JAKARTA – Pemerintah berencana merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sekaligus membuat pedoman penafsiran pasal-pasal dalam undang-undang itu yang dianggap multitafsir. Penyusunan kedua agenda tersebut dilakukan berbarengan dengan membentuk dua tim. Namun pemerintah berencana menuntaskan lebih dulu pembuatan pedoman penafsiran tersebut.
Juru bicara presiden, Fadjroel Rachman, mengatakan perubahan undang-undang tersebut tidak bisa serta-merta dilaksanakan. Tapi pemerintah harus mengkaji secara mendalam pasal-pasal dalam UU ITE yang diduga multitafsir.
“Kami harus melakukan audit legal undang-undang tersebut, apa saja yang dirasakan masyarakat,” kata Fadjroel dalam diskusi virtual, kemarin.
Ia mengatakan, setelah audit legal itu, pemerintah akan menyusun naskah akademis untuk memperkuat basis keilmuan dalam merevisi UU ITE. Proses berikutnya adalah menyusun daftar inventarisasi masalah ketika proses usulan perubahan dilakukan bersama Dewan Perwakilan Rakyat.
Selain akan merevisi UU ITE, Fadjroel mengemukakan bahwa pemerintah mungkin akan meninjau sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan UU ITE, seperti pasal tentang pencemaran nama dan penghinaan.
Fadjroel menjelaskan, Presiden Joko Widodo hendak merevisi UU ITE karena merasa gerah atas maraknya insiden saling lapor, baik kubu oposisi maupun pendukung pemerintah. Ia mencatat ada 251 kasus terkait dengan UU ITE selama periode 2015-2020. Angka ini meningkat tajam dibanding periode 2008-2014 yang hanya sebanyak 72 kasus. Fadjroel menganggap tingginya angka pelaporan dugaan pelanggaran UU ITE turut ditunjang oleh meningkatnya pengguna Internet, dari 385 juta pada 2008 menjadi 820 juta pada tahun ini.
Menurut Fadjroel, karena proses revisi undang-undang tersebut membutuhkan waktu relatif lama, Presiden Jokowi telah menginstruksikan Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar lebih selektif dalam memilah pengaduan masyarakat terkait dengan UU ITE. Di samping itu, pemerintah meminta penegak hukum lainnya ikut menyusun pedoman interpretasi pasal-pasal karet tersebut. “Ini dalam rangka perjalanan menuju revisi UU ITE,” ujar Fadjroel.
Undangan merekam Presiden Joko Widodo dalam acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2021 di Ancol, Jakarta, 9 Februari 2021. Presiden Joko Widodo meminta revisi UU ITE pada 15 Februari lalu. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Rencana pemerintah merevisi UU ITE kembali mengemuka saat Presiden Jokowi memberikan arahan dalam rapat tertutup dengan pimpinan Tentara Nasional Indonesia dan Polri di Istana Negara, Senin lalu. Dalam pertemuan itu, Jokowi menyampaikan rencana merevisi UU ITE.
Hasil dari pertemuan itu diungkapkan Jokowi lewat akun Twitter-nya. Dia menegaskan bahwa DPR perlu mengubah UU ITE jika memang undang-undang itu menimbulkan rasa ketidakadilan. “Semangat awal UU ITE ini adalah untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, dan produktif,” katanya.
Mayoritas fraksi di parlemen merespons positif pernyataan Jokowi tersebut. Bahkan sejumlah anggota fraksi di DPR berharap Presiden Jokowi segera mengirim Rancangan Undang-Undang Perubahan ITE. Namun rencana revisi ini sempat menguap ketika pemerintah mengatakan akan memilih menafsirkan pasal-pasal karet dalam UU ITE.
Menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan pemerintah telah membentuk dua tim. Tim pertama bertugas menyusun pedoman penafsiran pasal-pasal yang dianggap multitafsir dalam UU ITE. Tim ini akan membuat kriteria implementatif agar tidak terjadi pasal-pasal karet. Tim tersebut dipimpin oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerald Plate. Lalu tim kedua bertugas mempelajari dan menyusun rencana revisi UU ITE.
Mahfud mengatakan kedua tim tersebut akan mendengar pendapat para pakar hukum, kelompok profesi, dan organisasi masyarakat sipil terkait dengan pasal-pasal yang dianggap multitafsir dalam UU ITE. Mereka juga akan membahas alasan mendesak untuk merevisi undang-undang tersebut.
Menurut Mahfud, pemerintah juga berencana mendiskusikannya dengan DPR. Sebab, pemerintah mendapat informasi bahwa ada beberapa anggota DPR yang tidak sependapat dengan revisi UU ITE karena dianggap akan membahayakan negara, khususnya di media sosial. “Dua tim ini akan mulai bekerja pada Senin, 22 Februari,” kata Mahfud.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, berpendapat bahwa kegelisahan Jokowi terkait dengan pasal karet dalam UU ITE tidak cukup dituangkan dalam rencana penyusunan pedoman penanganan perkara ataupun revisi beleid. Usman meminta Jokowi memerintahkan kepolisian dan kejaksaan untuk menghentikan pengusutan perkara yang berkaitan dengan regulasi tersebut.
Jokowi, kata Usman, juga semestinya mempertimbangkan pemberian amnesti bagi masyarakat yang diputus bersalah karena melanggar pasal pidana dalam UU ITE. Langkah ini pernah dilakukan Presiden saat memberikan pengampunan kepada Baiq Nuril Makmun, warga Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada 2019. Saat itu, Baiq divonis oleh Mahkamah Agung telah melanggar UU ITE karena merekam ucapan Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Mataram yang berisi konten pornografi kepadanya pada 2012.
“Langkah ini dapat dilakukan dengan pertimbangan kemanusiaan dari pemimpin negara untuk membebaskan orang-orang yang seharusnya tidak dipidana,” kata Usman.