JAKARTA - Proses seleksi calon hakim agung di Dewan Perwakilan Rakyat tak berjalan mulus. Mayoritas fraksi di DPR mempertanyakan transparansi penilaian nama-nama calon hakim oleh Komisi Yudisial.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, mempertanyakan hasil tes kepribadian enam calon hakim agung dan empat hakim ad hoc. Dalam tes tersebut, kepribadian calon diukur berdasarkan 13 kategori dan dinilai dalam angka, dari 1 hingga 4 sebagai peringkat tertinggi.
Menurut Benny, KY tak memberikan jawaban memuaskan kepada DPR soal siapa yang menentukan nilai tersebut. Padahal, kata dia, tes kepribadian ini vital untuk menentukan integritas para calon.
Komisi III memerintahkan KY memberikan jawaban tertulis tentang tes kepribadian ini. Jika masih tak dianggap transparan, Benny menganggap nama-nama yang diusulkan Komisi tidak layak menjadi hakim agung. "Yang menentukan nilai 1 atau 2 itu siapa? Ini enggak layak. Di sini manipulasinya," ujar Benny dalam rapat konsultasi bersama KY di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Selain persoalan transparansi, anggota komisi lainnya, Didik Mukrianto, mempersoalkan model penilaian yang berubah-ubah setiap tahun. Bentuk tes serta parameter penilaiannya yang tak konsisten, kata Didik, justru membuat DPR kesulitan mengevaluasi calon hakim agung pilihan komisi. "Kami tak melihat konsistensi KY menyeleksi calon hakim agung dengan asesmen yang disepakati," kata dia.
Sejauh ini, ada enam calon hakim agung yang diserahkan KY ke DPR, yakni hakim tinggi Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Soesilo; hakim tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar, Dwi Sugiarto; panitera muda perdata khusus pada Mahkamah Agung, Rahmi Mulyati; Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kupang, Busra; hakim militer utama Pengadilan Militer Utama, Brigjen Sugeng Sutrisno; serta Wakil Ketua III Pengadilan Pajak Bidang Pembinaan dan Pengawasan Kinerja Hakim, Sartono.
Adapun hakim ad hoc yang turut diusulkan Lembaga Independen Pemantau Peradilan itu, di antaranya, Ansori dan Agus Yunianto, yang melamar untuk hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, serta Willy Farianto dan Sugianto, yang mengajukan diri menjadi hakim di Pengadilan Hubungan Industrial.
Politikus PDI Perjuangan, Arteria Dahlan, mempertanyakan bakal calon yang gugur dalam tes. Padahal, menurut dia, sebagian nama itu dikenal dalam dunia peradilan dan tengah menduduki jabatan penting, seperti ketua pengadilan tinggi dan hakim tinggi. "Mereka gugur karena aduan masyarakat. Aduan yang mana? Justru yang berisiko terjadi nantinya malah fabrikasi pengaduan," kata dia.
Anggota Komisi dari Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengatakan wajar rekan-rekannya mempertanyakan model tes calon hakim agung versi KY. Hingga saat ini, kata dia, tak ada tes hakim yang tersertifikasi, sehingga bisa dipercaya semua pihak.
Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus menampik tudingan lembaganya tak transparan dalam menilai calon hakim agung. Semua tahapan, dari tes administrasi, tes kesehatan, tes kepribadian, hingga wawancara, dilengkapi dengan nilai tertentu yang dirumuskan bersama pakar dan pengukur independen. Tim Komisi juga menilai rekam jejak bakal calon melalui investigasi di lapangan.
Lembaganya, kata Jaja, juga berupaya menekan faktor subyektivitas dalam tes. Misalnya dalam penentuan standar nilai kelulusan, penilai tidak melihat nama-nama calon peserta terlebih dulu. "Kami ada ukuran-ukuran yang termuat dalam peraturan. Sejauh ini enggak ada kedengaran titip-menitip," tutur Jaja. ROBBY IRFANY
Dewan Ragukan Calon Hakim Agung Pilihan KY