A. Nurhasim Hamada:
Saya Sudah Berjanji Kembangkan Wastra Lokal ke Luar Negeri
Setelah pesanan tenun endek untuk merek fashion internasional Christie Dior selesai, A. Nurhasim Hamada beserta sekitar 100 ibu di kelompok penenun tak lantas langsung bisa bersantai. Mereka kini sedang menyiapkan pesanan yang membanjir untuk pasar lokal. Pesanan datang dari sejumlah lembaga pemerintah hingga hotel.
“Sudah waiting list. Kami mengerjakan pesanan, tapi tidak ngebut seperti pesanan Dior lalu,” kata Aam—demikian Nurhasim akrab disapa—pemilik Kekean Wastra Gallery, kepada Dian Yuliastuti dari Tempo, Selasa, 9 Februari lalu, melalui sambungan telepon seluler.
Aam juga bercerita bahwa mereka baru saja membuka galeri ke-12. “Kami membuat kelompok usaha bersama di Jawa Timur,” ujarnya. Selain itu, ia berkisah tentang perjalanan mengembangkan wastra tradisional hingga mendapat pesanan dari Dior serta kesehariannya selama masa pandemi. Berikut ini petikannya.
Bagaimana ceritanya Anda bisa mendapat pesanan dari Dior?
Hal itu yang sampai sekarang kami kadang tidak percaya. Saya berterima kasih sekali kepada Pak Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dan Atase Perdagangan Kedutaan Indonesia di Prancis. Kementerian Perdagangan dan Kedutaan yang membantu saya. Yang menjadi dasar bukan soal profit oriented, melainkan pride-nya Indonesia. Memang kali ini yang diambil itu tenun Bali, tapi next bisa kain dari daerah lain.
Prosesnya bagaimana?
Awalnya mereka menanyakan kesanggupan dulu. Ada enam motif sampel, dibuat di Thailand dan India, hanya dua yang dibuat di Indonesia. Saya lalu cross check, bahwa material, benang, pewarnaan bukan model dari Bali. Yang dari Indonesia, saya lihat lagi, sisir material itu buatan Jawa, bukan Bali. Dari situ kemudian saya tanya apakah akan diteruskan memakai yang dari Bali. Kalau jadi, ya, berarti harus ikut tata kelola kami.
Ada pemasok selain Anda?
Saya bukan satu-satunya supplier dari Indonesia. Sebelum saya, ada vendor yang kirim melalui Kementerian Perdagangan dan Atase Perdagangan. Ternyata mereka tidak disetujui. Sampel yang dikirim memang harus memenuhi sejumlah standar, seperti uji lab (di Indonesia belum ada yang cepat), tes warna, tahan luntur, dan ringan. Produk kami lolos. Saya tahu pasar Eropa, di bawah pasar Jepang. Mereka pun minta kami kirim sampel ke Jepang.
Lalu?
Sampel kami lolos dan order untuk berapa ratus meter pada tahap awal. Meski sempat ada sedikit kendala di Bali, tapi kami maju terus. Saya sempat mengalami intimidasi, disuruh menghentikan produksi. Saya tidak mau karena ini sistemnya B2B (business-to-business), bukan langsung dari Dior ke saya. Saya senang pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan mendukung kami. Dior pun juga sempat memesan ke Pemprov Bali, tapi jumlahnya tidak banyak, berbeda material dan tata kelola.
Akhirnya kami menyelesaikan pesanan. Mulai dari awal tenun endek yang cuma 500 meter, lalu meningkat lagi dan lagi hingga mencapai 1.700 meter. Per 31 Desember kemarin, sudah tuntas pengirimannya. Mereka juga tambah lagi pesanan sepanjang 500 meter untuk satu motif, namanya Fantasy Blues. Itu 100 persen motif saya. Ada tiga kali pengiriman.
Ketat, ya, pengawasan mereka?
Kami di-push tidak boleh melewati batas waktu, 31 Desember itu. Jadi, selama November-Desember itu, kami tidak bisa tidur nyenyak. Ha-ha-ha. Didesak waktu yang mepet dan ada masalah di dalam negeri. Sepanjang November-Desember 2020, kami lembur mengejar tenggat waktu. Selama itu pula juga tidak boleh publish informasi apa pun.
