JAKARTA — Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) diproyeksi mencapai Rp 627,9 triliun tahun ini. Angka tersebut naik dari proyeksi yang diutarakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya sebesar Rp 619 triliun. Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan, Kunta Wibawa Dasa Nugraha, mengatakan alokasi anggaran tersebut berpotensi ditambah lagi. "Anggaran yang banyak naik adalah di sektor kesehatan," tutur Kunta, kemarin.
Menurut dia, alokasi anggaran tersebut diprioritaskan untuk membiayai vaksinasi nasional. Saat ini, anggaran untuk vaksinasi sudah dialokasikan sekitar Rp 70 triliun. Anggaran tersebut, menurut dia, tak hanya akan dipakai untuk membeli vaksin, tapi juga untuk distribusi, rantai dingin, hingga prasarananya, seperti jarum suntik dan tenaga kesehatan.
"Semua proses kesehatan kami sediakan anggaran, makanya naik signifikan di anggaran kesehatan," ujar Kunta. Anggaran juga ditambah untuk memperkuat protokol 3M, yaitu mengenakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Adapun realisasi anggaran program PEN hingga akhir Desember 2020 mencapai Rp 579,78 triliun atau 83,4 persen dari total pagu Rp 695,2 triliun. Sedangkan realisasi untuk bidang kesehatan mencapai Rp 63,51 triliun dari pagu Rp 99,5 triliun.
Petugas menyuntikkan vaksin Covid-19 Sinovac saat kegiatan vaksinasi massal di Denpasar, Bali, 4 Februari 2021. Foto: Johannes P. Christo
Rencana kenaikan porsi anggaran PEN pertama kali diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurut dia, kenaikan tersebut disebabkan oleh tantangan pandemi Covid-19 yang sangat dinamis dan tidak pasti. Rincian alokasi anggaran PEN tersebut antara lain Rp 133,07 triliun untuk kesehatan.
Adapun defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 dipatok di 5,7 persen. Sri Mulyani mengatakan anggaran tersebut diperlukan lantaran pandemi Covid-19 melumpuhkan kegiatan masyarakat dan ekonomi. "APBN 2020 dan 2021 bekerja sangat keras menjadi instrumen counter cyclical melawan Covid-19, melindungi rakyat dan ekonomi, serta memulihkannya," ujar Sri Mulyani.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, menuturkan pengendali perekonomian pada tahun ini adalah vaksinasi karena bisa meningkatkan konsumsi masyarakat, khususnya kelompok menengah atas. Menurut dia, kelompok ini menyumbang 82 persen konsumsi rumah tangga. Selain itu, ujar Iskandar, pemerintah bakal menggelontorkan bantuan sosial untuk meningkatkan konsumsi kelompok masyarakat bawah.
"Pemerintah bakal mendorong pembangunan infrastruktur, dana desa, dan pengeluaran fiskal lainnya," kata dia.
Pelaku usaha kecil menyerahkan berkas saat pendaftaran bantuan langsung tunai pelaku industri sektor UMKM tahap 2 di Arcamanik, Bandung, Jawa Barat, 16 November 2020. TEMPO/Prima Mulia
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai stimulus pada tahun lalu kurang efektif karena ada perencanaan yang salah pada awal pembentukan PEN. Menurut dia, masalah utama adalah kurangnya dukungan dari sisi kebijakan yang mendorong permintaan. Bhima menilai perlindungan sosial dan realisasi belanja kesehatan masih lebih kecil dibanding stimulus lain, misalnya untuk pembiayaan korporasi, insentif usaha, sektoral kementerian/lembaga pemerintah daerah, dan insentif bagi UMKM.
"Idealnya, pemerintah mendorong sisi permintaan dibanding berfokus pada sisi penawaran," tutur Bhima.
Ia berujar bahwa penyerapan anggaran pemerintah yang masih mengikuti pola sebelum pandemi perlu segera diubah. Sebaiknya, kata dia, pada awal 2021 ini pemerintah pusat dan daerah segera melakukan pengadaan barang dan jasa dengan lebih cepat. Ia menyebutkan beberapa pemerintah daerah saat ini lebih senang memarkir dana di bank daerah. "Praktik ini menghambat efektivitas belanja pemerintah untuk pemulihan ekonomi," kata dia.
Ia juga menyoroti pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2020 yang turun dibanding triwulan III. Pada triwulan IV 2020, pertumbuhan kuartalan turun menjadi -0,42 persen dibanding triwulan sebelumnya yang naik 5,05 persen. "Ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengendalikan pandemi, sehingga masyarakat masih menahan belanja," tutur Bhima.
CAESAR AKBAR | LARISSA HUDA