maaf email atau password anda salah


Jalan Terjal Internet Kencang

Penerapan standar Internet kencang di Indonesia masih penuh hambatan. Selain kendala infrastruktur, pasarnya belum cocok.

arsip tempo : 171421752076.

Warga memeriksa jaringan internet pada telepon genggamnya di Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, 6 Desember 2023. TEMPO/ Nita Dian. tempo : 171421752076.

JAKARTA – Peluang Indonesia untuk menjadi salah satu negara penyedia Internet tercepat di Asia Tenggara masih sangat kecil. Para penyedia jasa Internet kompak menyatakan ekspansi layanan mereka masih dihadang berbagai ganjalan, baik soal infrastruktur maupun minat pasar. Akibatnya, kecepatan koneksi Internet di Tanah Air masih tergolong lambat, meskipun jumlah penggunanya terus berkembang.

Chief Executive Officer Hypernet Technologies Sudianto Oei mengatakan pengembangan jaringan fiber optic di negara kepulauan membutuhkan waktu panjang. “Sulit menggelar kabel secara menyeluruh di Indonesia, padahal itu teknologi yang paling mumpuni,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.

Untuk Internet berbasis kabel, kecepatan transmisi data melalui fiber optic jauh mengungguli kabel tembaga atau coaxial. Dengan sistem pembiasan cahaya, laju koneksi fiber optic bisa menembus 100 gigabita per detik (Gbps) dalam jarak tertentu. Transmisinya bisa saja lebih lambat, bergantung pada lokasi dan perangkat pendukung. Namun latency atau jeda waktu transisi serat optik jauh lebih minim dibanding Internet berbasis satelit. Perluasan fiber optic kian vital, mengingat pengembangan menara pemancar (BTS) untuk sinyal 4G masih panjang.

Menurut Sudianto, ketergantungan impor sejumlah peranti untuk jaringan serat optik, seperti chipset, juga mempengaruhi ketersediaan Internet kencang. Para penyedia layanan, kata dia, selalu menyesuaikan kecepatan layanan dengan beban investasi yang ditanggung. Besarnya ongkos pokok produksi, termasuk untuk chipset impor, membuat produk Internet cepat makin mahal. “Speed diturunkan sebagai justifikasi untuk harga (komponen) tersebut.”

Petugas melakukan pengecekan perangkat BTS di Bendungan Hilir, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Ceruk pasar jasa Internet di Indonesia masih terbuka luas. Merujuk pada survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi Internet di Tanah Air terus naik, dari 77,02 persen pada 2022 menjadi 78,19 persen pada tahun lalu. Artinya, sudah ada 215 juta orang dari total populasi 275 juta penduduk yang terkoneksi Internet.

Masalahnya, Internet Indonesia masih termasuk yang terlambat di kalangan negara berkembang, bahkan di Asia Tenggara. Speedtest Global Index mencatat kecepatan Internet kabel atau fixed broadband di Indonesia hanya 27,87 megabita per detik (Mbps), sedangkan kecepatan Internet nirkabel atau mobile broadband hanya 24,96 Mbps. Dalam hal persaingan koneksi, Indonesia hanya unggul dari Myanmar dan Timor Leste. Sebagai perbandingan, koneksi fixed broadband Singapura menjadi yang tercepat di dunia, dengan 270,62 Mbps.

Daya beli Internet penduduk Indonesia, Sudianto meneruskan, belum setinggi di negara lain. Dari catatan Hypernet, rata-rata pengeluaran Internet atau average revenue per user (ARPU) di dalam negeri sebesar Rp 200-300 ribu per bulan. Angka itu untuk layanan berkecepatan 30-50 Mbps. “Dengan beban investasi yang masih besar, sulit bagi provider untuk mendapatkan margin sehat. Walhasil, kualitas speed diturunkan,” kata Sudianto.

Dalam kondisi tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi sebelumnya menetapkan standardisasi layanan Internet minimal 100 Mbps. Melalui keterangan tertulis, Budi menyebutkan Internet sudah menjadi kebutuhan pokok domestik. “Kenapa masih menjual 5 Mbps, 10 Mbps untuk fixed Internet broadband? Kenapa tidak langsung menjual 100 Mbps? Makanya saya akan buat kebijakan untuk mengharuskan mereka menjual fixed Internet broadband dengan kecepatan 100 Mbps,” katanya.

Petugas melakukan perawatan jaringan internet di Perumahan Pondok Karya, Jakarta, TEMPO/Tony Hartawan

Senior Manager Marketing Consumer Biznet Adrianto Sulistyo mengatakan target kecepatan Internet minimum 100 Mbps itu juga bergantung pada kapasitas perangkat di sisi pengguna. Koneksi yang kencang belum tentu termanfaatkan bila fasilitas penerima atau receiver belum memadai. “Mulai dari router Wi-Fi, perangkat end user, seperti telepon seluler atau laptop, juga harus cocok dengan bandwidth lebih dari 100 Mbps,” ucapnya, kemarin.

Biznet, provider Internet yang bernama legal PT Supra Primatama Nusantara, sudah membangun lebih dari 92 ribu kilometer fiber optic di berbagai wilayah di Indonesia. Entitas ini sudah menggalang 2,3 juta homepass—rumah yang terkoneksi Internet—dari 180 kota di Jawa, Bali, Sumatera, Bangka, Batam, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa kawasan di Nusa Tenggara.

Ketua Umum APJII Muhammad Arif Angga mengatakan data kecepatan Internet umumnya dihitung berdasarkan sampel dari seluruh wilayah di Indonesia. Dengan wilayah yang luas dan koneksi tidak merata, Indonesia selalu kesulitan mendapatkan skor bagus dalam koneksi Internet. “Average kita selalu jelek, kecuali sampel datanya cuma dari Jakarta. Makanya butuh pemerataan kualitas Internet,” tuturnya.

Alih-alih mendukung investasi fiber optic dan proyek jaringan Internet, kata dia, regulator daerah masih menarik pungutan yang besar dari para provider. Kondisi ini mengganjal minat ekspansi para penyedia jaringan Internet. “Kebijakan pemerintah daerah sering berbeda-beda. Lalu ada charge tinggi untuk pendapatan asli daerah dan sebagainya. Padahal seharusnya bisa win-win dengan penyelenggara (Internet),” ujar Arif.

Adapun pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung, Ian Joseph Matheus Edward, menyebutkan teknologi lokal sudah memadai untuk Internet cepat. Standar kapasitas optical line terminal (OLT), yakni pendukung jaringan yang biasanya ditempatkan di kantor provider, kata dia, umumnya sudah di atas 10 Gbps. Namun kapasitas itu akan dibagi sampai ukuran terkecil, 20-30 Mbps, untuk setiap homepass atau konsumen perorangan.  

“Jadi sharing atau dibagi untuk banyak pengguna karena pasarnya memang cocok seperti itu,” ucap Ian. “Kalau langsung Internet cepat, secara bisnis belum menguntungkan (provider),” tutur Lektor Kepala Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB itu.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Usman Kansong memastikan rencana penetapan standar kecepatan Internet itu akan dirancang secara matang. Menurut dia, pemerintah menerima masukan dari para penyelenggara Internet dan konsumen. Standar 100 Mbps itu pun bisa saja dikembangkan secara bertahap. “Dipilih dulu wilayah yang nilai keekonomiannya tinggi dan butuh kecepatan Internet. Tidak langsung semua lokasi,” kata Usman.

YOHANES PASKALIS

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan