JAKARTA – Layar laptop terbuka di tengah ruangan. Diiringi musik gamelan Bali, sesosok perempuan berkebaya berlenggak-lenggok menghadap kaca dan membelakangi layar. Dia adalah Putri Minangsari, pelatih kelas tari Bali di Sanggar Wulangreh Omah Budaya.
Pandemi Covid-19 membuat sejumlah kegiatan seni dan budaya terhenti. Pemerintah terpaksa menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah penularan wabah. Tak hanya panggung pertunjukan, sanggar-sanggar tari juga harus menghentikan kegiatan untuk sementara waktu. Pelatih tari, seperti Putri, ikut terkena imbas. Karena itu, perempuan berusia 46 tahun tersebut memanfaatkan teknologi conference call untuk mengajar sebagai alternatif.
Saat mengajar lewat conference call, biasanya Putri akan mencontohkan seluruh gerakan lebih dulu. Selanjutnya, dia memberi gambaran gerakan lebih detail di bagian tangan, kepala, serta raut wajah. Pada saat bersamaan, murid-muridnya bisa menyela untuk bertanya dan berdiskusi ihwal gerakan ataupun tempo tarian. Sebelum kelas berakhir, mereka bisa saling bertukar pendapat atau mengevaluasi gerakan yang diajarkan.
Menurut Putri, mengajar secara online lebih sulit dibanding mengajar tari dengan metode tatap muka. Kendala sinyal yang tak stabil kerap membuat gerakan tari dan musik pengiring tidak kompak. Faktor itu tentu saja mengganggu semangat dan konsentrasi anak didiknya. Karena itu, tidak mengherankan jika masing-masing sering memahami bentuk gerakan secara berbeda.
Selain metode pelatihan dalam kelas, Putri sering menggelar workshop tari bersama Wulangreh Omah Budaya, sanggar tempatnya mengajar. Salah seorang pendiri Wulangreh, Reny Ajeng, mengatakan penggunaan aplikasi serta perangkat teknologi menjadi salah satu alternatif agar komunitas seni bisa tetap beraktivitas dan menghasilkan. "Supaya pegiat seni tidak hanya mengharapkan pada donasi, tapi juga tetap berkegiatan dengan aman," ujar Reny.
Apalagi kegiatan dengan metode daring justru bisa menggaet lebih banyak peserta. Pasalnya, mereka tak perlu hadir ke lokasi kegiatan. Mereka hanya perlu jaringan Internet dan perlengkapan elektronik, seperti handphone ataupun laptop.
Wulangreh Omah Budaya merupakan sebuah komunitas budaya di Jakarta yang selama ini masih tetap aktif berkegiatan seni di tengah pandemi. Wulangreh tetap memfasilitasi berbagai kelas dan workshop bersama sejumlah komunitas seni. Semua kelas itu digelar secara online. "Konsep kami bekerja bareng. Pandemi justru mengharuskan kami untuk terus berinovasi, bukan malah berhenti berkarya," ujar Reny.
Sejumlah komunitas seni di Jakarta juga memanfaatkan alih media untuk tetap berkreasi. Mereka mulai membuat pertunjukan secara daring yang ditayangkan di kanal YouTube. Bisa berbayar, bisa juga tidak. Ada juga yang membuka donasi sukarela. "Tujuannya tentu untuk menghidupi para pekerja panggung," ujar koordinator seniman tari dan musik Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Armen. “Bukan hanya penari atau pelakonnya, tapi juga kru di balik layar.”
Menurut Armen, sejak pandemi muncul dan pemerintah menerapkan PSBB, sebagian besar ruang kreativitas seniman dalam berkarya untuk memperoleh penghasilan telah tertutup. Saat ini peluang yang benar-benar masih terbuka hanyalah di dunia maya. "Ya, dengan memanfaatkan fasilitas media sosial begini, alih media jadi pilihan daripada alih profesi," katanya.
Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, melihat peluang itu dan menyiapkan panggung bagi para seniman. Tentu saja panggung ini dalam bentuk platform digital. Berbagai komunitas seni juga telah melakukan langkah serupa. Upaya ini dilakukan agar para seniman tetap bisa berkreasi dan menunjukkan eksistensi mereka.
INGE KLARA