JAKARTA - Tahun ini, Ibu Kota akan memiliki empat mal anyar yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Empat mal itu adalah Pondok Indah Mall 3, Senayan Park, Aeon Mall Tanjung Barat, dan Astha District 8. Munculnya pusat belanja baru ini semakin mempertegas predikat Jakarta sebagai kota dengan mal terbanyak se-Nusantara.
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, menilai jumlah mal di Jakarta sudah berlebihan, sehingga tidak perlu lagi ditambah. Sebab, penambahan pusat belanja justru dapat menimbulkan masalah baru. "Yang butuh mal itu kapital dan developer saja," kata Elisa.
Menurut Elisa, pemerintah Jakarta masih memiliki pekerjaan rumah yang belum dituntaskan, di antaranya kemacetan dan banjir. Ia menilai antrean panjang kendaraan yang kerap terjadi di pintu masuk pusat belanja justru menjadi pemicu kemacetan.
Elisa berpendapat, ketimbang menambah mal, sebaiknya pemerintah berupaya menambah ruang terbuka hijau. Ruang publik ini lebih dibutuhkan karena dapat difungsikan untuk mengendalikan banjir. Selain itu, ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat untuk arena berkumpul dan bersosialisasi.
Pengamat tata kota Nirwono Joga memiliki pendapat serupa. Menurut dia, penambahan mal bukanlah solusi memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan tingkat ekspansi peretail. Karena itu, dia menyarankan agar pemerintah DKI mendorong pengelola mal mengoptimalkan dan menghidupkan mal-mal yang sudah ada. "Karena banyak mal yang sudah sepi ditinggal konsumen," ujar Nirwono.
Nirwono menambahkan, pada era Gubernur Fauzi Bowo, Jakarta pernah memoratorium pembangunan mal baru. Namun karena kebijakan itu sebatas lisan, larangan pembangunan mal pupus setelah Fauzi tidak lagi menjadi orang nomor satu di DKI. "Memang sebaiknya ada ingub (instruksi gubernur) atau pergub (peraturan gubernur) yang membatasi pembangunan mal dalam kurun waktu tertentu," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia, Alexander Stefanus, menilai moratorium mal yang dikeluarkan Fauzi Bowo sebatas retorika politik. Apalagi saat itu menjelang pemilihan Gubernur DKI dan Fauzi menjadi salah satu kandidat. "Coba lihat, ada-enggak peraturan gubernurnya, keputusan gubernurnya, atau aturan lainnya? Kan enggak ada," kata Alex.
Menurut Alex, sebagai ibu kota negara, Jakarta masih membutuhkan mal baru. Keberadaan mal bisa membantu meningkatkan perekonomian daerah. Sebab, ruang retail bertambah banyak dan tingkat okupansi juga selalu tinggi.
Alex menilai masyarakat yang datang ke mal tidak secara khusus untuk belanja. Tidak sedikit yang memanfaatkan mal sebagai ruang komunal untuk berkumpul dengan keluarga atau teman-teman. "Demand-nya masih ada," kata dia.
Ketua Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia, Budiharjo, menuturkan bahwa mal merupakan bagian dari fasilitas publik. Bahkan ia yakin peretail offline masih dibutuhkan meski e-commerce terus bermunculan. Bagi peretail, kehadiran mal baru berarti bisa menjadi peluang untuk berekspansi. Budiharjo bahkan berharap pemerintah bisa mendukung dengan menyambungkan mal dengan sarana transportasi publik, sehingga bisa menjadi fasilitas yang berkesinambungan.
Ihwal kritik tentang keberadaan mal yang dinilai justru menimbulkan masalah, Budiharjo mengatakan, pembangunan pusat belanja memang harus mempertimbangkan lokasi. Jika lokasinya sangat padat dan sudah ada mal, sebaiknya tidak dikeluarkan izin baru. "Tapi tetap mal (di Jakarta) masih perlu ditambah untuk pengembangan usaha," ujarnya.
INGE KLARA SAFITRI