JAKARTA – Pegiat demokrasi mempersoalkan rencana pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah serentak pada 2024. Rencana itu berkemungkinan menggagalkan sejumlah kepala daerah yang berpotensi menjadi calon presiden dalam pemilihan presiden mendatang.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, secara politis, sejumlah kepala daerah berpotensi menjadi calon presiden dalam pilpres 2024, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Namun, kata Adi, mereka pasti akan dirugikan ketika pilkada serentak digelar pada 2024 lantaran masa tugasnya sebagai kepala daerah akan berakhir pada 2022 dan 2023.
“Mereka akan menganggur. Di situ mereka diuji, bisa tidak mereka tetap dibicarakan orang kalau tidak jadi kepala daerah? Saya kira berat bagi mereka,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Menurut Adi, meskipun jadwal pilkada dinormalkan dalam siklus lima tahunan atau tetap digelar pada 2022 dan 2023, belum tentu para kepala daerah potensial tersebut bisa dengan mulus menjadi calon presiden. Sebab, mereka tidak memiliki keistimewaan untuk mengendalikan partai politik.
Adi mencontohkan Ganjar Pranowo yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Adi menilai Ganjar belum tentu dengan mudah mendapatkan rekomendasi dari partainya, apalagi kepala daerah potensial lain yang bukan berasal dari partai politik, seperti Ridwan Kamil dan Anies Baswedan.
Hingga saat ini, Adi mengatakan, belum ada partai politik yang menyatakan ketertarikan untuk meminang para kepala daerah potensial ini menjadi calon presiden. Hambatan lainnya adalah syarat ambang batas pencalonan presiden yang mencapai 20 persen suara nasional. Kondisi itu memaksa sembilan partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat harus berkoalisi untuk memenuhi syarat tersebut.
“Ada pilkada saja mereka belum tentu mulus menjadi capres, apalagi jika tidak ada pilkada. Makin pusing mereka. Tak ada panggung,” ujar Adi.
Pekerja lepas menyortir dan melipat surat suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta, 19 Februari 2019. Dok Magang Tempo/Faisal Akbar
Saat ini, DPR tengah merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Revisi itu bermaksud menggabungkan UU Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
UU Pemilu saat ini mengatur jadwal pilkada serentak tetap pada 2022 dan 2023. Sedangkan UU Pilkada mengatur jadwal pilkada serentak pada 2024. Sebagian besar fraksi di DPR menghendaki pelaksanaan pilkada pada 2024. Hanya tiga fraksi, yaitu Partai Keadilan Sejahtera, Demokrat, dan NasDem, yang mengusulkan pelaksanaan pilkada pada 2022 dan 2023.
Adapun Presiden Joko Widodo menginginkan pilkada tetap digelar pada 2024. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan stabilitas politik dan keamanan menjadi pertimbangan pemerintah, sehingga menghendaki pilkada tetap digelar pada 2024. Dengan begitu, kata Moeldoko, pembangunan nasional dapat berjalan sesuai dengan perencanaan.
“Agar stabilitas politik dan keamanan tetap terjaga dengan baik, sehingga agenda pembangunan dapat berjalan sesuai yang direncanakan dan untuk kesejahteraan rakyat,” katanya, Sabtu lalu.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menyoroti kontroversi jadwal pilkada tersebut. Ia mengatakan akan banyak penjabat kepala daerah yang akan menggantikan peran kepala daerah definitif, jika pilkada tetap digelar pada 2024. Dia menganggap kehadiran penjabat kepala daerah itu akan mencederai kualitas demokrasi dan membuat kekuasaan menjadi tersentralisasi kembali.
Pangi menuturkan pihak yang akan diuntungkan jika pilkada dilaksanakan pada 2024 adalah partai pendukung pemerintah. Sebab, penjabat kepala daerah bisa saja tidak netral dan akan menguntungkan partai pemerintah dalam Pemilu 2024. “Wajar mereka (parpol pendukung pemerintah) ngotot soal ini,” kata Pangi.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar. Dok kemendagri.go.id
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, membantah anggapan adanya ketidaknetralan penjabat daerah. Berdasarkan pengalamannya menjadi penjabat Gubernur Kepulauan Riau tahun lalu, Bahtiar merasa sangat berhati-hati dalam memerintah.
“Malah jika ditunjuk jadi penanggung jawab kepala daerah, harus sangat hati-hati, harus lebih netral, karena ASN itu wajib netral,” kata Bahtiar.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan, Nurhayati Monoarfa, mengatakan tidak ada upaya menjegal para kepala daerah yang berpotensi maju sebagai calon presiden dalam penolakan revisi UU Pemilu. PPP merupakan salah satu partai yang menolak usul pilkada digelar pada 2022 dan 2023 sesuai dengan draf revisi UU Pemilu.
“Kami tidak berbicara dan berpikir ke arah sana (menjegal calon potensial),” kata anggota Komisi Pemerintahan DPR ini. Ia menambahkan, partainya berpikir bahwa UU Pemilu yang ada masih relevan dipakai dalam Pemilu 2024.
Ketua Fraksi NasDem Ahmad Ali mengatakan, sikap partainya yang mendukung dinormalkannya jadwal pilkada bukan berarti menghendaki kepala daerah tertentu untuk menjadi calon presiden. Ia menegaskan bahwa partainya belum memutuskan seseorang menjadi calon presiden mendatang.
Ali membantah anggapan bahwa partainya mendukung Anies Baswedan, meskipun Ketua Umum NasDem Surya Paloh pernah bertemu dengan Anies di kantor pusat NasDem, Jalan Gondangdia, Jakarta Pusat, pada 24 Juli 2019. Ia mengatakan pertemuan itu tidak membahas urusan pemilihan presiden.
“Pak Surya Paloh katakan, cara menjaring capres lewat konvensi. Tak ada itu deal-deal. Kami tak bicarakan satu-dua orang, ini kepentingan bangsa,” katanya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | DIKO OKTARA