Kapok-enggak dengan deadline yang ketat?
Saya ini kan perajin, ya, tidak ada istilah kapok. Saya sudah berjanji dengan diri sendiri untuk berfokus mengembangkan wastra lokal bisa ke luar negeri. Menjaga hubungan dengan konsumen, mutu, dan kepercayaan itu sangat penting. Kalau enggak semua mendukung, susah. Apalagi masih ada masalah mental yang harus diperbaiki.
Pemilik Kekean Wastra Gallery, Achmad Nur Hasim. Dok. Pertamina
Apa yang diinginkan Dior dengan produk dari Kekean Gallery ini?
Ya, mereka menginginkan produk yang berfokus pada pemberdayaan perempuan. Kain kami yang mengerjakan para perempuan Bali dan tempatnya pun di Bali. Itu dikerjakan oleh tak kurang dari 100 ibu sepuh kelompok Mandala di tiga kabupaten di Klungkung, Denpasar, dan Gianyar.
Setiap hari Anda mengontrol produksi mereka?
Ya, dua bulan itu harus standby. Kalau dikerjakan normal, mulai dari jam 08.00 hingga 16.00, tapi ini tambah lembur sampai jam 22.00. Itu pun masih diganggu dengan isu ada kelompok yang kena Covid. Kontrol kualitas penting, makanya saya tetap pantau mereka.
Bagaimana pengawasan dari Dior?
Wah, itu kontak dengan Dior tiap hari. Meeting dengan mereka hampir tiap hari jam 12 malam, tiap hari kirim pesan WhatsApp juga. Tapi mereka seru, kok. Mereka butuh tahu bagaimana proses membuat tenun, mewarnai, dan sebagainya. Itu tidak mudah kan pembuatannya. Kami harus lapor setiap progres disertai dokumentasi. Saya bikinkan dokumentasinya dari produksi sampai packing. Untuk shipment pun harus ada dokumentasi.
Prosesnya memang rumit, ya?
Ya, karena sampelnya bukan dari Kekean kan. Trader pertama itu dari London, katanya dia keliling pasar Klungkung. Padahal yang pasar Klungkung itu 90 persen dari Jawa. Sulitnya karena harus sama dengan sampel dan dikejar waktu.
Banyak trial and error juga?
Oh iya, awal-awal itu saya banyak rugi karena harus uji coba warna, menyamakan dengan sampel. Saya ditantang berani rugi-enggak? Saya berani. Untung saya tidak banyak, tapi ini menjadi kebanggaan brand Indonesia. Nilainya itu di bawah Rp 500 juta. Per meter itu hanya 12 euro atau sekitar Rp 204 ribu. Kalau di pasar lokal, harganya Rp 100-200 ribu. Tapi saya memang tidak menanggung biaya pengiriman dan bea masuk ke Prancis.
Setelah pesanan Dior selesai, Anda membuat galeri baru?
Kami membuat kelompok usaha bersama untuk wilayah Nganjuk, Trenggalek, dan Tulungagung. Sekarang (saat wawancara), saya masih di Jawa Timur, baru saja membuka mini gallery di Nganjuk. Sebelumnya antara lain ada di Tasikmalaya, Bengkulu, Jepara, Toraja, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara, dan Bali.
Mengapa memilih wilayah ini?
Misinya sama seperti yang lain, untuk pemberdayaan UKM di wilayah selingkar Wilis, perbatasan wilayah Majapahit-Mataram. Kami memilih daerah biasanya karena ada wastra yang menjadi identitas atau filosofi. Kami pilih dua-duanya. Faktor identitas ini representasi ikon atau motif dari suatu daerah. Misalnya, Depok itu banyak belimbing. Yang kedua, faktor filosofis, yakni simbol-simbol lama tradisi dari daerah itu, dari sisi material diperbarui, dengan pewarnaan alam, dan serat lokal untuk meminimalkan impor.
Koleksi Spring/Summer 2021 Dior menggunakan kain Endek Bali karya Achmad Nur Hasim dalam Paris Fashion Week, di Prancis, 29 September 2020. Facebook/Dior
Serat material lokal didatangkan dari mana?
