JAKARTA — Keluhan Petugas Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan tentang sempitnya akses di permukiman padat tak hanya terjadi di Matraman, Jakarta Pusat—lokasi kebakaran maut yang menewaskan 10 orang pada pekan lalu. Warga kawasan padat lain di Ibu Kota juga memiliki kebiasaan buruk serupa, yaitu menginapkan mobil di jalan lingkungan.
Tengok saja Manggarai Selatan, Jakarta Selatan. Kemampuan setiap pengendara mobil dituntut berada di level tertinggi saban kali berbelok masuk dari Jalan Dr Saharjo ke daerah padat penduduk ini. Status jalur dua arah di jalan selebar 5 meter itu hanya berlaku di atas kertas. Sebab, satu sisi jalan habis digunakan puluhan mobil yang diparkir.
Kondisi ini semakin menjadi-jadi saat memasuki kawasan Bali Matraman menuju Pasar Putar, Bukit Duri. Ruas jalan yang bisa dilalui kendaraan semakin sempit karena badan jalan terpakai parkiran sepeda motor dan lapak pedagang. Akses masuk ke permukiman yang cuma selebar 4 meter pun menjadi lahan parkir warga.
Kusrini, Ketua Rukun Tetangga 002 Manggarai Selatan, mengatakan pengurus lingkungan telah mengajak warga pemilik mobil berdialog dan memindahkan lokasi parkirnya. Hasilnya buntu. Sebab, warga tak punya garasi dan di sana tidak ada tanah kosong untuk parkir. Jadi, situasi tak berubah, pemilik mobil memarkirkan kendaraan mereka di depan rumah masing-masing. “Kata mereka, kalau memang harus dipindahkan, gampang,” kata pria berusia 50 tahun itu.
Warga, menurut Kusrini, pun beralibi bahwa jalan di kawasan tersebut jarang dilewati kendaraan umum. Kawasan yang dikelilingi rel kereta dan pasar tersebut hanya dilalui warga setempat dan kendaraan logistik. “Saya sebenarnya lebih setuju kalau parkir di tempat penyewaan,” kata dia.
Kendaraan diparkir di tepi jalan di pemukiman warga Kampung Pulo, Jakarta, 29 Maret 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Berdasarkan pantauan Tempo, di kawasan tersebut jarang terlihat lokasi penyewaan parkir. Beberapa lokasi penyewaan pun memiliki jarak lebih dari 500 meter. Sebagian dari lokasi penyewaan ini adalah tanah kosong, rumah kosong, halaman pasar, dan halaman masjid.
Arifin, 50 tahun, menjadi juragan parkiran sejak beberapa tahun lalu. Dia sengaja membongkar rumahnya menjadi ruang kosong setelah dia pindah ke luar Jakarta. Bekas lahan rumahnya kemudian disewakan untuk menjadi tempat parkir dengan kapasitas 8-10 mobil. Di lokasi ini, setiap penyewa harus membayar sekitar Rp 500 ribu per bulan. “Sebagian besar memang pendatang (warga yang tinggal di kontrakan),” kata dia.
Bisnis parkiran permukiman juga menjamur di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, sejak sepuluh tahun lalu. Di kawasan padat penduduk ini, jalan lima meternya sulit diakses dua arah karena ada saja mobil yang parkir di sana-sini. Namun mobil itu cuma diparkir sementara, tidak ada yang sampai berganti hari.
Warga pemilik mobil yang tak punya garasi menginapkan kendaraan mereka di lahan parkir komunal. Di Mampang Prapatan ada banyak pilihan lokasi parkir milik warga. Tarifnya biasanya Rp 350 ribu sampai Rp 500 ribu per bulan. “Saya pakai mobil sesekali saja ke kantor. Lebih banyak dipakai ketika weekend untuk pulang ke Bandung,” kata Adi Suhendi, 30 tahun, yang berkantor di Kuningan.
Penjaga parkir, Ateng, 40 tahun, mengatakan pengurus RT dan RW memang melarang warga menggunakan badan jalan sebagai lokasi parkir. Yang melanggar pasti kena tegur. “Parkir pinggir jalan juga bahaya. Mobil bisa baret-baret karena banyak kendaraan yang lewat, tapi jalannya sempit,” kata dia di lokasi kerjanya di Jalan Mampang Prapatan II, kemarin.