JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyidikan perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Alasan KPK menghentikan penyidikan adalah tak ada lagi unsur penyelenggara negara yang terlibat dalam kasus tersebut setelah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung, divonis bebas. “Syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, kemarin.
Alexander mengatakan kapasitas Sjamsul dan Itjih adalah sebagai pelaku yang turut serta melakukan korupsi bersama Syafruddin Temenggung. Ia mengatakan keputusan KPK menghentikan penyidikan perkara Sjamsul dan Itjih itu merupakan imbas dari putusan lepas Syafruddin di tingkat kasasi.
Sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang KPK, lembaga ini berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan penegak hukum atau penyelenggara negara. Jadi, vonis lepas Syafruddin membuat perkara Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim tak lagi memenuhi syarat.
Itjih Nursalim di kantor BPPN, Jakarta, 2002. Dokumentasi TEMPO/ Bagus Indahono
Peran Syafruddin Temenggung sesungguhnya tergambar jelas dalam putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, tiga tahun lalu. Majelis hakim memutuskan Syafruddin bersalah dalam menerbitkan surat keterangan lunas kepada Sjamsul selaku obligor BLBI. Perbuatan Syafruddin itu membuat negara rugi Rp 4,58 triliun.
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Syafruddin dengan hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta. Hukumannya diperberat di tingkat banding menjadi 15 tahun penjara. Namun, di tingkat kasasi, hakim Mahkamah Agung melepaskan Syafruddin dengan alasan perbuatannya tidak masuk ranah pidana.
Saat itu, tiga majelis hakim kasasi, yaitu Salman Luthan, Syamsul Rakan Chaniago, dan Mohammad Askin, berbeda pendapat. Salman sependapat dengan putusan pengadilan tinggi. Sedangkan Syamsul Rakan menyatakan tindakan Syafruddin merupakan perbuatan hukum perdata. Lalu Mohammad Askin menyatakan perbuatan itu masuk ranah hukum administrasi.
Belakangan terungkap bahwa salah satu majelis hakim kasasi bertemu dengan pengacara Syafruddin sebelum putusan. Syamsul Rakan bertemu dengan Ahmad Yani, pengacara Syafruddin, pada 28 Juni 2019 atau dua pekan sebelum putusan di Plaza Indonesia, Jakarta. Akibatnya, Syamsul Rakan dinyatakan melanggar etik dan diberi sanksi non-palu selama 6 bulan.
KPK melawan vonis lepas Syafruddin tersebut dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK). Tapi Mahkamah Agung menolaknya dengan alasan tidak memenuhi syarat formal, karena PK hanya bisa dilakukan oleh terpidana dan ahli warisnya sesuai dengan Pasal 263 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan lembaganya meminta pandangan sejumlah ahli dari berbagai universitas sebelum memutuskan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Hasil diskusi itu menyimpulkan tak ada upaya hukum lagi yang bisa dilakukan oleh KPK. “Tidak ada upaya lain yang bisa dilakukan KPK,” kata Ali.
Selain meminta pendapat ahli, kata Ali, lembaganya melakukan gelar perkara tiga kali. Hasil gelar perkara tersebut secara bulat menyepakati bahwa kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim tak bisa dilanjutkan. “Semua sepakat, dari direktur penuntutan, struktural, dan semua pemimpin,” ujarnya.
Berbagai kalangan sudah memprediksi nasib kasus BLBI di KPK pasti akan berujung SP3 setelah putusan lepas Syafruddin. Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bebasnya Syafruddin bisa menguatkan upaya menyalahkan langkah KPK.
Ia juga mengingatkan bahwa, meski majelis hakim kasasi menyatakan unsur pidana tidak ditemukan dalam tindakan Syafruddin, bukan berarti tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan. “Artinya, proses BLBI memang melanggar hukum. Maka potensi terdakwa terjerat pidana jauh lebih kuat,” kata Feri.
Hal senada diungkapkan peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana. Dia menganggap kebijakan SP3 itu harus dipandang sebagai upaya pelemahan KPK. Ia berpendapat, sebelum Undang-Undang KPK direvisi pada 2019, KPK tidak diberi kewenangan untuk menghentikan perkara. Jadi, setiap perkara yang masuk ke tahap penyidikan harus didasarkan pada bukti yang kuat. “Tak adanya kewenangan untuk menghentikan perkara juga tak lepas dari upaya mencegah bancakan kasus korupsi,” kata Kurnia.
Menurut Kurnia, jika KPK tak mampu melanjutkan pengusutan perkara, seharusnya lembaga ini melimpahkannya ke penegak hukum lain. “Agar penegak hukum lain yang melanjutkan atau menghentikannya,” ujarnya.
Ia berpandangan, semestinya KPK tak terburu-buru menghentikan penyidikan kasus BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim itu. Sebab, kedua tersangka belum pernah diperiksa. KPK seharusnya mencoba mendengarkan pendapat kedua tersangka sebelum memutuskan menerbitkan SP3.
“Karena tidak ada konsekuensi putusan lepas Syafruddin dengan tersangka. Itu urusan lain,” katanya. “Seharusnya tetap dilanjutkan dengan memeriksa Sjamsul Nursalim dan dikaitkan dengan alat bukti yang lain, baru bisa dikatakan SP3.”