JAKARTA — Lembaga Biologi Molekuler Eijkman memastikan vaksin Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang dikembangkan oleh perusahaan asal Cina, Sinovac Biotech Ltd, ampuh melawan varian baru virus corona di Indonesia. Saat ini virus corona di Indonesia ditemukan bermutasi menjadi varian D614G.
Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio, mengatakan tidak ada perubahan signifikan pada varian D614G dengan jenis aslinya, sehingga antigen vaksin masih bisa efektif untuk melawannya. "Memang ada banyak mutasi, tapi secara antigenik belum berubah drastis," kata Amin kepada Tempo, kemarin.
Amin mengatakan saat ini ada temuan bahwa Covid-19 bermutasi ke banyak varian, sehingga muncul kekhawatiran vaksin yang dibuat berdasarkan virus asli tidak akan bisa digunakan untuk melawan varian baru tersebut. Sebab, kata dia, jika ada perubahan signifikan pada struktur virus yang menyebabkan antigen ikut berubah, antibodi yang terbentuk setelah imunisasi tidak akan bisa mengenali sifat antigen virus jenis baru tersebut. "Kalau sifatnya berubah, otomatis pengenalan antibodi akan berubah dan berkurang," kata dia.
Sesuai dengan hasil pemantauan lembaganya, Amin memastikan belum menemukan ada kegagalan vaksin Sinovac merespons varian Covid-19 yang menyebar di Indonesia. Amin menyebutkan bahwa virus corona yang menyebar di Tanah Air didominasi oleh jenis D614G. Varian ini juga mendominasi seluruh dunia, dengan angka mencapai 90 persen dari total penyebaran virus. Varian D614G mendominasi karena sifat virus yang mudah menyebar tapi tidak terlalu mematikan.
Menurut Amin, selain Sinovac, vaksin yang dikembangkan oleh perusahaan asal Amerika Serikat, Pfizer, ampuh melawan virus corona varian B117 yang merebak di Inggris. Pemerintah Inggris yakin varian B117 itu menjadi faktor yang memperburuk penyebaran wabah di puluhan negara bagian di Inggris. "Artinya, vaksin yang dikembangkan saat ini masih bisa digunakan untuk melawan mutasi virus corona," ujar Amin.
Vaksin Covid-19 Sinovac untuk tenaga kesehatan di Puskesmas Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2021. TEMPO/Prima Mulia
Pemerintah Indonesia telah melaksanakan program imunisasi sejak pertengahan Januari lalu dengan menggunakan vaksin Sinovac. Sesuai dengan data pemerintah, 596.260 tenaga kesehatan telah diimunisasi dengan Sinovac. Angka itu mencapai 39 persen dari target 1,5 juta tenaga kesehatan yang akan diimunisasi pada periode Januari hingga April tahun ini.
Saat ini, pemerintah sudah memperoleh 29 juta dosis vaksin dari Sinovac. Namun sebagian besar vaksin itu berupa bahan baku setengah jadi, yang masih harus diolah oleh PT Bio Farma. Sesuai dengan rencana, pemerintah menargetkan vaksinasi bagi 181 juta penduduk dengan kebutuhan vaksin mencapai 426 juta dosis.
Di samping Sinovac, pemerintah memenuhi kebutuhan vaksin itu dari Sinopharm, perusahaan farmasi asal Cina; Pfizer-BioNTech; serta Moderna, perusahaan asal Amerika Serikat. Vaksin dari berbagai perusahaan itu diperkirakan tiba pada pertengahan tahun ini.
Dilansir dari Reuters, vaksin yang dikembangkan oleh Pfizer dan BioNTech berhasil melawan varian baru virus corona yang ditemukan di Inggris dan Afrika Selatan. Studi oleh Pfizer dan ilmuwan dari University of Texas Medical Branch menunjukkan bahwa vaksin corona yang mereka kembangkan efektif menetralkan virus dengan mutasi N501Y pada protein spike virus SARS-CoV-2.
Ilmuwan vaksin virus dari Pfizer, Phil Dormitzer, mengatakan mutasi virus jenis N501Y diduga menjadi penyebab penularan yang lebih besar belakangan ini. Dormitzer juga mencatat bahwa mutasi virus corona varian E484K yang ditemukan di Afrika Selatan sama mengkhawatirkannya dengan mutasi virus yang merebak di Inggris. Munculnya berbagai varian baru corona tersebut membuat ilmuwan khawatir apabila vaksin tidak dapat melindungi masyarakat dari varian baru tersebut.
Studi pengujian vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech dilakukan pada sampel darah yang diambil dari orang yang diberi vaksin. Menurut Dormitzer, penemuan ini masih terbatas karena tidak melihat rangkaian lengkap mutasi virus yang ditemukan pada varian baru corona yang menyebar dengan cepat tersebut. Meski begitu, Dormitzer mengatakan hasil studi ini menunjukkan bahwa vaksin yang sudah dikembangkan masih efektif melawan mutasi virus Covid-19 jenis baru.
"Kami telah menguji pada 16 mutasi yang berbeda dan tidak satu pun dari mutasi-mutasi tersebut yang memiliki pengaruh yang signifikan," kata Dormitzer.
Petugas menyimpan vaksin Covid-19 Sinovac di ruang pendingin Dinas Kesehatan Kota Bandung, Jawa Barat, 13 Januari 2021. TEMPO/Prima Mulia
Guru besar Universitas Airlangga, Chairul Anwar Nidom, mengatakan struktur RNA virus Covid-19 yang mudah bermutasi menjadi tantangan dalam proses vaksinasi. Ia mengatakan mutasi virus yang signifikan tak hanya berdampak pada vaksinasi. Sebaliknya, vaksinasi juga dapat memicu terjadinya mutasi virus.
Ia mengatakan, hingga pertengahan Januari lalu, Laboratorium Profesor Nidom Foundation mengidentifikasi bahwa mutasi D614G ditemukan pada 103 isolat yang tersebar di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Chairul berharap vaksinasi tak seharusnya menjadi satu-satunya intervensi yang dilakukan pemerintah untuk menekan laju penularan Covid-19. Ia menyarankan pengukuran terhadap titer antibodi setelah vaksinasi juga perlu dilakukan. Tujuannya, agar mengetahui kadar dan kemampuan antibodi yang dihasilkan lewat imunisasi untuk memproteksi virus lapangan. “Akhirnya intervensi medis maupun non-medis merupakan bagian penting yang harus dilakukan secara terukur untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Indonesia,” kata Chairul.
REUTERS | KHORY | MAYA AYU PUSPITASARI