maaf email atau password anda salah


Menimbang Detoks Media Sosial

Penelitian menunjukkan betapa sedikitnya partisipan yang merindukan media sosial setelah diminta mengurangi penggunaannya.

arsip tempo : 171421905857.

Ilustrasi seorang wanita menolak menggunakan sosial media. Shutterstock. tempo : 171421905857.

Tak jadi soal apakah kamu seorang influencer, pengunggah konten berkala, ataupun sekadar pengintai, kemungkinan besar kamu menghabiskan lebih banyak waktu daripada yang kamu inginkan di media sosial. Secara global, masyarakat usia kerja yang memiliki akses Internet kini menghabiskan lebih dari 2,5 jam per hari di platform media sosial, seperti Instagram, Facebook, ataupun X (Twitter).

Penggunaan media sosial bisa menjadi berlebihan dan menimbulkan masalah jika mengganggu sekolah atau pekerjaan, menyebabkan konflik dalam hubungan, atau membahayakan kesehatan mental. Meskipun tidak secara resmi diakui sebagai gangguan kesehatan mental, beberapa ilmuwan bahkan berpendapat bahwa penggunaan media sosial yang bermasalah merupakan sebuah “kecanduan”.

Saat kamu mendapati dirimu mengecek medsos secara berlebihan, kamu mungkin memutuskan sudah waktunya untuk melakukan “diet” atau “detoks” digital—mengurangi penggunaan secara drastis atau bahkan menghindari media sosial sepenuhnya selama beberapa hari. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian baru kami, pendekatan ini tak hanya dapat mengurangi dampak negatif, tapi juga dampak positif media sosial.

Faktanya, kami terkejut melihat betapa sedikitnya partisipan penelitian kami yang merindukan media sosial ketika kami meminta mereka mengurangi penggunaannya.

Ilustrasi menghapus soial media. Shutterstock

 
Dalam studi terbaru, kami meminta peserta melakukan diet media sosial. Sebanyak 51 orang mencoba untuk tidak menggunakan media sosial selama satu pekan. Kami melacak perilaku dan pengalaman mereka melalui survei yang dikirim ke telepon seluler mereka sepanjang hari serta tugas komputer dalam lingkungan yang terkendali.

Kami menemukan bahwa hanya sebagian kecil peserta yang abstain sepenuhnya. Namun sebagian besar mampu mengurangi penggunaan media sosial secara signifikan, dari rata-rata tiga hingga empat jam sehari sebelum penelitian menjadi hanya setengah jam. Bahkan setelah periode pantang, penggunaan media sosial sehari-hari para partisipan masih jauh di bawah tingkat sebelum penelitian.

Dampak pembatasan penggunaan media sosial


Namun berbeda dengan beberapa studi detoks digital sebelumnya, kami tidak melihat adanya kenaikan tingkat wellbeing atau kesejahteraan peserta studi kami. Sebaliknya, mereka melaporkan penurunan emosi positif selama periode pantang.

Media sosial memberikan imbalan sosial yang kuat dan terukur melalui tombol suka, berbagi, dan mendapatkan pengikut. Meskipun juga menawarkan hiburan serta kesenangan singkat, penelitian menunjukkan sering kali penghargaan sosial inilah yang mendorong pengecekan media sosial secara kompulsif.

Manusia adalah makhluk sosial—merasa menjadi bagian dari suatu kelompok, diterima, dan menerima pujian adalah kebutuhan universal. Media sosial adalah alat yang mudah digunakan dan dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan ini kapan pun serta di mana pun kita mau. Selain itu, media sosial menyediakan koneksi yang mungkin tidak ada di dunia kerja jarak jauh.

Namun imbalan sosial ini dapat dengan cepat berubah menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan. Menerima likes bisa berubah menjadi mengejar likes dan ada perasaan kecewa jika performa unggahanmu lebih buruk daripada yang diharapkan. Melihat kehidupan orang lain dapat menimbulkan fomo (takut ketinggalan) atau rasa iri, dan dalam kasus terburuk, pengguna mungkin menjadi korban komentar yang tidak menyenangkan atau penuh kebencian.

Karena itu, kami juga mengamati adanya penurunan emosi negatif ketika partisipan mengurangi penggunaan media sosial. Perasaan sengsara, sedih, dan marah mereka berkurang selama penelitian.

Secara keseluruhan, tidak menggunakan media sosial tampaknya menghilangkan emosi positif dan negatif—bagi sebagian orang, dampak keseluruhannya terhadap wellbeing mungkin nol.

Ilustrasi detoks sosial media. Shutterstock

Bisakah kita kecanduan media sosial?

Temuan yang mungkin paling mencerahkan adalah betapa sedikitnya peserta kami yang merindukan media sosial. Mereka tidak melaporkan adanya peningkatan keinginan, desakan, ataupun hasrat untuk mengecek akun mereka selama masa penelitian, meskipun waktu penggunaan perangkat mereka berkurang secara drastis.

Tampaknya pembatasan penggunaan media sosial tidak menimbulkan gejala “putus asa” seperti yang sering terlihat ketika menghentikan penggunaan narkoba. Karena itu, kami mengimbau untuk berhati-hati dalam menggunakan istilah seperti “kecanduan” ketika membicarakan penggunaan media sosial.

Pembingkaian penggunaan media sosial dalam istilah kecanduan berisiko menjelek-jelekkan teknologi dan membuat perilaku normal menjadi patologis. Pelabelan pengguna sebagai “pecandu” dapat menimbulkan stigma dan mengabaikan masalah psikologis lain yang mungkin mendasari perilaku penggunaan berlebihan. Dalam pandangan kami, istilah kecanduan seharusnya digunakan untuk menggambarkan suatu penyakit, yang melibatkan perubahan jangka panjang dalam sistem penghargaan otak.

Pada akhirnya, media sosial memiliki aspek positif dan negatif, serta mungkin saja bagian negatifnya membuat orang merasa perlu melakukan detoksifikasi.

Mungkin cara berpikir yang lebih baik untuk meningkatkan hubunganmu dengan media sosial serupa dengan caramu berpikir untuk memperbaiki pola makan. Baik makanan maupun media sosial memuaskan hasrat alami—energi dan kontak sosial bagi manusia.

Dalam kedua kasus tersebut, kamu perlu mengetahui batasanmu dan memprioritaskan imbalan sosial yang sehat. Ini mungkin berarti mengubah pandanganmu tentang seberapa terhubung atau disukainya eksistensimu di media sosial dan berhenti mengikuti akun atau menghapus aplikasi yang membuatmu merasa buruk. (*)
 

Artikel ini ditulis oleh Niklas Ihssen, Associate professor di Durham University dan Michael Wadsley, mahasiswa PhD, Durham University. Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan