NEW DELHI – Joginder Chaudhary merupakan kebanggaan terbesar orang tuanya. Pria berusia 27 tahun itu menjadi dokter pertama dari sebuah desa di pedalaman India.
Namun, pada akhir Juli lalu, Joginder menjadi salah satu korban jiwa akibat pandemi Covid-19. Tiga pekan kemudian, virus SARS-CoV-2 juga merenggut nyawa sang ibunda, Premlata Chaudhary.
“Pandemi ini telah menghancurkan keluarga saya,” kata Rajendra Chaudhary, yang kehilangan putranya, kemudian istrinya. “Semua aspirasi kami, impian kami, punah sudah.”
Delapan setengah bulan sejak Covid-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, Universitas Johns Hopkins kemarin mengumumkan bahwa angka kematian yang dikonfirmasi telah melampaui satu juta jiwa. Sementara itu, jumlah kasus infeksi secara global telah menembus 33,4 juta orang.
“Ini bukan sekadar angka. Mereka manusia yang kami cintai,” ujar Dr Howard Markel, profesor sejarah medis di Universitas Michigan, yang telah menasihati pejabat Amerika Serikat tentang cara mengatasi pandemi. “Mereka saudara, pasangan, anak, atau orang tua kita. Mereka orang yang kita kenal.”
Pada Kamis pagi Februari lalu, ibu Markel terserang penyakit yang kemudian didiagnosis sebagai Covid-19. Perempuan berusia 84 tahun itu mengembuskan napas terakhir sebelum tengah malam.
Bahkan angka 1 juta jiwa itu—lebih dari empat kali jumlah korban tewas akibat gempa bumi dan tsunami pada 2004 di Samudra Hindia—dipastikan lebih kecil dari jumlah kematian sebenarnya.
“Angka yang saat ini dilaporkan mungkin mewakili perkiraan yang terlalu rendah dari orang-orang yang tertular Covid-19 atau meninggal sebagai penyebabnya,” tutur Mike Ryan, ahli darurat utama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam jumpa pers di Jenewa, pada Senin lalu.
Banyak kematian mungkin terlewatkan karena pengujian yang tidak memadai dan pelaporan yang tidak konsisten. Sejumlah pihak bahkan mencurigai penyembunyian data kematian akibat Covid-19 oleh negara-negara seperti Rusia dan Brasil.
Jumlah kematian akibat Covid-19 melebihi angka kematian tahunan akibat AIDS, yang tahun lalu menewaskan sekitar 690 ribu orang di seluruh dunia. Jumlah korban virus corona mendekati angka 1,5 juta kematian global setiap tahun akibat tuberkulosis, yang secara teratur membunuh lebih banyak orang dibanding penyakit menular lainnya.
“Namun cengkeraman Covid-19 pada umat manusia jauh lebih besar daripada cengkeraman penyebab kematian lainnya,” tutur Lawrence Gostin, profesor hukum kesehatan global di Universitas Georgetown.
Gostin mencatat pandemi ini juga menyebabkan pengangguran, bertambahnya jumlah orang miskin, dan kematian dari berbagai penyakit lain yang tidak diobati.
Covid-19 pertama kali dilaporkan di Kota Wuhan, Cina, pada akhir tahun lalu. Saat itu, para dokter mulai memperhatikan pasien-pasien yang sakit parah dengan bentuk baru pneumonia yang misterius.
Meskipun ada penutupan perbatasan dan karantina, virus itu menyebar ke seluruh dunia dan WHO menyatakan wabah itu sebagai pandemi pada Maret lalu.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan dunia telah mencapai “tonggak yang menyakitkan” dengan begitu banyak angka kematian.
“Kita tidak boleh melupakan setiap kehidupan,” demikian dia menulis di Twitter. “Saat perburuan vaksin—yang terjangkau dan tersedia untuk semua—terus berlanjut, mari kita hormati kenangan tentang mereka dengan bekerja sama untuk mengalahkan virus ini.”
Jumlah kematian diperkirakan terus meningkat karena wabah terus menyebar di banyak negara di dunia.
Namun para ahli kesehatan mengatakan pengujian dan pelacakan kontak sangat penting untuk mengendalikan penyebaran Covid-19, seperti yang dilakukan sejumlah negara, seperti Vietnam dan Selandia Baru.
WHO pun pada Senin lalu mengumumkan sekitar 120 juta tes diagnostik cepat untuk virus akan tersedia bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah selama enam bulan ke depan.
“Tes tersebut memberikan hasil yang dapat diandalkan hanya dalam 15 menit,” kata Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
AL JAZEERA | ABC NEWS | REUTERS | SITA PLANASARI AQUADINI
6