JAKARTA – Langkah Kepolisian Resor Surakarta, Jawa Tengah, yang memanggil Arkham Mukmin, warga Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, ke markas polisi itu menuai sorotan. Polisi memanggil Arkham karena dianggap telah menyebarkan kabar bohong tentang Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka di media sosial. Arkham juga dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Di kantor polisi, Arkham lantas meminta maaf dan menghapus komentarnya tentang Gibran di media sosial. Permintaan maaf ini direkam, lalu diunggah di akun resmi Polresta Solo, yaitu @polrestasurakarta, Senin lalu. Setelah itu, polisi melepas Arkham.
Menanggapi metode penanganan ini, Kepala Sub-Direktorat I Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Komisaris Besar Reinhard Hutagaol, mengatakan kepolisian tidak akan menjadikan langkah Polresta Surakarta itu sebagai model penyelesaian pelaku pelanggaran UU ITE. Namun, kata dia, kepolisian akan melakukan pendekatan berbeda dalam setiap kasus, dengan mempertimbangkan analisis dari dampak unggahan di media sosial terhadap masyarakat.
“Tergantung situasi. Kami selalu melihat analisis dampak kepada masyarakat, bergantung pada analisis tersebut,” kata Reinhard, kemarin.
Reinhard mengatakan, dalam menangani perkara UU ITE, Polri menggunakan pendekatan restorative justice. Sesuai dengan pendekatan ini, kepolisian akan lebih dulu memperingatkan terduga pelanggar UU ITE. Lalu, saat polisi perlu memanggil terduga pelanggar, polisi akan mengacu pada UU ITE.
Reinhard juga membantah anggapan bahwa perkara Arkham itu mengindikasikan bahwa polisi mengawasi khusus akun media sosial para pejabat publik. Ia mengatakan pihaknya justru sering menerima laporan adanya dugaan pelanggaran UU ITE dari para pengikut akun media sosial pejabat publik.
Ia juga menyinggung program Badge Awards atau pemberian penghargaan berupa lencana kepada masyarakat yang aktif melaporkan dugaan tindak pidana di media sosial. Reinhard menjelaskan bahwa penghargaan itu merupakan kebijakan Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim bagi masyarakat yang membantu kerja-kerja polisi siber. “Tentu setelah diverifikasi. Kami akan mengecek benar atau tidak informasinya,” ujarnya.
Perkara Arkham ini berawal ketika mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta itu mengomentari sebuah foto yang diunggah oleh @garudarevolution di Instagram pada 13 Maret lalu. Foto itu terkait dengan keinginan Gibran agar final pertandingan sepak bola Piala Menteri Pemuda dan Olahraga digelar di Solo. Lalu Arkham mengomentari keinginan putra sulung Presiden Joko Widodo ini. “Tau apa dia tentang sepak bola, taunya cmn dikasih jabatan saja,” kata Arkham, sebelum komentar ini dihapus di media sosial.
Komentar Arkham ini terpantau oleh tim polisi virtual Polresta Solo. Polisi virtual ini diaktifkan sejak Listyo Sigit Prabowo menjadi Kepala Polri, Februari lalu. Tugas utama polisi virtual adalah memantau media sosial dari berbagai unggahan yang mengarah pada pelanggaran UU ITE.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Jakarta, 9 Februari 2020. TEMPO/Imam Sukamto
Kepala Polresta Surakarta Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak mengatakan pihaknya memanggil Arkham ke markas Polresta Solo pada Senin lalu karena komentarnya mengandung unsur hoaks. Ia mengatakan frasa “taunya cmn dikasih jabatan saja” dianggap bermasalah. “Jabatan itu didapatkan dari hasil pilkada sesuai dengan tahapan dalam undang-undang,” kata Ade Safri.
Ade mengatakan kepolisian menggunakan pendekatan restorative justice dalam kasus Arkham tersebut. Ia mengklaim metode yang diterapkan anak buahnya merupakan implementasi Program Prioritas Kapolri dan Instruksi Kapolri yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Ia menegaskan, kepolisian bakal menindak tegas pelaku yang berpotensi memecah belah persatuan, seperti menyebar konten berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA); radikalisme; dan separatisme. “Hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum,” katanya.
Adapun Wali Kota Solo Gibran Rakabuming mengaku tidak pernah melaporkan orang-orang yang menghinanya ke polisi. Meski demikian, ia tak mempersoalkan langkah polisi terhadap kasus Arkham itu. “Agar masyarakat semakin berhati-hati di media sosial,” katanya.
Gibran mengaku tidak antikritik. Ia justru berharap masyarakat menyampaikan kritik di akun media sosialnya. “Di Instagram saya, tidak semua memuji kok. Banyak juga yang memberi kritik,” ujarnya.
Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid. TEMPO/Imam Sukamto
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengkritik penanganan kasus Arkham tersebut. Ia mengatakan, mesti tidak dikenai hukuman pidana, mahasiswa itu sempat tetap dibawa ke kantor polisi, lalu diminta meminta maaf.
Usman berpendapat, konsep restorative justice tidak relevan diterapkan dalam kasus Arkham. Alasannya, Arkham tidak melakukan kejahatan dan tidak ada korban yang harus mendapat keadilan. Ia pun mengklaim urusan Arkham tidak termasuk pelanggaran UU ITE yang selama ini disorot berbagai elemen masyarakat sipil.
“Jadi, memang bukan restorative justice permasalahannya, tapi ini memang bukan tindak pidana,” kata Usman.
Ia juga mengkritik program Badge Awards kepolisian. Usman menganggap program itu akan membuat masyarakat takut mengungkapkan pendapat yang kritis, sehingga menggerus ruang kebebasan berekspresi. Rencana pemberian lencana itu juga akan memicu banyaknya pelaporan dugaan pelanggaran UU ITE ke kepolisian.
Hal senada diungkapkan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati. Dia mengatakan Badge Awards akan memicu saling adu domba di masyarakat. “Itu akan berpotensi mengkriminalisasi orang lain. Ada relasi kuasa, siapa yang punya kekuasaan akan lebih didengar,” kata Asfinawati.
Peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, mengatakan keberadaan polisi virtual ini diduga kuat bertujuan membungkam kelompok masyarakat kritis. Indikasinya, kepolisian justru menghadirkan polisi virtual, lalu pemerintah tak memasukkan revisi UU ITE ke Program Legislasi Nasional Prioritas 2021, serta sejumlah pedoman dari pemerintah mengenai pelanggaran UU ITE.
“Ini ditujukan bagi mereka yang menggunakan kebebasan berekspresinya untuk dibungkam opini, kritik, gagasan dari masyarakat tanpa parameter terukur,” kata Rivan.