Untuk produksi benang, kain tenun, dan batik, ada Ciawi, Tasikmalaya, Makassar, Soppeng, serta Wajo. Material untuk tenun atau batik dari Sulawesi Tengah dan Bali. Kami membuat sistem tanggung renteng, harus ada saling ketergantungan, sehingga ekosistem ini bisa hidup. Masing-masing kelompok terdiri atas 25-30 orang di Bali, Nusa Tenggara 100 orang, dan Makassar 60-an orang. Ada yang memola, ada yang mencanting, dan bagian lain. Kami bikin koperasi juga. Ada sinergi kelompok.
Pernah saya bikin kelompok dengan pola berbeda di Ciwaringin, Cirebon. Hasilnya malah sikut-sikutan. Saya merasa gagal di situ. Kemudian belajar dari Cirebon, saya ubah sistemnya, masing-masing kelompok saling bergantung, ekosistem menjadi hidup. Saya ingin memperbaiki hulu, yakni industri kecil dan menengahnya ini. Selama ini kan yang maju UKM-nya.
Apa misi Anda dengan usaha ini?
Kami ingin memberdayakan perempuan dan anak-anak muda di pelosok serta menggunakan bahan material lokal untuk meminimalkan impor benang atau bahan. Selain itu, usaha kami ini ramah lingkungan. Kami memikirkan dampak lingkungan, mengingat polusi limbah tekstil sudah cukup signifikan. Terakhir, usaha kami menerapkan sistem perdagangan adil (fair trade) dari hulu hingga hilir.
Selain itu, apa lagi yang sedang Anda kerjakan?
Saya sedang membuat katalog wastra untuk internasional, kerja dengan Dekranasda Bali, bagaimana sistem B2B dan B2G (business-to-government). Saya jadi tahu dan punya pengalaman. Mestinya, kalau kondisi tidak sedang pandemi begini, kami pada Maret nanti diundang ke Prancis.
Setelah menyelesaikan pesanan dari Dior, masih ada pesanan lain?
Sudah sejak Desember waiting list mau order. Kebanyakan dari lokal memang. Dulu jatah sisa pertama diambil Pertamina Foundation. Kementerian Perdagangan juga pesan untuk seragam. Untuk motif yang sama, saya bikin lebih karena akan ada kebutuhan. Pesanan juga datang dari Bank Indonesia, Kemenparekraf, para sosialita, beberapa bank, serta hotel dan resor. Alhamdulillah ini membuat para ibu terus beraktivitas. Di tengah masa pandemi, Bali kan paling terkena dampak. Pariwisatanya 85 persen hancur.
Ada proyek berikutnya?
Rencananya ikut acara yang diagendakan dari Kemendag untuk keliling Amerika dan Eropa buat mempresentasikan wastra ke beberapa brand. Kami juga ada art shop di luar negeri, tapi kini sedang tidak bisa mengembangkan sayapnya.
Bagaimana awalnya Anda terjun ke dunia wastra?
Sebenarnya latar belakang saya akuntansi. Tapi saya cinta dunia event organizer sejak puluhan tahun lalu di SMA dan kuliah. Saya dapat pekerjaan juga di dunia wisata 10 tahun lalu di Museum Tekstil. Saya pelajari tenun, batik, filosofinya, asalnya dari mana, sejarahnya, dan motifnya. Saya pelajari semua sebelum punya brand.
Selanjutnya?
Lalu pada 2014 saya putuskan membuat usaha sendiri, mendorong kemandirian. Saya tertarik dengan warisan nenek moyang kita dan keprihatinan terhadap warisan itu. Kita sekarang ini krisis regenerasi, yang muda banyak yang berfokus di hilir. Saya prihatin. Lalu coba bidik anak muda. Saya jadi juri nasional untuk lomba-lomba tata busana dari SMK tekstil. Saya ingin banyak anak muda anti-mainstream dengan pekerjaan ini. Secara prospek bisnis bagus, tapi secara bisnis memprihatinkan. Mereka bisa di-treatment.
