JAKARTA – Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengapresiasi langkah tim kajian revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memanggil sejumlah korban serta pelapor aturan itu. Menurut Fickar, sudah seharusnya tim pengkaji membutuhkan masukan dari dua sudut pandang.
Dari para korban atau terlapor, tim bisa mengonfirmasi seberapa tepat para penegak hukum menafsirkan pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat korban. "Apakah peristiwa yang melibatkan korban memenuhi syarat untuk dituntut dengan Undang-Undang ITE," kata Fickar ketika dihubungi, kemarin.
Jika jeli, tim pengkaji bisa menemukan perkara yang sebenarnya terlalu jauh dari penafsiran penyidik tentang pasal-pasal dalam Undang-Undang ITE. Bahkan, sangat mungkin penegak hukum yang sengaja menggunakan tafsir dalam Undang-Undang ITE untuk membungkam suara kritis.
Adapun, dari para pelapor, Fickar berharap tim pengkaji bisa menemukan alasan utama digunakannya Undang-Undang ITE sebagai dasar laporan polisi. Salah satu pertanyaan besar adalah bagaimana teknologi informasi sebagai alat netral tapi ditafsirkan hingga merugikan pelapor. "Meski tidak ada kerugian secara nyata," kata Fickar.
Dalam hal ini, penyidik polisi punya peran penting. Singkat kata, bagaimana kepolisian menggunakan pasal dalam Undang-Undang ITE untuk mengakomodasi laporan tersebut. Walhasil, penyidik polisi punya wewenang untuk melanjutkan atau menggugurkan laporan pelanggaran Undang-Undang ITE tersebut. "Karena itu, jika revisi dilakukan, yang terpenting rumusan pasal-pasalnya harus jelas. Terutama di Pasal 27 dan 28," kata Fickar.
Namun, jika sulit merumuskan pasal yang tidak bisa ditafsirkan lain, tim pengkaji bisa mengupayakan memasukkan penjelasan pasal sebagai tafsir resmi. Tujuannya agar tak ada multitafsir di kalangan penegak hukum.
Menurut Fickar, problem utama Undang-Undang ITE adalah adanya perbedaan antara bunyi pasal dan praktiknya di tangan penegak hukum. "Kesewenangan itu lahir karena ketidakpastian bunyi pasal yang bisa ditafsirkan sesuai dengan kehendak seseorang alias pasal karet," kata dia.
Adapun pegiat hak asasi manusia Haris Azhar menyarankan tim pengkaji mengagendakan pertemuan dengan sejumlah lembaga dan organisasi yang sudah membuat kajian tentang Undang-Undang ITE. Sebab, selain sudut pandang korban dan pelapor, kajian akademis menjadi salah satu bahan penting untuk pertimbangan revisi Undang-Undang ITE. "Sudah banyak lembaga yang membuat kajian tentang Undang-Undang ITE, tim harus mendengar masukan mereka," kata Haris ketika dihubungi, kemarin.
Bahkan, untuk menambah sudut pandang, Haris menyarankan tim pengkaji berkomunikasi dengan ahli hukum, pengacara pendamping korban, hingga pegiat media sosial. Selain itu, Haris menyarankan tim kajian Undang-Undang ITE terbuka tentang metodologi dan kerangka kerja hingga batas waktu kerja mereka. "Supaya masyarakat bisa memantau kinerja mereka," kata dia.
Kemarin, tim kajian Undang-Undang ITE meminta masukan sejumlah narasumber. Mereka mengundang para korban laporan, seperti Baiq Nuril (guru), Dandhy Dwi Laksono (jurnalis dan pegiat lingkungan), Ahmad Dhani Prasetyo (musikus), Bintang Emon (komedian), serta Diananta Putra Sumedi (jurnalis).
Musisi Erdian Aji Prihartanto memenuhi panggilan pemeriksaan polisi berdasar laporan Ketua Umum Cyber Indonesia, Muannas Alaidid, di Polda Metro Jaya, Jakarta, 10 Agustus 2020. TEMPO/Nurdiansah
Selain korban terlapor, tim menghadirkan pengacara Muannas Al Aidid dan dosen Ade Armando. Pertemuan tersebut dihelat secara daring. Ketua tim kajian, Sugeng Purnomo, mengatakan masukan dari terlapor dan pelapor akan digunakan sebagai bahan pertimbangan tim.
"Baik untuk subtim 1, yang hasilkan panduan, maupun subtim 2, yang akan mengkaji kemungkinan revisi UU ITE," kata dia. Selain itu, Sugeng mengatakan tim akan meminta pandangan dari sejumlah aktivis hak asasi manusia, pakar hukum, masyarakat sipil, hingga pers.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menargetkan tim pengkaji Undang-Undang ITE bisa bekerja dalam tempo dua hingga tiga bulan. Mereka akan berdiskusi dengan sejumlah pihak untuk mencari pandangan obyektif tentang revisi Undang-Undang ITE.
Jika selesai bekerja, tim akan melaporkan hasil kerja mereka kepada Menteri Mahfud. "Kalau keputusannya harus revisi, kami akan sampaikan ke DPR," kata Mahfud, Senin pekan lalu.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional DPR, Saleh Partaonan Daulay, mendorong pemerintah mengambil inisiatif untuk merevisi Undang-Undang ITE. Sebab, menurut dia, jika revisi ini menjadi inisiatif pemerintah, prosesnya bisa dipercepat. "Kalau inisiatif DPR, perlu persetujuan dari seluruh fraksi," kata Saleh, kemarin.
PAN juga menilai pemerintah tidak akan kesulitan menyusun naskah revisi undang-undang tersebut. Sebab, pemerintah dan masyarakat sudah tahu betul pasal mana saja yang dianggap menjadi biang keladi. Menurut Saleh, revisi Undang-Undang ITE memang perlu diwujudkan untuk menghilangkan kesan niat pemerintah membatasi pengkritik. "Kami siap membahas revisi UU ITE bersama pemerintah," kata politikus berusia 46 tahun itu.