JAKARTA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyatakan kampanye dengan metode daring kurang diminati para pasangan calon kepala daerah. Bawaslu tidak memungkiri bahwa saat ini para calon kepala daerah justru gencar melakukan blusukan atau kampanye terbuka.
Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, menduga kampanye daring tidak diminati lantaran beberapa sebab. Di antaranya faktor kebiasaan, jaringan telekomunikasi yang belum stabil di semua wilayah, dan faktor interaksi yang berbeda atau tidak seperti kampanye tatap muka.
Afifuddin menyatakan, regulasi dalam kampanye pemilihan memang membolehkan setiap pasangan calon kepala daerah menggelar kampanye tatap muka. Namun syaratnya adalah jumlah maksimal 50 orang dan harus mematuhi protokol kesehatan. Aturan ini menyebabkan lembaga pengawas pemilu itu tidak bisa memaksa calon kepala daerah untuk menggelar kampanye secara daring. "Yang dilarang melanggar protokol kesehatan," ucap Afif kepada Tempo, kemarin.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya mengimbau agar para calon kepala daerah mulai beralih menggencarkan kampanye politik secara daring, di antaranya melalui media sosial. Hal ini untuk mencegah meluasnya pagebluk virus corona atau Covid-19. Kampanye daring juga meminimalkan potensi munculnya kluster pilkada. Apalagi kampanye dilakukan serentak di 270 daerah yang menghelat pesta demokrasi di tengah masa pandemi. Bawaslu mencatat 59 daerah memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap penyebaran virus.
Afif heran para pasangan calon dan simpatisannya masih mengandalkan kampanye tatap muka meski diimbau agar dibatasi. "Silakan tanya ke calonnya," kata dia. Menurut dia, partai politik, kandidat, dan simpatisan calon seharusnya punya komitmen yang sama untuk memilih metode kampanye lewat media sosial atau secara daring. Tujuannya adalah meminimalkan pengumpulan massa di masa wabah Covid-19, mengingat kerumunan dan pelanggaran protokol kesehatan berpotensi meningkatkan penularan virus.
Anggota KPU, Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, menyatakan lembaganya dan Bawaslu tidak berwenang memaksa calon kepala daerah beralih ke kampanye dengan metode daring. "Asas legalitasnya demikian," ucap Dewa.
Dia menjelaskan, Komisi telah menerbitkan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020 tentang pelaksanaan kampanye dalam kondisi bencana Covid-19. Dalam aturan itu, KPU menyarankan agar kandidat menggelar kampanye secara daring. Di luar itu, Dewa menjelaskan, KPU memperkenankan calon kepala daerah berkampanye dengan metode lain, termasuk tatap muka tapi tetap dengan penerapan protokol kesehatan.
Menurut dia, penerapan protokol kesehatan harus menjadi tanggung jawab bersama, dari penyelenggara hingga peserta pemilu. Tujuannya adalah menjaga kesehatan dan keselamatan masyarakat. Jika aturan protokol kesehatan tetap ditabrak, ia mendorong Bawaslu bertindak. "Ditindak tegas dengan prinsip profesionalitas," ujar Dewa.
Koordinator Divisi Pengawasan Bawaslu Kota Depok, Dede Selamet Permana, menyatakan lembaganya menemukan pelanggaran oleh para peserta pemilu ihwal kepatuhan protokol kesehatan. Bawaslu mencatat ada delapan dugaan pelanggaran protokol kesehatan pencegahan Covid-19 selama sepekan masa kampanye pilkada 2020 di Depok, Jawa Barat.
Pelanggaran terjadi pada 26 September hingga 4 Oktober lalu. Beberapa temuannya, kampanye dihadiri lebih dari 50 orang, tanpa jaga jarak, dan kegiatan berlangsung malam hari. Walhasil, Bawaslu Kota Depok mengeluarkan surat peringatan kepada para penyelenggara kegiatan agar tidak lagi melanggar protokol kesehatan.
Bawaslu Depok juga mendorong adanya peralihan kampanye secara daring. Namun hanya 1 persen peserta pemilu yang memilih kampanye secara online. Sisanya, para kandidat masih mengandalkan kampanye tatap muka. "Dari 194 kampanye, metode tatap muka dan dialog mendominasi sebesar 82 persen, serta 17 persen pertemuan terbatas," kata Dede.
AVIT HIDAYAT | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
20