JAKARTA - Partai koalisi pendukung pemerintah meminta Presiden Joko Widodo menjadikan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atas revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai opsi terakhir dalam menyelesaikan polemik di masyarakat. Para elite partai koalisi berpendapat, masih ada beberapa jalan alternatif yang bisa ditempuh untuk meredakan ketegangan.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengungkapkan, permintaan itu disampaikan para ketua umum dan sekretaris jenderal lima partai koalisi kepada Jokowi di Istana Bogor, Senin malam lalu. "Kami tidak memberi masukan secara spesifik. Partai politik hanya menyampaikan bahwa opsi perpu harus menjadi opsi paling terakhir, karena ada opsi lain yang mesti dieksplorasi," kata Arsul, kemarin.
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikritik banyak orang lantaran dianggap akan melemahkan lembaga antirasuah. Pegiat antikorupsi dan tokoh-tokoh nasional menuding revisi tersebut akan melemahkan KPK. Namun pemerintah dan DPR bergeming. Mahasiswa dan pelajar yang marah pun turun ke jalan sejak pekan lalu untuk mendesak Jokowi menerbitkan perpu pembatalan revisi UU KPK.
Menurut Arsul, selain perpu, ada opsi lain berupa revisi kembali UU KPK oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, serta opsi uji materi di Mahkamah Konstitusi oleh masyarakat sipil. "Ada judicial review yang saat ini sedang berlangsung di MK," kata dia. Uji materi yang dimaksud Arsul dilakukan oleh 18 mahasiswa Universitas Indonesia.
Sekretaris Jenderal Partai NasDem Johnny G. Plate, yang juga menghadiri pertemuan dengan Jokowi, mengungkapkan yang hadir dalam pertemuan selama tiga jam itu adalah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum NasDem Surya Paloh, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, pelaksana tugas Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa, serta sekretaris jenderal masing-masing partai.
Dukungan terhadap opsi uji materi juga disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia menilai, langkah uji materi lewat Mahkamah Konstitusi lebih baik ketimbang memaksa Presiden Jokowi menerbitkan Perpu KPK. "Kan sudah berjalan juga kan. Itu bagus," kata Kalla, kemarin.
Kalla berpendapat, Jokowi tak perlu mengeluarkan Perpu KPK. Alasannya, langkah tersebut bertolak belakang dengan langkah Jokowi sebelumnya yang telah menandatangani surat presiden yang menyepakati pembahasan dan pengesahan revisi UU KPK. "Di mana kita mau tempatkan kewibawaan pemerintah kalau baru teken berlaku, kemudian kita tarik? Logikanya di mana?" kata dia.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, berpendapat lain. Akademikus yang ikut dalam pertemuan antara 41 tokoh nasional dan Jokowi pada Kamis pekan lalu itu berpendapat, Presiden seharusnya merespons semua tuntutan dan kritik masyarakat perihal revisi UU KPK. Ia yakin penerbitan perpu dapat menurunkan ketegangan di masyarakat. "Masyarakat ingin revisi UU KPK dan pimpinan baru KPK dibatalkan. Perpu adalah langkah realisitis, persoalannya berani atau enggak," katanya.
Feri mengatakan pembatalan UU KPK hasil revisi diperlukan agar tidak memunculkan masalah baru. Menurut dia, penolakan masyarakat atas revisi undang-undang tersebut dapat memenuhi unsur kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan perpu. "Kalau mengandalkan proses legislasi biasa butuh waktu lama. Kalau dibiarkan lama, Presiden akan rugi dan publik tidak akan mendapat kepastian hukum," ucap dia.
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan masih menunggu komitmen Jokowi untuk mengeluarkan Perpu KPK. "Ini waktu yang pas untuk mengingatkan Presiden, apakah Jokowi pro kepada rakyat atau berpihak kepada parpolnya," ujar dia. BUDIARTI UTAMI PUTRI | EGI ADYATAMA | ARKHELAUS WISNU | EFRI RITONGA
Partai Koalisi: Perpu KPK Opsi Terakhir