maaf email atau password anda salah


Kemajuan Perlindungan Kesehatan Publik Lewat PP Kesehatan

PP Kesehatan makin ketat mengatur peredaran dan konsumsi rokok. Tak efektif tanpa penegakan hukum.

arsip tempo : 172651483293.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172651483293.

SETELAH hampir setahun digodok, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang kesehatan terbit pada 26 Juli 2024. Seperti namanya, PP Kesehatan hendak mengatur perlindungan kesehatan publik. Ada 1.172 pasal yang tercantum dalam peraturan ini. Sebanyak 34 pasal mengatur produk tembakau: dari peredaran, pemasaran, distribusi, hingga konsumsinya. Soal tembakau agaknya yang paling kontroversial, selain praktik dokter asing, karena menyangkut industri dan perlindungan kesehatan dari zat adiktif.

Tarik-menarik kepentingan antara industri rokok dan pengendalian tembakau membuat pembahasan PP Kesehatan memakan waktu hampir 12 bulan. Peraturan ini makin ketat mengatur produk tembakau. Bukan hanya distribusi rokok konvensional seperti dalam peraturan sebelumnya, melainkan juga rokok elektronik. Ukuran peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok juga naik dari 40 persen menjadi 50 persen. Juga larangan menjual rokok kepada setiap orang di bawah usia 21 tahun, yang sebelumnya 18 tahun.

Namun PP Kesehatan juga berkompromi dengan industri lewat pengaturan kawasan tanpa rokok (KTR). Sebelumnya, area yang ditetapkan sebagai KTR sama sekali tak boleh terpapar asap rokok. Dalam peraturan yang baru, penanggung jawab lokasi yang ditetapkan sebagai KTR—seperti gedung, perkantoran, serta restoran—wajib menyediakan area merokok di tempat terbuka dan bukan area lalu-lalang orang.

Meski begitu, pengaturan terhadap rokok yang makin ketat ini menggembirakan, mengingat prevalensi perokok di Indonesia tertinggi di dunia. Menurut Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021, sebanyak 34,5 persen penduduk Indonesia adalah perokok. Sementara itu, Survei Kesehatan Indonesia 2023 oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan jumlah perokok aktif mencapai 70 juta orang, dengan 7,4 persen di antaranya usia pelajar 10-18 tahun.

Data Badan Pusat Statistik lebih mencemaskan. Dalam rilis pada Juli lalu, BPS menyebutkan pengeluaran anggaran rumah tangga miskin untuk membeli rokok tujuh kali lipat dibanding belanja lauk-pauk. Belanja rokok bahkan nomor dua setelah beras, mengalahkan anggaran pendidikan, sandang, dan papan. Dengan pengaturan lebih ketat, termasuk larangan penjualan rokok ketengan dalam PP Kesehatan yang baru, kebiasaan merokok di kelompok masyarakat miskin bisa ditekan.

Masalahnya, seperti pengaturan-pengaturan tentang rokok selama ini, penegakan hukum terhadap pelbagai pelanggaran cenderung rendah. Dari 514 kabupaten dan kota, sebanyak 460 telah memiliki aturan KTR. Pemerintah daerah yang mendapat mandat menetapkan KTR tak berdaya dengan kebandelan pengusaha restoran atau mal yang membiarkan tempat makan atau gedung menjadi tempat merokok pelanggannya. Meski ada sanksi denda Rp 500 ribu bagi perokok di KTR, sanksi ini tak pernah benar-benar dijalankan.

Dengan penegakan hukum yang lemah itu, jumlah perokok Indonesia naik dari tahun ke tahun. Survei GATS menemukan bahwa jumlah perokok anak usia 13-15 tahun naik dari 18,3 persen pada 2016 menjadi 19,2 persen pada 2019. Biaya kesehatan dalam pengobatan penyakit akibat merokok juga cenderung naik dari tahun ke tahun. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan pendapatan cukai rokok sebesar Rp 147,7 triliun setahun tak sebanding dengan kerugian ekonomi akibat kebiasaan merokok yang tembus Rp 431,8 triliun setahun.

Di luar ekonomi makro, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara juga menanggung beban ongkos pengobatan penyakit paru obstruktif kronis karena kebiasaan merokok. Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mesti mengeluarkan klaim pengobatan paru lebih dari Rp 10 triliun tahun lalu. Belum lagi kerusakan lingkungan akibat puntung rokok. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), filter rokok menyumbang sampah laut sebanyak 30 persen.

Dengan dampak merugikan yang besar itu, sudah saatnya Indonesia naik kelas seperti negara maju yang makin ketat mengatur produk tembakau. Selain merugikan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan, menurut WHO, rokok menjadi penyebab utama penyakit jantung koroner, yang merupakan penyakit pembunuh nomor satu di dunia. PP Kesehatan Nomor 28 Tahun 2024 bisa menjadi langkah awal mencegah kerugian-kerugian itu. Dengan catatan, sanksi dan penegakan hukumnya konsisten.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024

  • 14 September 2024

  • 13 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan