maaf email atau password anda salah


Janji Capres Soal Gizi Anak

Ketiga capres menjanjikan penuntasan stunting. Bagaimana seharusnya negara berperan dalam perbaikan gizi anak?

arsip tempo : 171477727132.

Petugas kesehatan melakukan imunisasi pada balita di Posyandu Nirwana, Kecamatan Karang Tengah, kota Tangerang, Jawa Barat, 15 Agustus 2023. Tempo/Febri Angga Palguna. tempo : 171477727132.

Ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden telah menempatkan stunting atau bayi kurang tinggi sebagai salah satu prioritas utama program mereka.

Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. menyoroti pentingnya program dukungan kesehatan bagi ibu hamil. Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berkomitmen pada program kartu anak sehat untuk mencegah stunting. Bagi anak yang sudah bersekolah, kandidat ini menjanjikan makan siang dan susu gratis untuk meningkatkan gizi anak. Adapun pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menargetkan tidak akan ada lagi anak di Indonesia yang mengalami gizi buruk.

Kita perlu mencermati prioritas itu kelak jika mereka terpilih, apakah benar-benar serius menyelesaikan masalah kurang gizi pada anak atau hanya janji politik semasa kampanye Pemilu 2024.

Menu makanan sehat dan bergizi dalam acara Gerakan Edukasi dan Pemberian Pangan Bergizi untuk Siswa di Kelurahan Balumbang Jaya, Kota Bogor, Jawa Barat, 22 November 2023. ANTARA/Arif Firmansyah

Negara Perlu Hadir Mengintervensi Gizi

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan malnutrisi sebagai ketidakseimbangan asupan nutrisi. Bukan hanya "kekurangan", malnutrisi juga berupa "kelebihan", gangguan, atau ketidakseimbangan zat gizi yang esensial.

Sebuah riset terbaru menyatakan Indonesia menjadi contoh utama dari tiga beban malnutrisi (triple burden of malnutrition): sekitar satu dari lima anak di bawah usia 5 tahun mengalami stunting (tumbuh kerdil), satu dari sepuluh anak mengalami kurang berat badan, serta satu dari sepuluh anak juga memiliki berat badan berlebih.

Data ini tidak hanya mencerminkan krisis kesehatan masyarakat yang mendesak, tapi juga mengindikasikan tantangan sosioekonomi yang lebih luas. Seiring dengan pertumbuhan mereka, konsekuensi dari malnutrisi akan mempengaruhi perkembangan kognitif, pencapaian pendidikan, dan potensi pendapatan masa depan mereka.

Tantangan gizi merupakan persoalan unik yang tidak dapat diatasi semata oleh ahli gizi atau melalui penggunaan obat secara intensif, seperti dalam penyembuhan penyakit kronis atau akut. Isu gizi melibatkan hubungan yang kompleks di antara berbagai intervensi, termasuk aspek ekonomi, budaya, pengetahuan, dan perilaku. Meskipun demikian, perbaikan gizi tetap perlu dilakukan melalui berbagai upaya, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.

Menurut Bank Dunia, ada tiga alasan suatu negara harus mengintervensi urusan gizi. Pertama, perbaikan gizi memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi. Kedua, intervensi gizi terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketiga, perbaikan gizi membantu mengurangi tingkat kemiskinan melalui peningkatan produktivitas kerja, pengurangan jumlah hari sakit, dan pengurangan biaya pengobatan.

Pemerintah Indonesia, melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan, telah mengeluarkan Pedoman Pangan Jajanan Anak Sekolah untuk Pencapaian Gizi Seimbang bagi orang tua, guru, dan pengelola kantin. Selain itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menerbitkan buku saku Gizi Seimbang dan Kantin/Jajanan Sehat di sekolah dasar.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan gaya hidup, konsep pola konsumsi makanan yang sebelumnya dikenal sebagai "4 sehat 5 sempurna" telah digantikan oleh konsep "gizi seimbang". Gizi seimbang mencakup pola makan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Ini melibatkan prinsip keanekaragaman atau variasi dalam makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan pemeliharaan berat badan ideal.

Secara umum, komposisi makanan seimbang mencakup karbohidrat sebanyak 50-65 persen dari total energi, protein 10-20 persen, dan lemak 20-30 persen. Penting juga membatasi konsumsi gula hingga sekitar 5 persen dari total kebutuhan energi atau 3-4 sendok makan setiap hari.

Berfokus pada Hasil

Ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor, Hadi Riyadi dan Ali Khomsan, menjelaskan bahwa program gizi perlu mengadopsi paradigma baru, yang disebut sebagai paradigma outcome (hasil). Maksudnya, pertumbuhan dan status gizi anak dipandang sebagai indikator kesejahteraan.

Pertama, meningkatkan pola pertumbuhan dan status gizi anak dari kondisi tidak normal menjadi normal atau bahkan lebih baik. Misalnya, untuk menangani masalah kekurangan energi protein, pola pertumbuhan dan status gizi tidak serta-merta berdiri sendiri.

Penanganan masalah ini harus terintegrasi dengan program lain, seperti air bersih, kesehatan lingkungan, imunisasi, lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian, rasionalitas program gizi menjadi bagian integral dari pembangunan nasional.

Kedua, kegiatan pemantauan berat badan dan tinggi badan anak melalui survei gizi nasional periodik menjadi kunci untuk mendukung program gizi. Dukungan untuk kegiatan ini harus disokong sistem pemantauan kondisi gizi anak yang dapat mencerminkan kondisi di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh survei gizi nasional.

Ketiga, revitalisasi posyandu dianggap berhasil ketika berfungsi sebagai lembaga masyarakat, terutama di desa, untuk memonitor pertumbuhan anak. Pendidikan dan pelatihan kepada ibu-ibu tentang cara menimbang anak, mencatat pertumbuhan di Kartu Menuju Sehat (KMS), dan memahami KMS dengan baik menjadi kunci keberhasilan revitalisasi posyandu.

Terakhir, kita perlu perubahan dalam kurikulum lembaga pendidikan tenaga gizi di semua tingkatan untuk lebih memahami perlunya paradigma baru yang berorientasi pada pertumbuhan dan status gizi anak sebagai fokus dan tujuan program.

Thailand telah menerapkan paradigma outcome dalam memprioritaskan data status gizi anak dalam kebijakan dan program gizinya. Sejak 1990, mereka rutin mengumpulkan data nasional mengenai perkembangan berat badan anak.

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tersebut, Thailand telah mengalami pertumbuhan pesat dalam pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita dan pasokan energi makanan (dietary energy supply), serta penurunan tingkat kekurangan gizi secara berkelanjutan.

Status gizi anak dijadikan indikator kemiskinan dalam kebijakan pembangunan nasional, dan program gizi diintegrasikan sebagai bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan.

Sejumlah siswa Sekolah Dasar menunjukkan menu makanan sehat dan bergizi saat pemberian makanan ringan dalam Gerakan Edukasi dan Pemberian Pangan Bergizi untuk Siswa (Genius) di Kelurahan Balumbang Jaya, Kota Bogor, Jawa Barat, 22 November 2023. ANTARA/Arif Firmansyah

Pendekatan Pengambilan Keputusan Berbasis Bukti

Kemajuan yang pesat dalam ilmu dan teknologi saat ini sangat terasa di berbagai bidang, termasuk di bidang gizi dan kesehatan. Munculnya konsep paradigma medis melalui pendekatan prediktif, preventif, personal, dan partisipatif memungkinkan manajemen serta dukungan kesehatan yang spesifik untuk tiap individu yang memiliki perbedaan dalam metabolisme, genetika, biokimia, dan mikrobiota, yang mempengaruhi respons tubuh terhadap asupan gizi.

Pengetahuan tentang nutrigenetika dan nutrigenomika memiliki peran krusial dalam merekomendasikan gizi yang disesuaikan dengan faktor genetik. Nutrigenetika memberikan wawasan tentang bagaimana individu merespons nutrisi dalam makanan. Sedangkan nutrigenomika menunjukkan bagaimana asupan nutrisi (gizi makro, gizi mikro, dan zat aktif biologis lain) mempengaruhi ekspresi gen serta rekomendasi diet yang optimal.

Sebuah studi nutrigenetik dari Universitas Gadjah Mada menyoroti kaitan antara stunting pada anak dan risiko obesitas saat dewasa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa anak yang mengalami stunting cenderung memiliki risiko obesitas yang lebih tinggi karena tingkat metabolismenya rendah. Beberapa gen telah diinvestigasi, khususnya gen yang terkait dengan mekanisme hormon ghrelin yang mengatur rasa lapar, dan terbukti memainkan peran dalam fenomena ini.

Dengan demikian, kesejahteraan anak-anak bukan hanya tindakan belas kasihan, tapi juga aspek yang esensial bagi masa depan bangsa. Hal ini mencakup pendidikan, produktivitas tenaga kerja, dan kemajuan bangsa Indonesia dalam mengoptimalkan momentum bonus demografi.

Bagi kandidat presiden yang bersaing untuk memimpin lima tahun ke depan, penanganan malnutrisi anak harus menjadi poin sentral dalam kampanye mereka sebagai sinyal komitmen untuk Indonesia yang lebih sehat dan sejahtera.

---

Artikel ini ditulis oleh Iskandar Azmy Harahap, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 3 Mei 2024

  • 2 Mei 2024

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan