JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat akan mengklarifikasi adanya kesalahan dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi. Undang-Undang KPK hasil revisi yang telah disetujui DPR ini dikembalikan pemerintah ke Dewan karena terdapat setidaknya sembilan poin kesalahan di dalamnya.
Mantan Ketua Panitia Kerja Dewan Perwakilan Rakyat untuk revisi Undang-Undang KPK, Supratman Andi Agtas, mengatakan semula DPR dan pemerintah akan membahas sembilan poin kesalahan tersebut pada hari ini. Namun rencana pembahasan ini di undurkan sehari. "Pengusul revisi Undang-Undang KPK minta pembahasan ditunda ke Kamis (besok)," kata dia saat dihubungi Tempo di Jakarta, kemarin.
Pemerintah mengembalikan naskah Undang-Undang KPK hasil revisi dengan alasan ada salah ketik. Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan hal itu menjadi alasan Presiden Joko Widodo belum menandatangani naskah Undang-Undang KPK.
Kesalahan itu terjadi, misalnya, dalam Pasal 29 mengenai syarat menjadi pimpinan KPK. Dalam pasal itu tertulis bahwa syarat menjadi pimpinan KPK berumur "50 tahun". Namun, dalam keterangan yang ditulis dalam tanda kurung disebut "empat puluh tahun". Berikut ini kutipan poin e Pasal 29 yang salah tersebut: "Berumur sekurang-kurangnya 50 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan."
Supratman mengatakan akan memanggil semua pengusul revisi Undang-Undang KPK, atau minimal anggota Panitia Kerja dan pemerintah untuk mengklarifikasi kesalahan tersebut. Dia mengatakan berita acara perbaikan harus dibuat bersama-sama oleh pengusul dan panitia kerja.
Supratman menyebut ada sembilan poin yang mesti diklarifikasi. Namun, dia tak merinci sembilan poin itu. "Itu hanya soal konsistensi penulisan. Yang paling penting adalah soal umur itu," kata Supratman.
Salah satu pengusul revisi Undang-Undang KPK, Masinton Pasaribu, mengatakan angka yang benar adalah 50 tahun. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menyatakan pihaknya sudah memperbaiki kesalahan itu.
Menurut dia, DPR bakal segera mengirim perbaikan revisi naskah Undang-Undang KPK kepada Menteri Pratikno. "Hasil revisi masih di DPR, akan dikirim dalam waktu dekat sebelum tanggal 17 Oktober ini," kata Masinton, kemarin.
Masinton menjelaskan bahwa kesalahan terjadi akibat ketidakcermatan staf di Badan Legislasi DPR. Seharusnya, kata dia, staf Baleg melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap substansi maupun redaksi pasal per pasal, serta kalimat per kalimat, berikut susunan titik dan komanya.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur, menganggap kesalahan pengetikan itu adalah skandal besar, bukan kesalahan administratif semata. "Pengakuan adanya kesalahan itu sebenarnya sebuah skandal besar. Sebab, perdebatan dalam Undang-Undang itu, pada titik dan koma saja, berdampak besar pada makna dari pasal," kata Isnur.
Isnur menganggap kesalahan pengetikan itu merupakan bukti kecacatan dalam pembahasan Undang-Undang KPK hasil revisi. Dia heran kesalahan itu luput dari pantauan ratusan anggota DPR dan pejabat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang terlibat pembahasan.
Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Fajri Nursyamsi, menganggap hal tersebut bukan hanya kesalahan teknis. Ia menilai ada substansi yang sudah berubah dalam pembahasan Undang-Undang KPK. "Itu bukan salah ketik, karena saat pengesahan bersama seharusnya sudah sangat detail pembahasannya, dari substansi hingga titik dan koma," kata dia.
ANDITA RAHMA | BUDIARTI UTAMI PUTRI | M. ROSSENO AJI | REZKI ALVIONITASARI