan kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.
MAYA AYU PUSPITASARI