maaf email atau password anda salah


Kemendikbudristek

Kementerian Kebudayaan yang Ideal

Wacana pembentukan Kementerian Kebudayaan terdengar nyaring. Menunggu pemenuhan janji politik. 

arsip tempo : 172755137149.

Program Sekolah Lapang Kearifan Lokal di Alor, makan siang gratis berbasis diversitas sistem pangan lokal. tempo : 172755137149.

Jalan kebudayaan setelah tujuh tahun pemerintah Indonesia menetapkan landasan hukum Pemajuan Kebudayaan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 (Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan) barangkali akan menempuh babak baru. Dalam waktu dekat pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan presiden dan wakil presiden terpilih akan dilantik, mengumumkan susunan kabinet, dan menunaikan janji-janji politik mereka. Salah satu janji politik tersebut adalah pembentukan Kementerian Kebudayaan.

Wacana ini pernah diungkapkan Prabowo dalam Debat Kelima Capres Pemilu Tahun 2024 (4/2). Ia menilai, warisan budaya dan sejarah Indonesia memerlukan perhatian khusus. “...kalau saya jadi presiden, saya akan memikirkan (pembentukan) Kementerian Kebudayaan. Kalau ide yang baik dari mana pun saya bisa terima dan saya dukung,” kata Prabowo.

Beberapa waktu belakangan wacana pembentukan Kementerian Kebudayaan terdengar nyaring. Media massa (tidak terkecuali media sosial) bahkan merilis kandidat kuat untuk mengisi jabatan ‘tulang punggung’ ke kebudayan Indonesia itu. Dan siapapun mengisi jabatan itu, sudah tentu ia mesti menjalankan misi kebudayaan dengan dasar pijakan Asta Cita, sebagai dokumen awal untuk mencapai visi 'Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045'. Namun yang terpenting, jika Kementerian Kebudayaan benar direalisasikan, lembaga eksekutif ini semestinya harus menyerap semangat kerja-kerja Pemajuan Kebudayaan beberapa tahun belakangan.  Kerja-kerja transformatif yang telah membawa dampak signifikan dalam pengelolaan kebudayaan di Indonesia.

Melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), dalam hal ini Direktorat Kebudayaan, cara pandang pemerintah serta pemangku kepentingan dalam memandang kebudayaan setidaknya sudah berubah. Perencanaan kebijakan menjadi lebih partisipatif dengan pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan secara langsung. Semangat pemajuan kebudayaan secara gotong royong juga telah membangun kesadaran pemerintah sebagai fasilitator dan bukan eksekutor.

Intervensi kebijakan kebudayaan beberapa tahun belakangan juga mengalami pergeseran. Jika dulu fokus pada cabang-cabang kebudayaan tertentu, kini muncul kesadaran bahwa kerja-kerja kebudayaan harus meliputi ekosistem kebudayaan secara menyeluruh. Kesadaran bahwa tidak ada kebudayaan murni, produk dan praktik budaya adalah hasil pertemuan dan percampuran masyarakat dari budaya lain, terus berkembang seiring waktu. Kesadaran bahwa kebudayaan berpijak pada keseharian masyarakat dalam berbudaya, dari yang paling tradisional sampai yang paling kontemporer, dari yang hampir punah hingga yang terus berkembang.

Dokumen Asta Cita 

Misi tentang kebudayaan dalam dokumen Asta Cita Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan, memungkinkan menjadi penopang kerja-kerja transformatif kebudayaan selama ini, jika dokumen tersebut diartikulasikan dengan  RPJPN 2025-2045 menyangkut “Ketahanan Sosial Budaya dan Ekologi”, dan terpenting dokumen Strategi Kebudayaan yang sudah ada.

Dokumen Strategi Kebudayaan tersebut meliputi tujuh agenda strategis meliputi penyediaan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi budaya untuk memperkuat kebudayaan yang inklusif; melindungi dan mengembangkan nilai, ekspresi dan praktik kebudayaan tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional; mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya untuk memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional; memanfaatkan objek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem; reformasi kelembagaan dan penganggaran kebudayaan untuk mendukung agenda pemajuan kebudayaan; dan meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan dengan menjamin data dukung yang terpadu dan berkelanjutan, pemerataan akses atas sarana-prasarana budaya serta peningkatan SDM kebudayaan.

Setidak artikulasi dari keseluruhan dokumen tersebut akan menghadirkan ruang lebih bagi kebijakan kebudayaan pemerintah selanjutnya dalam rangka menjadikan keragaman budaya sebagai fondasi literasi kebangsaan; sebagai landasan utama pembangunan ditopang dengan ekonomi kreatif; dan memperkuat peran pelaku kebudayaan dalam mewujudkan ketahanan sosial, budaya, dan ekologi.

Dalam dokumen Asta Cita kita dapat pengartikulasian tersebut sudah muncul termasuk soal ekologi budaya. Kebudayan dan ekonomi kreatif juga hadir (beriringan) baik dalam program prioritas dan program kerja.

Penyerapan Fungsi Ekraf

Proses pemajuan kebudayaan selama ini mungkin masih terbentur persoalan: dipandang tidak menguntungkan! Padahal proses ini memiliki multiplier effect atau dampak berkelanjutan terhadap sektor lain, dampaknya konkret, termasuk pada urusan perekonomian.

Hasil riset Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Badan Pusat Statistik (BPS) melihat adanya penurunan tingkat kemiskinan ketika dimensi ekonomi budaya semakin tinggi.

Untuk itulah, jika Kementerian Kebudayaan dibentuk, lembaga ini salah satunya harus memainkan fungsi ekraf di dalamnya. Selama ini, domain kerja Direktorat Kebudayaan Kemendikbudristek mungkin tidak dapat menyentuh fungsi tersebut dalam nomenklatur, meski secara fungsi mereka menjalankan dalam kerja-kerja kebudayaan. Melalui fungsi ini, Kementerian Kebudayaan akan dapat menopang dua hal sekaligus, High Cultural Impact dan High Economic Impact.

Tentu saja, untuk menjalankan fungsi ini, struktur pembentukan Kementerian Kebudayaan tidak dapat bulat-bulat menempel-salin struktur Direktorat Kebudayaan Kemendikbudristek.

Dengan fungsi kerja lebih besar, tanggung jawab lebih besar, rencana pembentukan kementerian harus disusun dengan jelas–sebagaimana ikhtiar kehadiran Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, mewujudkan cita-cita pendiri bangsa agar Indonesia menjadi bangsa dengan masyarakat berkepribadian secara budaya, berdikari secara ekonomi, serta berdaulat secara politik.

*Penulis: Esha Tegar Putra - Mahasiswa Program Doktor Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 September 2024

  • 27 September 2024

  • 26 September 2024

  • 25 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan