maaf email atau password anda salah


Hikayat Anggrek Tak Bernama

Penelitian memastikan spesies baru pada marga anggrek kuku macan. Tantangan bagi sains melawan ancaman kepunahan.

arsip tempo : 172670185326.

Aerides obyrneana. Foto: Destario Metusala. tempo : 172670185326.

INI adalah secuil kisah tentang Aerides obyrneana. Lebih dua dekade, anggrek yang sempat menjadi koleksi Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur, tersebut tak bernama. Selama itu pula dia menunggu identitasnya di jajaran jenis-jenis anggrek dari marga Aerides yang masyhur.
 
Hasil penelitian saya, yang belum lama ini dipublikasikan dalam Edinburg Journal of Botany, memastikan bahwa anggrek tanpa identitas asal Sulawesi itu adalah spesies baru Aerides. Epitet “obyrneana” saya sematkan sebagai penghormatan kepada mendiang Peter O'Byrne, seorang pemerhati dengan spesialisasi anggrek kawasan Asia Tenggara yang bertahun-tahun lalu turut menuntun riset ini.
 
Sekarang taksonomi telah membantu kita mengenal Aerides obyrneana. Namun teka-teki baru kini malah muncul: mampukah ilmu pengetahuan menemukan jejak sejarah sekaligus mendorong pelindungan spesies baru ini? Sedangkan kita tahu, sains justru sedang berkejaran waktu dengan berbagai ancaman terhadap keanekaragaman hayati yang makin masif dipicu ulah manusia.

Fase Pencarian Jati Diri

Petualangan Aerides obyrneana dalam menemukan jati dirinya dimulai pada 2000, ketika tim Kebun Raya Purwodadi menggelar ekspedisi botani di Sulawesi. Dia diboyong ke Pasuruan sebagai bagian dari sejumlah temuan spesimen anggrek yang belum teridentifikasi.

Indonesia memang dikenal sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman spesies anggrek tertinggi di dunia. Beragam spesies anggrek, dengan bentuknya yang unik, terhampar luas di belantara Sumatera hingga Papua. Satu di antaranya adalah anggrek dari genus Aerides spp. Dagu bunga genus ini berbentuk konus yang meliuk dan berujung runcing. Karena itulah, para hobiis mengenalnya dengan nama lokal anggrek kuku macan.

Perawakan Aerides obyrneana, meliputi perbungaan (A); bunga dengan bibir dalam bentuk alami tampak miring (B-C); bunga dalam bentuk alami tampak belakang (D); serta bibir, cuping tengah, dan cuping samping dalam bentuk alami (E). Foto: Destario Metusala

Kala itu belum ada petunjuk apa pun untuk mengidentifikasi nama spesies dari anggrek Aerides yang dibawa oleh tim ekspedisi dari Sulawesi tersebut. Anggrek-anggrek ini ditemukan di tepian hutan semi-terbuka dengan sirkulasi udara yang lancar dan relatif terang. Hidupnya epifit, yakni menempel di permukaan batang pepohonan tapi tidak bersifat parasit.

Selama sedekade ditanam Kebun Raya Purwodadi, hanya satu spesimen individu dewasa yang akhirnya bertahan hidup. Ukurannya terbilang tidak terlalu besar. Batang berdaun hanya berukuran tinggi 10-16 sentimeter. Daunnya berseling memanjang seperti pita dengan bentang sepanjang 4-13 sentimeter. Akar lekatnya mencapai 60 sentimeter dengan fungsi untuk menyerap kelembapan dari udara dan kulit pepohonan. Akar itu pula menjadi tempat menyimpan cadangan air.

Sayangnya, selama itu pula anggrek asal Sulawesi ini tetap tak bisa dikenali jenisnya. Lebih dari sepuluh tahun dirawat di Kebun Raya Purwodadi, dia tak kunjung berbunga. Padahal organ bunga sangatlah penting untuk mengidentifikasi spesies anggrek secara akurat.

Hingga kemudian, peluang itu datang pada 2012. Untuk pertama kalinya anggrek tak bernama itu berbunga.

Saat kondisinya mekar sempurna, bunga itu berukuran lebar 2,4-2,6 sentimeter. Sepal dan petal bunganya berwarna dasar putih dengan spot keunguan. Bibir bunganya berbentuk melebar seperti kipas berwarna kuning cerah dengan bagian ujungnya yang keunguan. Dagu bunganya melengkung dan biasanya berisi cairan nektar bagi serangga penyerbuk.

Bentuk dan kombinasi warna ini tidak lazim untuk berbagai spesies Aerides yang selama ini dikenal berasal dari Indonesia. Dari sini pula proses mengidentifikasi jenis anggrek ini bak sebuah perjudian. Meski tidak intensif, riset ini bakal memakan waktu hingga 11 tahun sejak bunganya mekar.

Sketsa Aerides obyrneana yang digambar oleh penulis saat spesies anggrek baru tersebut berbunga pada 2012, mencakup perawakan tanaman (A); sepal dan petal bunga (B); bibir bunga dalam bentuk alami tampak atas (C); cuping tengah bibir bunga dalam kondisi dibentangkan (D); bunga utuh tampak depan (E); bunga utuh tampak samping (F); penutup pollinia serbuk sari (G); tugu bunga utuh (H); bentuk ujung daun (I); dan penampang belahan membujur organ bibir bunga (J). Foto: Destario Metusala

Kesulitan utama dalam mengidentifikasi jenis ini adalah membandingkan karakter morfologi bunganya dengan berbagai anggrek Aerides lain di dunia. Selama ini lebih dari 30 spesies anggrek dari genus Aerides di seluruh dunia telah teridentifikasi. Namun banyak spesies tersebut dideskripsikan secara sederhana, tidak terperinci, dan minim ilustrasi.

Sebelum temuan spesies baru ini dipublikasikan, lima spesies Aerides telah dikenal dari Indonesia. Spesies Aerides odorata merupakan jenis yang paling tersebar luas, dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, kepulauan Nusa Tenggara, hingga Sulawesi. Satu spesies Aerides endemik adalah Aerides timorana yang berasal dari kawasan kepulauan Nusa Tenggara. Sedangkan tiga spesies endemik lain tercatat berasal dari Sulawesi, yaitu Aerides huttonii, Aerides inflexa, dan Aerides thibautiana.

Tak satu pun dari lima spesies anggrek tersebut yang bunganya mirip dengan Aerides tanpa identitas yang dibawa oleh tim ekspedisi Kebun Raya Purwodadi.

Upaya membandingkan dengan herbarium anggrek Aerides yang tersimpan pada berbagai herbaria di dunia pun tidak banyak membantu. Kondisi bunga herbarium yang kering, pipih, dan rapuh menyulitkan proses perbandingan ornamen bagian dalam bunganya. Maka harapan satu-satunya adalah membandingkannya dengan organ bunga yang masih segar.

Permasalahannya, bunga Aerides tak bernama asal Sulawesi ini justru memiliki kemiripan morfologi dengan Aerides houlletiana dari kawasan Indochina dan Aerides upcmae yang endemik Filipina. Mendapatkan sampel bunga segar dua spesies yang masuk kategori appendix II dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) tersebut bukanlah perkara mudah.

Penampakan bagian cuping tengah dan cuping samping bunga Aerides houlletiana Rchb.f. dalam bentuk alami dilihat dari atas (A) dan potongan membujur tampak samping (B). Foto: Alfajaruddin/Dok. Destario Metusala

Keberuntungan kedua pun datang pada 2020. Seorang rekan pembudi daya memamerkan koleksi anggrek Aerides houlletiana botolan asal Thailand dalam kondisi berbunga. Akhirnya, setelah sekian lama, observasi lewat pembedahan organ bunga dapat dilakukan sehingga data-data yang vital untuk perbandingan pun tersedia.

Kendati mirip, Aerides obyrneana memiliki perbedaan mencolok dengan Aerides houlletiana, terutama pada cuping tengah bibir bunganya yang berbentuk kipas melebar serta terbelah membentuk empat ruang. Perbedaan juga terlihat pada karakter kalus di permukaan bibir bunga dan di bagian dalam dagu bunganya.

Maka amat jelas, berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut, anggrek Aerides yang didatangkan dari Sulawesi ini akhirnya diajukan dengan penuh keyakinan sebagai spesies baru. Mempertimbangkan data distribusi yang ada saat ini, anggrek Aerides obyrneana perlu dianggap sebagai spesies endemik Sulawesi dengan jangkauan sebaran alami yang relatif sempit. Saya juga mengusulkan agar status konservasi Aerides obyrneana masuk kategori kritis (critically endangered) berdasarkan kriteria International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Tantangan Sains Vs Ancaman Kepunahan

Kendati memakan waktu bertahun-tahun, upaya mengidentifikasi dan mengklasifikasikan Aerides obyrneana hanyalah pintu masuk untuk menjelajahi berbagai misteri tentang spesies baru anggrek tersebut. Kehadirannya menjadi tantangan baru bagi ilmu pengetahuan, termasuk untuk mengurai potensi pemanfaatan dan mendorong strategi konservasinya.

Namun tantangan itu justru berhadapan dengan risiko kelangsungan hidup si spesies baru yang serba tak pasti. Hal ini kerap menjadi dilema bagi peneliti taksonomi saat berurusan dengan kelompok tumbuhan yang memiliki basis penggemar fanatik.

Wisatawan melihat berbagai koleksi bunga anggrek di Griya Anggrek, Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, 18 Mei 2022. ANTARA/Arif Firmansyah

Kemunculan spesies baru anggrek, terlebih yang berbunga khas dan langka, biasanya akan mendorong permintaan yang tinggi dari para kolektor untuk mendapatkannya. Bahkan tidak sedikit orang yang ingin menguras dan memonopolinya demi keuntungan jumbo.

Risiko yang sama dihadapi anggrek Aerides obyrneana. Bentuk organ bunganya yang unik dengan kombinasi warna yang atraktif akan memikat setiap mata yang memandangnya.

Ancaman pengambilan tak terkendali di alam untuk memenuhi permintaan para hobiis anggrek bukan cerita baru. Apa yang dialami anggrek Phalaenopsis javanica dan Paphiopedilum canhii adalah dua contohnya.

Phalaenopsis javanica, anggrek endemik yang hanya ditemukan di wilayah Jawa Barat, telah dianggap punah dari habitat alaminya akibat perburuan komersial besar-besaran pada periode 1970-1980. Nasib yang tak kalah buruk dialami Paphiopedilum canhii dari Vietnam. Sekitar 99,5 persen dari populasinya di alam telah habis akibat perburuan komersial, tak lama setelah anggrek ini dipublikasikan sebagai spesies baru pada 2010.

Sebagaimana sumber daya alam hayati lainnya di dataran rendah, anggrek Aerides obyrneana juga tak lolos dari ancaman kehilangan habitat. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, lebih dari dua dekade lalu anggrek ini ditemukan tumbuh subur menempel pada pepohonan di tepian hutan semi-terbuka. Rasanya, wajah sebagian besar wilayah Sulawesi saat ini sudah tak lagi begitu.

Pemanfaatan keanekaragaman hayati bukanlah hal terlarang. Namun kebijaksanaan yang mengedepankan pelestarian sangatlah penting untuk menjamin kelangsungan hidup beragam spesies di alam. Begitu juga kelestarian habitat alaminya yang harus terus diperjuangkan mati-matian. Bukankah itu adalah upaya logis untuk menikmati keanekaragaman hayati, tak hanya di masa kini, namun juga di masa mendatang?

Artikel ini bagian dari Kolokium, program penulisan sains popular dan pengembangan komunitas peneliti yang dikelola Tempo. Sebagai rubrik, Kolokium terbit setiap Sabtu.  

Konten Eksklusif Lainnya

  • 19 September 2024

  • 18 September 2024

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan