JAKARTA -- Sejumlah ahli kesehatan memiliki penilaian yang berbeda terhadap obat Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) buatan India yang mulai dipasarkan di Indonesia. Obat jenis Remdesivir produksi perusahaan farmasi India, PT Amarox Globla Pharma, itu resmi mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Ketua Departemen Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Wawaimuli Arozal, mengatakan Remdesivir merupakan obat tunggal antivirus yang memiliki spektrum luas. Obat ini, kata dia, terbukti secara in vitro bisa mengatasi virus ebola, virus MERS, serta Covid-19. "Fungsi atau mekanisme kerjanya adalah menghambat replikasi dari virus di dalam sel manusia," kata Wawaimuli kepada Tempo, kemarin.
Efektifitas Remdesivir sebagai obat Covid-19 ditunjukkan oleh hasil uji klinis yang dipublikasi oleh The New England Medical Journal. Artikel yang ditulis oleh peneliti National Institute of Allergy and Infectious Diseases, John H. Beigel, dan kawan-kawan itu menyebutkan waktu penyembuhan pasien Covid-19 yang diberi Remdesivir lebih cepat daripada pasien yang hanya disuntik plasebo.
Waktu perawatan pasien yang disuntik Remdesivir rata-rata mencapai 11 hari. Sedangkan pasien yang tak disuntik Remdesivir rata-rata membutuhkan waktu perawatan hingga 15 hari. Uji klinis obat fase ketiga telah dilakukan di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Denmark, Inggris, Jerman, Korea Selatan, dan Jepang.
Wawaimuli mengatakan Indonesia belum melakukan uji klinis terhadap Remdesivir. Namun, kata dia, BPOM bisa mengeluarkan izin edar obat itu karena diperlukan segera obat yang dapat mengatasi Covid-19 pada masa pandemi ini. "Tapi uji klinis Remdesivir tetap harus dilakukan di Indonesia karena mungkin responsnya bisa berbeda," ujarnya.
Remdesivir buatan India rencananya diimpor oleh PT Kalbe Farma. Staf khusus Menteri Kesehatan, Daniel Tjen, mengatakan izin edar Remdesivir telah dikeluarkan BPOM pada Jumat, 18 September lalu. Namun ia baru membuka ke publik soal izin edar ini pada Jumat pekan lalu. Pada tahap awal, akan datang 700 ribu tablet bahan baku Remdesivir dari India. “Kemudian datang lagi 2 juta tablet bahan baku yang akan diproduksi,” kata dia.
Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Zullies Ikawati, mengatakan Remdesivir tak boleh digunakan sembarangan dan dijual bebas meski telah mendapat izin edar dari BPOM. Obat ini, kata dia, hanya bisa digunakan dalam kondisi darurat dan hanya boleh diberikan oleh dokter yang menangani pasien dan kompeten di bidang paru-paru. “Tidak boleh didistribusikan secara luas seperti obat biasa,” kata Zullies.
Menurut Zullies, Remdesivir hanya boleh didistribusikan di tempat-tempat tertentu untuk pasien Covid. Dia mewanti-wanti penggunaan obat yang dikembangkan pada masa wabah ebola ini karena memiliki sejumlah efek samping. Kasus yang dilaporkan menunjukkan obat ini memberi efek samping pada pasien berupa gangguan fungsi hati, mual, dan muntah.
Meski begitu, Zullies mengatakan, Remdesivir memiliki efek yang lebih ringan dibanding obat lain untuk pasien corona. Ia mencontohkan uji klinis obat racikan klorokuin yang dikembangkan Universitas Airlangga hingga kini belum menunjukkan hasil signifikan terhadap pasien Covid-19. Ia menjelaskan bukti klinis efektivitas klorokuin bervariasi. Namun belum ada laporan resmi bahwa penggunaan klorokuin dapat mempersingkat masa perawatan pasien Covid-19 di rumah sakit.
Sementara itu, Remdesivir telah teruji untuk pasien Covid-19 dalam kategori berat, yakni pneumonia berat, pasien Covid-19 yang menggunakan tabung oksigen, dan ventilator. “Efektivitasnya sudah dibuktikan secara uji klinis, makanya berani BPOM maupun FDA memberikan emergency use authorization,” kata Zullies
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan, dalam uji in vitro, obat Remdesivir memang mampu menghambat replikasi virus dan memiliki dampak yang baik. Namun, menurut dia, sejumlah penelitian lain menyebutkan bahwa obat ini tidak memiliki perbedaan signifikan pada pasien Covid-19.
Ari mengatakan uji klinis obat yang pernah digunakan untuk menangani pasien ebola ini belum menunjukkan konsistensi. “WHO belum menetapkan satu obat pun sebagai antivirus. Studi belum selesai. Artinya kita belum tahu bagaimana efeknya ini,” ujar dia.
SHINTA MAHARANI | DIKO OKTARA | MAYA AYU PUSPITASARI
Plus Minus Hasil Uji Klinis Remdesivir
Obat jenis Remdesivir bakal didistribusikan di Indonesia karena telah mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Benarkah Remdesivir merupakan obat untuk mengatasi virus corona? Dilansir Reuters, sejumlah negara memberikan otorisasi penggunaan Remdesivir. Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat memberikan otorisasi penggunaan darurat Remdesivir pada 1 Mei lalu. Adapun Jepang menyetujui Remdesivir untuk Covid-19 pada 7 Mei lalu.
Jurnal penelitian berjudul “Remdesivir untuk pengobatan Covid-19” yang dipublikasikan melalui The New England Medical Journal pada Mei lalu menyebutkan adanya uji klinis terhadap obat tersebut. Anggota tim peneliti National Institute of Allergy and Infectious Diseases, John H. Beigel, memuat jurnal mengenai uji klinis obat Covid-19 jenis Remdesivir itu.
Dalam jurnal itu disebutkan uji klinis fase ketiga Remdesivir telah dilakukan di Amerika Serikat, Denmark, Inggris, Jerman, Korea Selatan, Meksiko, Spanyol, Jepang, dan Singapura. Uji klinis tersebut dilakukan dalam rentang waktu 21 Februari hingga 19 April. Hasilnya, dari 1.062 pasien yang dipilih secara acak, sebanyak 541 pasien yang disuntik Remdesivir sembuh dalam waktu rata-rata 11 hari. Sedangkan 521 pasien yang hanya disuntik plasebo sembuh dalam rata-rata 15 hari.
Adapun 114 pasien yang disuntik Remdesivir mengalami efek samping serius atau meninggal. Sedangkan di kelompok yang hanya disuntik plasebo, ada 141 pasien yang mengalami efek samping serius atau meninggal.
Pemberian obat dilakukan lewat suntikan dengan dosis 200 miligram pada hari pertama. Pada hari kedua dan seterusnya, dosis dikurangi menjadi 100 miligram. Pemberian suntikan dilakukan hingga 10 hari atau hingga pasien sembuh atau meninggal. Selama uji klinis, kondisi pasien dicek setiap hari selama rawat inap hingga 29 hari. Pasien yang menunjukkan reaksi efek samping dicatat.
Efek samping yang dilaporkan dalam penelitian tersebut adalah anemia, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, mual, dan muntah. Namun efek samping itu belum dapat ditentukan kausalitasnya, apakah karena obat atau ada penyakit lain yang diderita subyek, sehingga menyebabkan efek tersebut.
MAYA AYU PUSPITASARI | THE NEW ENGLAND MEDICAL JOURNAL