maaf email atau password anda salah


Hak Asuh Anak Akibat Perceraian

Apakah seorang ibu rumah tangga yang menggugat cerai suaminya bisa mendapatkan hak asuh anak?

arsip tempo : 171494861671.

Ilustrasi hak asuk anak akibat perceraian. Freepik. tempo : 171494861671.

Hak Asuh Anak Akibat Perceraian
  

Pertanyaan: 

Halo, Klinik Hukum bagi Perempuan. Perkenalkan, saya Clara dari Surabaya. Saya ingin menanyakan suatu kasus yang terjadi pada seorang teman. Dia selama ini menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Anaknya satu dan baru berusia 12 tahun. Ia berencana bercerai dengan suaminya karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Adapun masalah yang saya tanyakan adalah bagaimana ketentuan tentang hak asuh anak apabila teman saya itu benar-benar bercerai? Apakah bisa jatuh ke tangan sang ibu, meskipun dia saat ini tidak berpenghasilan?

Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Clara, Surabaya


Jawaban:

Terima kasih, Clara, sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan. Berikut ini penjelasan saya atas permasalahan yang dihadapi teman Anda.  

Perlu diketahui, perceraian adalah peristiwa hukum yang memiliki konsekuensi, di antaranya (1) putusnya perkawinan, (2) pengasuhan anak-anak (apabila dalam perkawinan tersebut dikaruniai anak), dan (3) akibat hukum atas harta bersama.

Adapun ketentuan tentang hak asuh anak terdapat dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau biasa disebut UU Perkawinan. Bunyi Pasal 41 ini adalah:
1. Baik bapak maupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu. Bilamana bapak pada kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya itu.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

Dari ketentuan Pasal 41 itu, secara tegas dinyatakan bahwa hak pengasuhan anak akibat perceraian menjadi tanggung jawab kedua orang tua. Namun, apabila terjadi perselisihan, pengadilan akan memutuskan kepada siapa hak pengasuhan anak diberikan.

Selanjutnya, setelah terjadi perceraian, ayah tetap memiliki tanggung jawab memberikan nafkah—termasuk biaya kesehatan dan pendidikan—kepada anak. Kewajiban itu berlaku sampai anak mandiri atau telah menikah. Selain itu, bekas suami diwajibkan memberikan nafkah kepada bekas istri sepanjang ia masih menjanda atau belum menikah dengan lelaki lain.

Ilustrasi hak asuk anak akibat perceraian. Freepik

Kemudian, berdasarkan Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasangan yang bercerai tetap memiliki kewajiban berikut ini terhadap anak.

1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.
2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.
4. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti kepada anak.

Kembali ke pertanyaan Clara tentang bisakah ibu yang tidak berpenghasilan mendapatkan hak asuh anak apabila mengajukan gugatan perceraian karena KDRT?

Sebagaimana dibahas dalam tanya-jawab klinik hukum ini sebelumnya, ketika orang tua bercerai, hak asuh anak otomatis diberikan kepada ibu. Dengan catatan, ketika perceraian itu terjadi, usia anak belum 12 tahun. Namun, apabila usianya sudah lebih dari 12 tahun, anak berhak memilih untuk mendapat hak asuh dari ayah atau ibu.

Dalam kasus teman Clara, tidak ada penjelasan detail tentang usia sang anak. Clara hanya menginformasikan bahwa usia anak 12 tahun. Perlu Anda ketahui, anak berusia 12 tahun 1 hari saja sudah dikategorikan di atas 12 tahun. Artinya, anak tersebut memiliki hak menentukan akan berada dalam asuhan ibu atau ayahnya.

Perlu juga kami jelaskan bahwa hakim memiliki pertimbangan dalam menentukan hak asuh anak. Misalnya, anak yang berusia lebih dari 12 tahun memilih diasuh oleh ayahnya. Namun bisa saja hak asuh tetap diberikan kepada sang ibu apabila hakim menemukan bukti-bukti adanya KDRT terhadap anak yang dilakukan sang ayah. Keputusan hakim itu tentu atas pertimbangan keselamatan sang anak.

Selain itu, untuk mereka yang beragama Islam, aturan tentang hak asuh anak akibat perceraian diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam pasal ini dinyatakan, jika terjadi perceraian, (a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) adalah hak ibunya, (b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, (c) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Sementara itu, bagi yang non-muslim, dasar hukumnya merujuk pada yurisprudensi (putusan pengadilan terdahulu) berikut ini.
1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003 menyatakan bahwa: "Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya seyogiyanya diserahkan kepada orang terdekat dan akrab dengan si anak, yaitu Ibu."
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 menyatakan: "Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriteria, kecuali kalau terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya."

Secara keseluruhan—bila terjadi perceraian—jelas bahwa hak asuh anak yang masih di bawah umur secara otomatis jatuh kepada ibu. Hak asuh itu tidak akan terhapus meski ibu tidak memiliki penghasilan. Sebab, ayah tetap memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada anak meski hak asuh berada di tangan ibu.

Ketentuan mengenai berapa besar nafkah yang diberikan kepada anak tidak diatur secara spesifik dalam UU Perkawinan ataupun KHI. Namun ketentuan itu terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang hanya berlaku bagi bidang pekerjaan tertentu, seperti:
- Bekas suami/ayah pegawai negeri wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983. Kemudian untuk pembagian gajinya, sepertiga untuk bekas suami pegawai negeri, sepertiga untuk bekas istrinya, dan 1/3 untuk anak-anaknya. 
- Bekas suami/ayah yang bekerja sebagai anggota Polri wajib memberikan nafkah kepada anak paling sedikit sepertiga gaji jika hak asuh sementara berada pada istri, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat 3 huruf b Peraturan Kepala Polri Nomor 9 Tahun 2010.
- Bekas suami/ayah yang bekerja sebagai anggota TNI atau pegawai Kementerian Pertahanan wajib memberikan nafkah kepada mantan istri dan anak sesuai dengan putusan pengadilan. Ketentuan ini diatur berdasarkan Pasal 21 ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 31 Tahun 2017. 

Dalam banyak kasus perceraian, bekas suami sering kali tidak melaksanakan kewajiban menafkahi anak-anaknya. Apabila hal ini terjadi, ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh ibu untuk menuntut bekas suaminya. Dasar hukum yang dapat digunakan adalah Pasal 196 HIR, yang menyebutkan bahwa:

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195 buat menjalankan keputusan itu. Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan supaya ia memenuhi keputusan itu dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.

Aturan Pasal 196 HIR ini berlaku bagi yang beragama Islam ataupun non-muslim. Caranya, mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri/ketua pengadilan agama yang memutus perkara perceraian. Selanjutnya ketua pengadilan negeri/ketua pengadilan agama akan memanggil dan memperingatkan bekas suami untuk memenuhi kewajibannya memberikan nafkah kepada anak-anak sesuai dengan putusan perceraian paling lambat delapan hari setelah diperingatkan. 

Apabila tata cara mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri/ketua pengadilan agama tidak dipahami, Anda bisa datang ke pusat pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) pengadilan di bagian informasi untuk mendapatkan penjelasan yang lengkap. 

Selanjutnya, dalam Pasal 197 HIR disebutkan: 

Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu. 

Demikian penjelasan saya, Clara. Semoga dapat menjawab pertanyaan Anda dan persoalan yang dihadapi oleh teman Anda untuk mengajukan gugatan perceraian serta mendapatkan hak asuh anak dapat berjalan lancar.


Terima kasih. Semoga jawaban ini bermanfaat. 

Konten Eksklusif Lainnya

  • 5 Mei 2024

  • 4 Mei 2024

  • 3 Mei 2024

  • 2 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan