Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tengah mengembangkan alat bantu pernapasan atau ventilator. Pada masa pandemi corona seperti saat ini, alat tersebut sangat dibutuhkan untuk meningkatkan harapan hidup pasien terinfeksi.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa BPPT, beserta beberapa perguruan tinggi, yang mengembangkan ventilator portabel ini. Nantinya, apabila berfungsi dengan baik dan dapat diproduksi massal, ventilator portabel tersebut dapat membantu kekurangan ventilator di rumah sakit.
Bambang menjelaskan, ventilator BPPT ini mengadopsi desain open-source ventilator yang dikembangkan di Eropa. Namun terdapat beberapa modifikasi agar sesuai dengan material dan komponen yang tersedia di Indonesia.
"Serta tambahan sensor dan sistem kontrol untuk memenuhi fungsi dan safety dalam pengoperasiannya," kata Bambang, kemarin.
Menurut Bambang, saat ini BPPT sedang menyelesaikan purwarupa ventilator portabel tersebut. Jika sudah rampung, akan diajukan sertifikasi kepada Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan.
"Setelah mendapatkan sertifikasi, portable ventilator ini akan diproduksi massal oleh industri nasional untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit pada bulan ini," ujar dia.
Berdasarkan data Aplikasi Sarana dan Prasarana Alat Kesehatan (ASPAK), per Maret 2020, ventilator yang tersedia di Indonesia berjumlah 8.413 unit, yang tersebar di 2.867 rumah sakit. Kebutuhan ventilator pada puncak pandemi diperkirakan berjumlah lebih dari 70 ribu unit.
Permintaan ventilator saat ini sangat tinggi dan penggunaan untuk satu pasien cukup lama. Pasien penyakit pernapasan biasanya memakai ventilator selama tiga hingga empat hari. Adapun pasien Covid-19 memakai ventilator rata-rata 11-21 hari.
"Kondisi ini menggerakkan banyak pihak untuk membuat alat bantu pernapasan. Begitu juga dengan BPPT, yang terpanggil untuk menghasilkan ventilator yang dapat diproduksi dengan mudah dan cepat," kata Deputi Teknologi Informasi, Energi, dan Material BPPT Eniya Listiani Dewi, kemarin.
Eniya menjelaskan, ihwal desain, BPPT mempertimbangkan ketersediaan komponen lokal. "Pertimbangannya, selain memastikan dan mengantisipasi produk ventilator tersebut dapat diproduksi secara massal oleh industri lokal dan nasional, untuk menghindari ketergantungan komponen impor."
Menurut Eniya, dari beberapa pilihan tipe ventilator yang ada, BPPT memutuskan untuk mengembangkan ventilator berbasis mekanisasi bagging bag. "Prinsip kerja alat ini dengan memanfaatkan alat bantu pernapasan manual yang dikenal dengan nama bagging bag, di mana alat ini bekerja bila ditekan secara manual oleh paramedis," kata dia.
Tim BPPT memfungsikan alat tersebut menjadi bekerja secara mekanik yang dikendalikan secara otomatis oleh motor listrik. "Kami melakukan modifikasi dengan menambahkan beberapa sensor dan dilengkapi dengan unit sistem kontrol MCU untuk mencapai safety pengoperasian."
Alat yang ditambahkan antara lain pengatur tekanan, pengatur volume oksigen, filter, dan pelembap. "Tapi kelembapan masih option, karena ada dua tipe," kata Eniya.
Tim BPPT yang dikoordinasikan Eniya membuat dua tipe ventilator, yakni tipe continuous positive airway pressure (CPAP) dan advanced atau tipe ICU ventilator yang lebih komplet. "Tipe ICU-ventilator ini diperkirakan selesai dalam tiga bulan."
Adapun jumlah produksi tipe CPAP atau bagging bag sudah direncanakan sebanyak 200 unit. "Harganya sekitar Rp 3-5 juta per unit," ujar dia.
Jika diperhatikan, desain mesin otomatis ini simpel dan murah. "Bisa menggunakan akrilik saja. Ada pengaturan kecepatan dengan mengganti penahannya, ukuran kecil, sedang, besar, sehingga perkiraan volume bisa diketahui," kata dia. SUMBER: BPPT | AFRILIA SURYANIS
Ventilator Otomatis Bikinan BPPT