JAKARTA - Anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan, mempertanyakan keputusan Komisi Yudisial yang meloloskan calon hakim agung yang pernah ditolak Dewan dalam seleksi yang dilaksanakan pada tahun lalu. Menurut dia, calon dengan tipikal pencari kerja tak layak menjadi hakim agung. "Kenapa malah memasukkan kembali calon-calon yang sudah ditolak? Kami tak mau mencari job seeker (pencari kerja)," kata Arteria dalam rapat konsultasi bersama KY di Kompleks Parlemen di Jakarta, kemarin.
Dia meminta KY berkoordinasi dengan Mahkamah Agung dalam melakukan seleksi. Lolosnya calon yang pernah gagal, kata dia, merupakan bukti ketiadaan komunikasi antara KY dan MA.
Sejauh ini, ada enam calon hakim agung yang diserahkan KY ke DPR, yakni hakim tinggi Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Soesilo; hakim tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar, Dwi Sugiarto; panitera muda perdata khusus pada Mahkamah Agung, Rahmi Mulyati; Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kupang, Busra; hakim militer utama Pengadilan Militer Utama, Brigjen Sugeng Sutrisno; serta Wakil Ketua III Pengadilan Pajak Bidang Pembinaan dan Pengawasan Kinerja Hakim, Sartono. Dari enam nama tersebut, hanya Sartono yang pernah mengikuti proses perekrutan hakim agung pada tahun lalu. Dia menjadi bagian dari empat calon hakim yang ditolak DPR melalui rapat paripurna pada Mei 2019.
Wakil Ketua Komisi III, Adies Kadir, sependapat dengan Arteria. Dia bahkan mencatat dalam periode sebelumnya ada calon hakim agung yang pernah gagal dalam rekrutmen Komisi, tapi lolos dalam seleksi KY tahun berikutnya. "Apa tak ada orang lagi? Ini kan aneh juga," ujar Adies.
Meski demikian, kata Adies, lembaganya tetap melaksanakan uji kelayakan hakim agung. Seleksi akan digelar secara maraton, dari uji makalah pada 20 Januari hingga uji kelayakan dan kepatutan yang dilangsungkan pada 21-22 Januari.
Lolosnya Sartono, kata dia, juga menjadi pertanda Komisi kurang aktif dalam mencari calon hakim agung di pengadilan tinggi di daerah-daerah. Padahal, menurut Adies, KY bisa memanfaatkan waktu luang-jika tak disibukkan oleh proses seleksi-dengan mendatangi langsung ketua pengadilan tinggi dan mencari "wakil Tuhan" terbaik di lapangan.
Proses ini bisa dilanjutkan dengan verifikasi profil calon yang sudah dikumpulkan oleh investigator internal Komisi. "KY juga bisa mendatangi universitas dan bertanya kepada rektor tentang pakar hukum terbaik yang mereka punya," ujar dia.
Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus tak menganggap lolosnya Sartono sebagai masalah. Sebab, pada tahun lalu, Sartono juga lolos seleksi yang diadakan Komisi. "Penolakan itu kan oleh DPR. Sedangkan dari kami tetap lolos," ujar Jaja. Dia menyerahkan sepenuhnya seputar pemilihan Sartono kepada DPR.
Dia mengklaim tak ada preferensi subyektif dalam pemilihan Sartono. Seluruh tes, kata Jaja, sudah didasarkan pada standar yang termuat dalam Peraturan KY Nomor 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung. Penilaian juga diukur berdasarkan bobot yang tertuang dalam angka. Kategori kelulusan, Jaja mengatakan, sudah dibicarakan bersama para pakar dan hakim agung.
Pegiat independensi peradilan, Erwin Natosmal Oemar, menganggap lolosnya calon yang pernah gagal merupakan kesalahan KY dan DPR. Parlemen, menurut dia, tak pernah memberikan alasan yang jelas mengenai penerimaan ataupun penolakan calon hakim agung. Jika keputusan didukung argumentasi yang transparan, KY pun bisa mempelajari keputusan itu guna menjadi catatan pada seleksi hakim berikutnya.
Adapun catatan untuk KY, Erwin berujar, adalah ketiadaan standar baku dalam perekrutan hakim agung. Proses penilaian juga dianggap tak transparan, sehingga penentuan kelolosan hakim tidak bisa dinilai oleh publik ataupun calon hakim agung berikutnya. "Sehingga, ketika orang baik melamar jadi hakim, mudah bagi mereka mengetahui standar untuk mengikuti tes," ujar dia. ROBBY IRFANY
KY Sodorkan Lagi Calon yang Pernah Ditolak Dewan