JAKARTA – Para pengelola hotel berupaya memperbarui layanan untuk memikat konsumen di tengah pembatasan kegiatan sosial akibat pandemi Covid-19. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Krishnadi, mengatakan sejumlah anggota Perhimpunan mulai menawarkan layanan khusus.
"Pilihannya menawarkan inovasi paket inap atau difungsikan untuk medis," ujarnya kepada Tempo, kemarin. Jumlah hotel yang berusaha bertahan itu, menurut Krishnadi, tak sampai 10 persen dari sekitar 200 entitas anggota PHRI Jakarta.
Salah satu bentuk inovasi pelayanan itu adalah promosi kamar murah dengan durasi inap yang panjang (long stay). Konsep ini, menurut Krishnadi, cocok untuk pengguna individu yang bosan berdiam di rumah akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), termasuk untuk karantina individu. Ada juga pengelola yang menawarkan paket bekerja dari hotel (work from hotel).
Krishnadi menuturkan, sejumlah layanan tersebut terbuka untuk pelanggan dari luar pulau, bahkan bagi warga asing yang terjebak di Jakarta. "Meski potensi untungnya kecil, tapi ini upaya pengelola yang ingin survive," ujar dia.
Sejumlah hotel bintang lima di Bali menerapkan layanan ini dengan pilihan harga berbeda. Ayana Resort, misalnya, mematok harga kamar Rp 24,9 juta untuk masa tinggal 14 hari. Ada juga Lv8 Resort Canggu yang menyodorkan paket menginap per bulan dengan harga minimum Rp 8 juta. Di Ibu Kota, promosi ini bisa ditemui di beberapa lokasi, seperti Swissbel Hotel cabang Jakarta dan Hotel Aryaduta di Jakarta Pusat.
Hotel yang berdekatan dengan rumah sakit rujukan penanganan virus corona juga menyediakan layanan kamar dan ruang lainnya untuk keperluan medis. Harga yang ditawarkan lebih rendah dari rata-rata karena dipakai untuk kegiatan sosial. "Tapi ada risiko setelah pandemi," katanya. Menurut Krishnadi, pelanggan bisa ragu karena hotelnya sempat dipakai untuk bekas pasien.
Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran mengatakan inovasi layanan tersebut sebenarnya belum cukup untuk menyelamatkan bisnis akomodasi dari kerugian. Sejak pertengahan Maret menuju awal April 2020, tingkat keterisian hotel secara nasional sudah anjlok rata-rata 60 persen. Saat ini, dia melanjutkan, pengelola hotel berbintang dan kelas menengah hanya bertahan dari sisa profit hasil peak season liburan akhir 2019.
"Tingkat operasional kebanyakan hotel hanya bertahan sampai Juni nanti karena permintaan saat Lebaran juga sangat kecil," ucapnya, kemarin.
Deputi Bidang Statistik Distibusi dan Jasa Badan Pusat Statistik, Yunita Rusanti, bahkan memperkirakan tingkat okupansi kamar masih berpotensi terus menurun hingga beberapa bulan ke depan. Secara tahunan (year on year), BPS mencatat penurunan tren penghunian kamar dari 52,4 persen pada Februari 2019 menjadi 49,2 pesen pada Februari tahun ini. "Padahal saat itu banyak instansi masih menggelar worksop atau pertemuan di hotel," ujar Yunita. "Dengan penutupan hotel dan kebijakan pembatasan saat ini, okupansi akan turun lagi."
Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Anggawira, mengusulkan agar hotel yang tutup dimanfaatkan untuk tempat istirahat pasien dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19. "Daripada tutup tidak ada pelanggan, pemerintah bisa memanfaatkannya," ujar Anggawira.
Chief Executive Officer Sintesa Group yang juga Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan pelaku usaha perlu tetap mengikuti perkembangan dan perubahan perilaku konsumen. "Agar bisa bertahan dan memaksimalkan permintaan pasar yang masih ada," ujar Shinta. FRANSISCA CHRISTY ROSANA | LARISSA HUDA | YOHANES PASKALIS
Pengusaha Hotel Genjot Inovasi Pelayanan