Persaingan politik sengit selama setahun hingga pemilihan umum, April lalu, berakhir manis. Bukan bagi publik, melainkan untuk para elite. Dua kubu yang telah membelah masyarakat itu berangkulan masuk kekuasaan. Bergabungnya kubu Prabowo Subianto ke pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin itu menyisakan fraksi kecil nonpemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah Partai Gerindra bergabung dengan koalisi pemerintah-gabungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan-hanya tersisa Partai Keadilan Sejahtera yang secara terbuka menyatakan diri sebagai partai oposisi. Dua partai lain, yakni Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional, tidak menyatakan sikap. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, mengatakan demokrasi Indonesia menjadi kurang berkualitas.
Ia menyatakan partai politik terjebak oligarki bahkan konglomerasi. Menurut dia, para elite politik kini bermanuver hanya untuk menyelamatkan kepentingan diri dan kekuasaannya. Demokrasi partisipatoris yang dilaksanakan melalui pemilihan langsung tidak benar-benar dilakukan bagi kepentingan rakyat. "Rakyat hanya dijadikan topeng, demokrasi kita bertopeng," ujarnya.
Siti menganggap demokrasi Indonesia berada di persimpangan jalan lantaran tarikan kembali ke sistem otoritarian semakin kencang. Ia menilai kondisi ini akan mempengaruhi kualitas pemerintahan. Selain itu, upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik akan banyak menemui kendala. "Pemerintah akan makin sulit meyakinkan masyarakat bahwa aspirasinya diakomodasi," kata dia.
Konsolidasi elite yang merugikan publik bahkan sudah dimulai sebelum kabinet terbentuk. Kekuatan politik di Senayan dan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla bersepakat dan dalam waktu singkat mempreteli kekuatan komisi antikorupsi. Secara formal, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi memang merupakan inisiatif DPR. Namun, prosesnya di luar kewajaran, termasuk tidak didahului dengan memasukkannya ke dalam program legislasi nasional. Jokowi sebenarnya bisa menahan inisiatif ini dengan tidak mengirimkan surat yang menunjuk wakil pemerintah dalam pembahasan revisi. Kenyataannya, ia melakukannya dengan segera.
Kalangan aktivis antikorupsi menganggap revisi ini menyingkirkan independensi lembaga itu. Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, mengatakan Presiden Jokowi memperbesar pengaruhnya terhadap KPK melalui revisi Undang-Undang KPK. Penguatan pengaruh tersebut, ujar Oce, diawali dengan mengubah kedudukan KPK dari lembaga independen menjadi lembaga yang berada di bawah presiden.
Undang-Undang KPK juga mempreteli kewenangan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh KPK melalui pembentukan Dewan Pengawas. Pelemahan semakin menjadi dengan terpilihnya pemimpin KPK jilid V yang diragukan komitmennya. "Secara sistematis, revisi Undang-Undang KPK menempatkan KPK sebagai lembaga yang dikontrol presiden," kata Oce, kemarin.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, ke depan, penindakan yang dilakukan KPK berpotensi berkurang. Salah satu sebabnya, tutur dia, draf Peraturan Presiden tentang Organisasi dan Tata Kerja Pimpinan dan Organ Pelaksana Pimpinan KPK mengatur tugas deputi penindakan yang justru berfokus pada pencegahan. "Padahal penindakan merupakan pencegahan dalam bentuk lain, karena orang jadi jera dan takut untuk korupsi," ujarnya.
Meredupnya demokrasi-ditandai oleh konsolidasi elite, termasuk dengan melemahkan perang melawan korupsi-membuat 2019 patut dikenang sebagai tahun kegelapan. Layak segera dilupakan.
Jalan Mundur Demokrasi