maaf email atau password anda salah


Penyelesaian KDRT Sebaiknya Lapor ke Polisi atau Bercerai?

Setiap Kamis dwimingguan, Koran Tempo dan Konde.co bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, serta Kalyanamitra menyajikan rubrik Klinik Hukum Perempuan untuk menjawab persoalan hukum perempuan. Edisi kali ini membahas kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.

arsip tempo : 173074339492.

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. SHUTTERSTOCK. tempo : 173074339492.

Penyelesaian KDRT sebaiknya Lapor ke Polisi atau Bercerai?

Tanya:

Saya ibu rumah tangga di Jakarta berusia 46 tahun dan dikaruniai lima anak. Dua anak sudah bekerja, sedangkan tiga anak lainnya masih sekolah. Saya menikah dengan suami sudah hampir mencapai kawin perak. Sepanjang berumah tangga, saya sebenarnya kerap mendapat perlakuan kekerasan dari suami, baik secara psikis, fisik, maupun seksual. Selama hampir 25 tahun perkawinan, saya bertahan dan menutupi segala perlakuan suami, termasuk ke keluarga saya maupun keluarga suami. Hanya anak-anak yang tahu tentang ini. Anak tertua pernah mengajak saya untuk melapor ke polisi agar ada efek jera kepada bapaknya yang memukuli saya tiap marah tanpa merasa bersalah.

Sepekan lalu, anak tertua mendapat informasi dari temannya yang bekerja di hotel bahwa ia melihat bapaknya menginap di hotel dengan seorang perempuan muda. Anak tertua bercerita kepada saya. Lalu saya menanyakan kebenaran itu kepada suami. Tapi, bukan penjelasan yang didapat, suami malah memukul saya dan mencekik hingga saya pingsan.

Saya baru sadar ketika sudah di rumah sakit dengan kondisi luka di bagian kepala dan kaki. Saat di rumah sakit, saya ditemani kelima anak. Anak tertua kembali menyarankan saya untuk melapor ke polisi. Adapun anak kedua menyarankan untuk bercerai. Bagaimana menyelesaikan masalah ini, apakah sebaiknya melapor ke polisi atau menggugat cerai suami?

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. PIXABAY

 

 

Ulasan:

Terima kasih sudah menghubungi kami di Klinik Hukum Perempuan. Kami turut prihatin atas kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang Anda alami. Semoga Anda dan anak-anak senantiasa diberi kekuatan, dan kondisi kesehatan cepat membaik.

Dalam pandangan kami, setelah membaca surat yang Anda kirimkan, dua langkah bisa dilakukan. Anda bisa melaporkan kasus kekerasan ke polisi. Sambil proses laporan polisi berjalan, Anda bisa menggugat cerai suami ke Pengadilan Agama, jika beragama Islam, atau ke Pengadilan Negeri, jika beragama Kristen, Katolik, Buddha atau lainnya.

 

Sehubungan dengan permasalahan yang Anda alami, kami perlu menjelaskan bahwa aturan hukum kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Mengapa diatur secara khusus? KDRT merupakan tindak pidana kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal (rumah tangga), di mana korbannya kebanyakan adalah perempuan dan pelaku adalah laki-laki serta pelaku dikenal baik serta dekat dengan korban. Misalnya tindak KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri, seperti yang Anda alami.

 

Pengertian KDRT menurut Pasal 1 UU PKDRT adalah:

 

... perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

 

Kekerasan dalam rumah tangga yang Anda alami salah satunya adalah kekerasan fisik yang mengakibatkan rasa sakit, pingsan, dan mengalami luka berat hingga Anda harus dirawat di rumah sakit. Hal ini sudah dimaksudkan dalam Pasal 5 dan 6 UU PKDRT:

 

Pasal 5 UU PKDRT:

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara:

  1. Kekerasan fisik;
  2. Kekerasan psikis;
  3. Kekerasan seksual; atau
  4. Penelantaran rumah tangga

 

Pasal 6 UU PKDRT:

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

 

Sanksi pidana untuk tindak pidana kekerasan fisik dan psikis diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45 UU PKDRT:

 

Pasal 44 UU PKDRT:

  • Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

 

Hal yang perlu Anda ketahui, UU PKDRT ini merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi hak-hak korban KDRT.

 

Hak-hak korban tertuang dalam Pasal 10, UU PKDRT, di antaranya:

  1. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
  2. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
  3. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
  4. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  5. pelayanan bimbingan rohani.

 

Dengan adanya jaminan perlindungan UU PKDRT, Anda memiliki kekuatan secara hukum untuk melaporkan kekerasan yang dilakukan suami ke kepolisian resor (Polres) setempat.

 

Berikut tahapan-tahapan proses pelaporan:

  1. Pelaporan ke kepolisian resor (polres) setempat. 
  2. Di polres, Anda sebagai pelapor (korban) akan dirujuk ke bagian Unit Perempuan dan Anak.
  3. Siapkan bukti awal untuk pelaporan, misal surat perawatan rumah sakit tempat Anda dirawat setelah terjadinya kekerasan, foto bukti luka atau bukti lainnya yang terkait.
  4. Apabila memerlukan pendampingan hukum dari advokat/pengacara saat melapor, Anda bisa menghubungi lembaga bantuan hukum yang memberikan layanan pendampingan hukum kepada perempuan korban KDRT.

 

Perihal keinginan untuk bercerai karena kekerasan yang dialami, Anda dapat menggugat cerai suami ke pengadilan di wilayah tinggal/domisili suami, dengan alasan bahwa suami diduga melakukan tindakan KDRT. Perceraian karena alasan kekerasan disebutkan dalam Pasal 19 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 116 huruf d Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan:

 

Perceraian dapat terjadi karena alasan:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
  6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

 

Jika selama proses gugatan cerai, butuh pendampingan advokat/pengacara tapi tidak mempunyai biaya untuk jasa hukumnya, Anda dapat menggunakan jasa pengacara pro deo (cuma-cuma) yang tersedia pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ataupun Posbakum di pengadilan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang menyatakan:

 

“Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.”

 

Demikian penjelasan kami.

 

Rr Sri Agustini

Advokat LBH APIK

Konten Eksklusif Lainnya

  • 4 November 2024

  • 3 November 2024

  • 2 November 2024

  • 1 November 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan