JAKARTA - Pemerintah DKI Jakarta belum memasukkan daftar aset dengan nilai sekitar Rp 30 triliun ke dalam sistem pencatatan elektronik alias e-asset. "Kami sedang susuri semua," kata Kepala Inspektorat DKI Jakarta, Michael Rolandi, kemarin.
Michael menjelaskan, total aset pemerintah Jakarta sekitar Rp 500 triliun. Hingga pekan lalu, baru sekitar Rp 470 triliun yang pencatatannya rampung dan tercantum dalam sistem e-asset. Sisanya masih dicek kesesuaian nilainya dengan angka yang terdata dalam laporan.
Menurut Michael, masih ditemukan laporan kepemilikan aset yang diserahkan satuan kerja perangkat daerah yang nilainya tak wajar. Kasusnya ditemukan pada aset-aset yang diperoleh pada kurun waktu 1970-1980-an. Nilai aset berupa lahan kerap hanya tercantum Rp 1. "Tak ada pembaruan data sejak aset itu diperoleh pemerintah DKI," kata Michael.
Dinas, biro, dan badan, Michael melanjutkan, kini ditugasi mengecek kewajaran nilai aset mereka. Pengecekan aset berupa lahan disesuaikan dengan nilai jual obyek pajak (NJOP) saat ini. Sedangkan aset lainnya dicocokkan dengan harga pasar serta nilai penyusutannya. Poin kewajaran nilai itu menentukan opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan pemerintah DKI Jakarta.
Bukan hanya aset yang sudah di tangan, Michael melanjutkan, pemerintah DKI juga tengah membenahi catatan piutang aset. Piutang aset itu berasal dari penerbitan surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT) yang penagihannya menjadi tugas wali kota.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, Gembong Warsono, menuturkan, hingga Agustus tahun lalu, baru 40 persen dari 3.000 SIPPT yang diverifikasi pemerintah. Verifikasi tersebut mencatat nama perusahaan, nilai, bentuk piutang aset, serta lokasinya.
Menurut Gembong, pencatatan piutang aset seharusnya bisa diakses publik. Sebab, piutang aset mayoritas berupa fasilitas umum dan fasilitas sosial yang kelak dipakai oleh masyarakat.
Piutang Aset
Surat Keputusan Gubernur Nomor 11 Tahun 1972 mewajibkan perusahaan atau badan hukum yang akan membeli lahan seluas lebih dari 5.000 meter persegi mengajukan permohonan surat persetujuan prinsip pembebasan lahan (SP3L) kepada gubernur. Setelah SP3L terbit, perusahaan wajib membangun fasilitas publik, seperti jalan, taman, atau sekolah.
Setelah membeli lahan, perusahaan yang ingin memanfaatkan lahan tersebut juga wajib mengajukan permohonan SIPPT kepada pemerintah. Kewajiban bagi perusahaan yang memperoleh SIPPT, berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 540 Tahun 1990, adalah menyediakan 20 persen dari luas lahan efektif untuk pembangunan rumah susun.
Dua tahun kemudian, pemerintah Jakarta menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor 640 Tahun 1992. Pemilik lahan yang membebaskan lahan tanpa SP3L diharuskan membayar denda. Nilainya 6 persen dari luas lahan efektif dikalikan dengan rata-rata NJOP pada tahun perolehan kepemilikan dan NJOP tahun berjalan. Gembong memperkirakan total nilai piutang dan denda per Februari tahun lalu sekitar Rp 11,8 triliun.
Wali Kota Jakarta Selatan, Marullah Matali, mengatakan penagihan piutang dan denda terkait dengan SIPPT dilakukan dengan mendatangi lokasi perusahaan. Masalah biasanya muncul saat perusahaan yang ditagih sudah gulung tikar. "Kalau ada yang seperti itu, kami akan lapor ke Balai Kota," kata dia.
Khusus untuk piutang dari perusahaan yang sudah tutup, menurut Michael, pemerintah DKI akan memutuskan kelanjutannya melalui majelis penetapan status aset. Sebab, piutang yang tidak tertagih bakal membebani penilaian dari BPK. "Sebab, kalau tidak begitu, akan terus tercatat sebagai piutang," kata dia.
Gubernur Anies Baswedan mengatakan pencatatan aset ditargetkan rampung pada 15 Maret mendatang. Setelah diaudit BPK selama 67 hari, hasilnya bakal disampaikan pada pertengahan Mei. "Kami mengakui masalah penataan aset ini menantang," kata dia. LINDA HAIRANI
Yang Lepas dan Yang Akan Ditagih