maaf email atau password anda salah


Gimik Penghiliran Tambang

Penghiliran tambang tak menjadi daya ungkit ekonomi. Dampak buruknya lebih besar.

arsip tempo : 172750392169.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172750392169.

JIKA benar penghiliran tambang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia di masa Presiden Joko Widodo, seharusnya Indonesia telah menjadi negara dengan ekonomi yang melesat. Nyatanya, klaim pemerintah itu jauh panggang dari api: pertumbuhan ekonomi stagnan dan tingkat pengangguran makin tinggi.

Pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan merupakan hasil akhir program pembangunan pemerintah di negara seperti Indonesia, yang pemerintahnya agresif mengatur hal ihwal. Rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 4,73 persen dalam sepuluh tahun terakhir, jauh di bawah satu dekade pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebesar 6,22 persen.

Tingkat pengangguran hingga April 2024, menurut Dana Moneter Internasional, sebesar 5,2 persen dari angkatan kerja—tertinggi dibanding negara-negara ASEAN lain yang tak punya program "hilirisasi" tambang. Jumlah orang yang kehilangan pekerjaan di industri juga naik.

Pasalnya, penghiliran tambang termasuk industri padat modal. Menurut data Kementerian Investasi, hingga semester pertama tahun ini, nilai investasi mencapai Rp 829,9 triliun atau naik 22,3 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Realisasi investasi paling besar datang dari sektor logam dasar dan pertambangan, dua industri yang tak punya dampak berantai ke industri lain.

Penyebab lain adalah tiadanya peta jalan pemanfaatan sumber daya alam berupa tambang dan mineral. Pemerintah Indonesia baru sebatas berbangga diri dengan nilai cadangan tambang dan produksi nomor satu di dunia. Misalnya nikel. Menurut US Geological Survey, cadangan nikel Indonesia sebanyak 21 persen nikel global dengan produksi 48 persen dibanding produksi nikel global. Amerika Serikat dan Cina adalah dua negara yang menyerap nikel paling banyak dari Indonesia.

Walhasil, sumber daya yang besar itu malah menguntungkan negara lain yang siap dengan industri turunannya. Pemerintahan Jokowi yang berfokus membangun smelter baru bisa mengolah bahan baku untuk dipakai sebagai barang jadi oleh negara lain dengan nilai tambah berkali-kali lipat.

Dalam hal nikel, pabrik peleburannya (smelter) baru bisa menghasilkan feronikel, bahan baku pemadu baja atau baterai kendaraan bermotor. Dari sektor nonmigas, feronikel paling banyak diekspor ke Cina dengan nilai US$ 14,95 miliar. Setelah jadi baterai kendaraan listrik, mobil dan sepeda motor dari Cina itu menginvasi pasar Indonesia.

Kebijakan mewajibkan pembangunan smelter bagi industri pertambangan membuat pemerintah melupakan industri lain, terutama industri pengolahan dan manufaktur yang membuka banyak lapangan pekerjaan serta meningkatkan produktivitas ekonomi. Akibatnya, seperti disebutkan para ahli ekonomi, Indonesia mengalami deindustrialisasi yang terlalu dini.

Buktinya adalah penurunan jumlah penduduk kelas menengah Indonesia dalam lima tahun terakhir. Industrialisasi yang macet membuat pemecatan merajalela, sehingga penduduk Indonesia kehilangan pendapatan tetap. Akibatnya, menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, jumlah penduduk kelas menengah Indonesia turun 8,5 juta jiwa selama 2018-2023 dari sekitar 80 juta jiwa.

Penurunan jumlah penduduk kelas menengah itu seiring dengan kenaikan jumlah pekerja informal yang tak memiliki penghasilan tetap. Hingga Februari 2024, menurut Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik, jumlah pekerja informal sebanyak 59,1 persen dari total penduduk yang bekerja sebanyak 142,2 juta atau naik dari 55,7 persen pada 2019. Kenaikan jumlah pekerja informal dan susutnya kelas menengah membuat ekonomi Indonesia tak stabil.

Dengan adanya data itu, presiden terpilih Prabowo Subianto sebaiknya tak memaksakan program penghiliran tambang setelah dilantik pada 20 Oktober 2024. Prabowo, dalam janji kampanyenya, tak akan mundur dalam program makan siang gratis, swasembada pangan, dan penghiliran tambang. Tekad itu gagah tapi segera melempem jika memakai cara Jokowi dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Apalagi penghiliran tambang terbukti meninggalkan bencana lingkungan dan perampasan ruang hidup masyarakat adat dan masyarakat lokal. Penghiliran tambang tanpa menimbang dampaknya, tanpa perencanaan matang dengan menciptakan iklim investasi di industri turunan, bukan sekadar gimik pembangunan, juga bisa menjadi bencana ganda di kemudian hari: bencana ekonomi sekaligus bencana sosial.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 September 2024

  • 27 September 2024

  • 26 September 2024

  • 25 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan