JAKARTA – Hampir setahun pandemi Covid-19 melanda, pemerintah belum mampu mengatasi kekacauan data penanganannya. Dalam sepekan terakhir, dua pejabat publik mengungkapkan kekacauan data itu. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan hampir 2 juta data Covid-19 belum masuk ke sistem rekap data pemerintah. Kacaunya data pandemi juga dikeluhkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil karena data antara pemerintah pusat dan daerah tak sinkron.
Bagaimana Luhut mengungkapkan kacaunya data Covid-19 ini masih segar di ingatan pakar epidemiologi dari Universitas Griffith, Dicky Budiman. Dari Negara Bagian Queensland, Australia, Dicky mengikuti forum diskusi kelompok bersama Menteri Luhut, Kamis pekan lalu.
Pertemuan secara daring itu berjalan sekitar satu setengah jam, pada pukul 10.00-11.30 WIB. "Inisiator rapat Menteri Luhut. Saya dikontak staf beliau beberapa hari sebelumnya," kata Dicky ketika dihubungi Tempo, kemarin.
Menurut Dicky, pertemuan tersebut, antara lain, dihadiri sejumlah epidemiolog, organisasi dokter, serta organisasi kesehatan. Semula, Luhut membeberkan sejumlah capaian pemerintah dalam menangani pandemi dari hulu hingga hilir.
Menurut Dicky, penjelasan Luhut lebih banyak membahas tentang kuratif, seperti upaya pengobatan pasien Covid-19, rencana penambahan alat pelindung diri untuk tenaga kesehatan, serta penambahan kapasitas rumah sakit. "Minim pembahasan tentang preventif, pencegahan penularan Covid-19," kata dia.
Menjelang penutupan rapat, Luhut menyebutkan terdapat sekitar 2 juta data Covid-19 yang belum dimasukkan dalam data nasional. Budiman pun terkejut atas pernyataan Luhut. "Tapi kami tidak bisa mendalaminya karena keterbatasan waktu," kata Dicky.
Dalam siaran persnya, juru bicara Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, menegaskan 2 juta data tersebut bukan kasus positif yang ditutupi. Justru data tersebut berisi kasus-kasus negatif yang belum terlaporkan.
Jodi mengatakan, selama ini, sejumlah laboratorium cenderung lebih dulu melaporkan kasus positif agar segera mendapat penanganan. Walhasil, data kasus negatif tertunda pelaporannya. "Jumlah tes yang besar dan tenaga entry terbatas," kata Jodi, Sabtu pekan lalu.
Menurut Jodi, Luhut yakin tambahan 2 juta kasus negatif akan berpeluang menurunkan tingkat kepositifan secara nasional. Saat ini angka positivity rate di Indonesia saat ini mencapai 17,96 persen.
Dicky pun prihatin jika pernyataan Luhut itu benar. Sebab, terlepas data tersebut positif atau negatif, hal ini membuktikan bahwa pemerintah punya masalah besar dalam pendataan Covid-19. Dicky pun khawatir data yang dipakai pemerintah selama ini tentang jumlah kasus Covid-19 dan lainnya tak akurat. Padahal, data merupakan rujukan pemerintah dalam menentukan respons mengatasi pandemi selama ini. "Data yang keliru bisa berefek buruk saat pemerintah menyiapkan strategi melawan pandemi," kata dia.
Dicky menduga keterlambatan data tersebut disebabkan oleh rumitnya cara petugas laboratorium menyampaikan hasil tes ke dinas kesehatan atau Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di daerah. Bisa jadi keterbatasan sumber daya manusia yang melakukan pengujian di laboratorium membuat mereka tak punya waktu untuk melaporkan hasil tes kepada pemerintah.
Kemungkinan terburuk, kata Dicky, data dari daerah tersebut memang sengaja tidak dilaporkan ke pusat. Terlebih data tentang hasil positif Covid-19. Menurut dia, selama ini terdapat paradigma pemimpin daerah takut performanya dianggap buruk kalau banyak kasus positif. "Padahal, semakin bagus kalau pemimpin daerah menemukan banyak kasus. Itu bukti pelacakannya bagus," kata dia.
Ridwan Kamil mengatakan data yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah akan membuat pemetaan zonasi risiko menjadi kacau. Ia mengatakan hal itu setelah Kementerian Kesehatan mengumumkan Jawa Barat menjadi penyumbang kasus positif terbanyak, sebesar 4.601, pada Sabtu, 30 Januari lalu. Ridwan mengatakan ada kekeliruan data. "Kalau laporan kasus, kita masih berdebat. Sebab, kasus yang diumumkan masih bercampur dengan kasus yang lama,” kata dia.
Ia pun meminta Kementerian Kesehatan segera memperbaiki sistem pelaporan data. Hal itu agar perkembangan kasus bisa diumumkan secara real-time dan tidak lagi ada penundaan data. Menurut dia, data yang tak akurat bisa berdampak pada zonasi risiko dan pengambilan kebijakan di daerah.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, tak percaya pemerintah terlambat mencatat data Covid-19 hingga 2 juta. Pandu, yang ikut dalam rapat bersama Luhut, Kamis pekan lalu, curiga pemerintah sengaja ingin menambah 2 juta data negatif itu. "Bisa saja datanya sudah masuk, tapi dimasukkan ulang untuk menurunkan positivity rate," kata Pandu ketika dihubungi Tempo, kemarin.
Menurut Pandu, perkara data ini berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menangani pandemi. Masyarakat akan ragu akan mutu data yang dipaparkan pemerintah sampai saat ini. Bahkan masyarakat internasional bisa dibuat heran atas temuan data jumbo tersebut. "Data Covid-19 Indonesia juga dicatat dunia. Dunia bisa kaget, kok, bisa ada tambahan 2 juta data secara tiba-tiba," kata Pandu.
Pandu mengkritik kinerja Satgas Covid-19, terutama yang berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data. Sebab, kritik tentang data sudah dilontarkan para epidemiolog sejak Covid-19 masuk ke Indonesia, Maret 2020. "Masak hampir satu tahun masalah data saja tidak beres juga? Berarti selama ini mereka sudah sampaikan data yang salah kepada Presiden," kata Pandu.
Kementerian Kesehatan dan Satgas Covid-19 belum memberikan tanggapan soal temuan 2 juta data tersebut. Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, dan juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, tak merespons panggilan telepon Tempo.
Adapun Koordinator Data Kawal Covid-19, Ronald Bessie, menduga keterlambatan sejumlah laboratorium swasta melaporkan hasil pengetesan menjadi salah satu musabab 2 juta data Covid-19 yang mangkrak. Ronald khawatir laboratorium swasta belum diberi kewajiban untuk melaporkan data hasil pengujian mereka kepada pemerintah. "Sekelas DKI Jakarta tidak semua laboratorium swasta melaporkan data mereka kepada Satgas," kata Ronald.
Ia meminta pemerintah memberikan akses yang mudah bagi laboratorium swasta yang melayani pengetesan mandiri untuk melaporkan datanya. Dia pun mendesak pemerintah segera membereskan data dan bentuk integrasinya. "Pemerintah pusat bisa membagi beban input data dengan pemerintah provinsi. Akan berat kalau pemerintah pusat bekerja sendiri," kata Ronald.
INDRA WIJAYA