JAKARTA – Sejumlah organisasi masyarakat sipil pemantau pemilu menilai para calon kepala daerah belum siap menggelar kampanye secara daring. Hal itu karena kandidat belum mampu beradaptasi untuk menjangkau pemilih di media sosial, serta adanya celah aturan bahwa pasangan calon masih boleh menggelar kampanye secara konvensional.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantobi, mengatakan sejumlah peserta pemilihan kepala daerah tak mampu beradaptasi terhadap perkembangan teknologi di tengah situasi wabah Covid-19. Selama masa pagebluk, guna menekan penyebaran virus corona, setiap orang diminta menjaga jarak dan tidak berkerumun. "Tidak mengherankan jika masih sedikit kandidat yang mengalihkan kampanye secara daring," ujar Alwan, kemarin.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebelumnya melaporkan bahwa 43 persen calon kepala daerah masih aktif melakukan kampanye tatap muka. Temuan itu didapat setelah mereka mencatat 585 kegiatan kampanye di 270 daerah. Dari jumlah itu, 253 kegiatan mengandalkan kampanye secara langsung. Di Depok, Jawa Barat, aktivitas kampanye daring masih sangat minim atau hanya 1 persen dari 194 agenda kampanye di kota itu.
Menurut Alwan, masih tingginya persentase itu mengindikasikan bahwa pasangan calon kepala daerah belum bisa memanfaatkan teknologi, sehingga tetap menggelar kampanye konvensional. Padahal, dia mengatakan, menarik perhatian pemilih di dunia maya sangat mungkin dilakukan karena hampir semua orang, terutama di kota-kota besar, menggunakan gawai dan melek akan teknologi dan Internet.
Alwan mengkritik elite partai politik yang justru masih membiarkan kandidat yang mereka usung terus menggencarkan kampanye konvensional. Para pasangan calon juga kerap mengajak pendukungnya berkerumun. Jika itu terus-menerus terjadi, ia mendesak penyelenggara pemilu dan pemerintah mengampanyekan peringatan agar masyarakat tidak memilih calon yang terbukti melanggar protokol kesehatan. "Itu membuktikan bahwa pasangan calon tersebut tidak memiliki komitmen melindungi rakyat."
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, tak memungkiri bahwa pola pikir kandidat belum berubah. Tidak mengherankan praktik kampanye terbuka atau tatap muka masif terjadi. "Para calon harus mengubah mindset-nya. Pilkada saat ini dalam situasi pandemi, sehingga cara-cara lama seperti mengumpulkan massa tidak bisa lagi," ucap dia.
Khoirunnisa mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat bertanggung jawab mengubah pola pikir peserta pemilu untuk meminimalkan praktik kampanye tatap muka. Dia beralasan, Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu tak berwenang melarang penyelenggaraan kampanye secara langsung.
Anggota KPU, Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan lembaganya tak berwenang menjatuhkan sanksi diskualifikasi kepada kandidat yang melanggar protokol kesehatan. Namun KPU bisa meminta Bawaslu menindak para calon yang melanggar protokol kesehatan. Masalahnya, jumlah personel Bawaslu terbatas untuk memantau semua aktivitas kampanye di daerah. Karena itu, diperlukan sinergi antara penyelenggara pemilu dengan aparat penegak hukum untuk memperketat protokol kesehatan. Dewa menuturkan lembaganya masih membolehkan kampanye tatap muka dengan jumlah maksimum peserta 50 orang, tapi harus taat protokol kesehatan.
Ketua Bawaslu Daerah Istimewa Yogyakarta, Bagus Sarwono, mengimbuhkan bahwa lembaganya menemukan sejumlah modus kandidat dalam upaya mengumpulkan massa di masa pandemi. "Mulai dari silaturahmi, mendapat undangan untuk memberi sambutan, dan lainnya," ucap Bagus. Dia mencontohkan, di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, terdapat kegiatan yang didaftarkan sebagai bukan agenda kampanye. Tapi saat acara digelar, calon kepala daerah datang, lalu memberi kata sambutan atau melakukan kegiatan seremoni di tengah kerumunan.
AVIT HIDAYAT | PRIBADI WICAKSONO
Pasangan Calon Tak Siap Kampanye Daring