JAKARTA – Peran Ihsan Yunus semakin terang benderang dalam perkara dugaan korupsi bantuan sosial Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Kementerian Sosial. Namun Komisi Pemberantasan Korupsi belum juga memeriksa anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat itu hingga saat ini.
Tiga sumber Tempo yang mengetahui pengusutan perkara ini mengatakan ada beberapa kendala sehingga pemeriksaan terhadap Ihsan terhambat. Kendala utamanya adalah pimpinan KPK belum memberi lampu hijau atas pemeriksaan mantan Wakil Ketua Komisi VIII DPR tersebut. “Yang kami tahu, pimpinan KPK belum memberi izin,” kata sumber Tempo ini.
Sumber Tempo ini menceritakan bahwa nama Ihsan muncul dalam kasus korupsi bantuan sosial dari keterangan berbagai pihak. Politikus muda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu diduga mendapat kuota bantuan sosial sebanyak 4,56 juta paket senilai Rp 1,25 triliun. Ada tujuh perusahaan penyedia bantuan sosial yang mengerjakan kuota tersebut.
Dari situ, Ihsan diduga menerima fee sebesar Rp 12.500 untuk setiap paket bantuan sosial. Total fee yang ditengarai didapatkan Ihsan mencapai Rp 57 miliar. Angka ini diperoleh dari hasil perkalian antara fee sebesar Rp 12.500 dan kuota bantuan sosial jatah Ihsan sebanyak 4,56 juta paket.
Ihsan Yunus. dpr.go.id
Peran Ihsan juga terungkap dari rekonstruksi perkara ini di gedung KPK, Senin pekan lalu. Reka ulang itu terdiri atas 20 adegan. Adegan pertama menggambarkan Ihsan tengah bertemu dengan Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam Kementerian Sosial, Syafii Nasution, di ruang kerja Syafii pada Februari 2020. Pejabat pembuat komitmen, Adi Wahyono, ikut serta dalam pertemuan ini. Di sini, Ihsan tengah berkenalan dengan Syafii Nasution.
Adegan selanjutnya, nama Ihsan kembali muncul lewat Agustri Yogasmara, kaki-tangan Ihsan. Dalam beberapa adegan, Yogas—panggilan Agustri Yogasmara—digambarkan menerima uang miliaran rupiah serta dua unit sepeda Brompton dari Harry Van Sidabukke, tersangka perkara ini. Dalam rekonstruksi tersebut, tim KPK menuliskan atribusi Yogas sebagai operator Ihsan Yunus.
Selain Ihsan, nama Ketua Komisi Hukum DPR Herman Herry disebut-sebut terlibat dalam perkara korupsi bantuan sosial ini. Legislator PDI Perjuangan itu diduga mendapat kuota mencapai 7,6 juta paket senilai Rp 2,1 triliun. Keduanya diduga dengan mudah mendapat kuota karena bersahabat dengan Juliari Peter Batubara, Menteri Sosial saat itu yang juga Wakil Bendahara Umum PDI Perjuangan. Juliari menjadi tersangka kasus korupsi ini bersama Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso, pejabat pembuat komitmen lainnya. Dua tersangka lainnya berasal dari swasta, yaitu Ardian Iskandar Maddanatja dan Harry Sidabukke.
Aksi mendesak KPK segera mengusut kasus suap Bantuan Sosial penangangan pandemi di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 27 Januari 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Penelusuran Tempo dari sejumlah sumber mengatakan hambatan lain pengembangan kasus ini adalah Ketua KPK Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK, Karyoto, menghendaki agar penyidik mengembangkan perkara ini lebih dulu ke proses pengadaannya. Mereka menghendaki agar penyidik menggunakan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Aturan ini berbunyi bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, ataupun korporasi yang merugikan keuangan negara dipenjara maksimal 20 tahun.
Konsekuensi penggunaan Pasal 2 tersebut membuat KPK harus memulai dari awal pengusutan perkara ini, yaitu mulai dari membuka penyelidikan baru, lalu berlanjut ke penyidikan. Sedangkan tim penyidik menghendaki agar pengembangan perkara korupsi bantuan sosial ini dapat menggunakan pasal-pasal penyuapan disertai dengan Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Aturan itu berbunyi bahwa orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan pidana dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana. Pasal ini sering digunakan penyidik dalam pengembangan berbagai kasus korupsi yang ditangani oleh KPK. Penggunaan Pasal 55 ayat 1 ke-1 dianggap akan memudahkan pengembangan perkara korupsi bantuan sosial ke berbagai pihak.
Di luar dua hambatan tersebut, pengembangan perkara ini juga terhambat oleh proses pengejaran barang bukti. Sumber Tempo mengatakan, saat mulai menggeledah para vendor penyedia bantuan sosial pada pekan kedua Januari lalu, tim KPK sebenarnya juga berencana menggeledah rumah Ihsan Yunus dan Herman Hery. Tapi penggeledahan itu tak bisa dilakukan karena pimpinan KPK tidak mengajukan permohonan penggeledahan rumah keduanya ke Dewan Pengawas KPK–lembaga yang berwenang menerbitkan izin penggeledahan.
Saat itu, tim KPK hanya menggeledah lima kantor perusahaan, satu di antaranya adalah PT Dwimukti Graha Elektrindo. Perseroan yang beralamat di Jalan Panglima Polim, Nomor 28, Jakarta Selatan, itu milik Herman Hery dan Vonny Kristiani, istri Herman. Tim KPK juga menggeledah rumah orang tua Ihsan di Jalan Raya Hankam, Cipayung, Jakarta Timur, serta kediaman Agustri Yogasmara di Perum Rose Garden, Jati Asih, Bekasi.
Firli dan Karyoto belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Akhir pekan lalu, Karyoto mengatakan pengembangan perkara tersebut memang diharapkan melalui penyelidikan pengadaan barang dan jasa bantuan sosial Covid-19. "Kami kembalikan ke penyelidikan dulu untuk melakukan penyelidikan secara terbuka terhadap pengadaan barang dan jasanya. Nanti akan dikaji satu-satu," kata Karyoto.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, yang dimintai dikonfirmasi soal pemanggilan Ihsan, meminta agar menghubungi juru bicara KPK, Ali Fikri. "Coba ke pak jubir Ali, ya," katanya.
Adapun juru bicara KPK, Ali Fikri, menjawab diplomatis. Ia mengatakan lembaganya pasti akan memanggil saksi-saksi terkait untuk mengkonfirmasi segala temuan KPK. Namun, kata dia, pemanggilan saksi itu akan dilakukan selama dibutuhkan dalam proses penyidikan. “Pada prinsipnya, segala informasi yang berkembang dipastikan akan dikonfirmasi kepada para saksi,” kata Ali.
Hingga saat ini, Ihsan belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo. Namun sebelumnya ia membantah terlibat perkara tersebut. "Enggak benar itu. Fitnah," katanya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan reka ulang KPK itu sesungguhnya semakin menguatkan dugaan adanya pihak lain yang terlibat dalam kasus korupsi bantuan sosial tersebut. Dengan demikian, ia meminta KPK tidak mengulur waktu dalam menetapkan tersangka baru jika memang sudah mempunyai alat bukti yang cukup.
"Bila terlalu lama, si penyelenggara negara berpotensi menghilangkan alat bukti," kata Feri.
ROBBY IRFANY | DIKO OKTARA | M. ROSSENO AJI