Pemilik Kekean Wastra Gallery, Achmad Nur Hasim menerima Good Design Indonesia Best 2020 di Alun Alun Indonesia, Jakarta, Oktober 2020. Dok. Kementerian Perdagangan
Bagaimana cerita mendirikan Kekean?
Saya lama di Jakarta sekitar 10 tahun. Tiga tahun bolak-balik Jakarta-Bali, lalu memutuskan pindah ke Bali 10 tahun lalu, dan kemudian mendirikan Kekean pada 2014. Seperti ditulis Pak Menteri Perdagangan di medsos beliau, saya ini model UKM yang naik kelas dengan modal Rp 5 juta. Kami ini besar dan lahir dari perdagangan (hilir), kami ini dari nol bahkan minus, ditemukan Kementerian Perindustrian, lalu ke Kementerian Perdagangan dibina di bagian perdagangan dalam negeri, terus perdagangan luar negeri. Sekarang ikut membina UKM.
Kami dari awal ini tidak sekonyong-konyong. Dengan modal tersebut, saya tidak ambil untung. Saya menggaji diri sendiri. Pada 2019, sudah 400 orang terlibat dengan kami. Omzetnya Rp 8,5 miliar dan tidak ada skema utang bank. Saya atur pengelolaan saja, tidak berfokus ke ready to wear. Alhamdulillah dengan kondisi sekarang pun tidak ada yang dirumahkan.
Kami juga, Kekean Foundation, banyak mendapat donasi untuk membantu perajin. Sempat menyalurkan ke 5.000 ribu perajin tak kurang dari Rp 1 miliar. Kami sempat bagikan 20 ribu masker gratis serta distribusikan 1.000 APD ke rumah sakit di luar Jawa yang membutuhkan.
Setahun pandemi terjadi, seberapa besar dampaknya bagi Anda?
Masa awal pandemi itu memang pukulan berat, tapi secara profesi saya malah penuh kegiatan. Bisa full mengisi webinar, fee-nya lumayan. Saya akhirnya pada Juli mendaftarkan Kekean menjadi sebuah PT. Saya berpikir ini saatnya saya memperbaiki dan menguatkan produksi. Banyak teman bilang kondisi sulit, banyak yang jatuh kok malah bikin PT. Saya pikir, dengan mendirikan PT, saya sudah bisa mencuri start setelah pandemi bisa diatasi. Bagaimana mengubah haluan bisa survive. Setelah PT jadi dan dapat legalitas, pada awal Oktober 2020 masuk pesanan Dior. Saya anggap ini buyer pertama di PT saya. Ha-ha-ha. Alhamdulillah selama pandemi ini tidak merasakan kesusahan.
Apa kegiatan santai saat itu?
Saya bikin desain, jalan-jalan ke pegunungan, bertemu dengan komunitas di perdesaan. Saya jadi punya banyak kawan, tambah komunitas. Memang banyak jalan ke desa, tidak berani ke kota. Biasanya, kalau tidak ada pandemi, Maret-Desember itu program jalan ke daerah, pekerjaan profesional pembinaan.
Apa keinginan Anda berikutnya?
Suatu ketika, saya ingin membukukan perjalanan saya, tapi tidak sekarang. Saya tidak mau takabur. Saya baru “kemarin sore”. Saya ingin menulis literasi wastra. Bukan buku untuk branding, melainkan isi yang lebih penting. Fokus saya di tekstil, hulu, pemberdayaan perajin, dari motif sakral sampai pengembangan pewarnaan. Industri hulu sangat lemah, krisis regenerasi.
Saya ingin menuliskan pengalaman perjalanan ke pelosok, tentang pembinaan, karakter dari sisi antropologis, dan latar belakangnya. Saya ingin menulis karena mereka. Seperti yang di Bengkulu, saya senang bisa merestorasi kain yang sudah punah. Itu 2017-2018, akhirnya jadi kampung tenun. Saya senang bisa menghidupkan tenun menjadi identitas. Lalu batik Sukapura itu mati suri, turun-temurun di daerah Jawa Barat bagian tengah yang terhubung dengan Hindu.
Ada pengalaman menarik selama perjalanan ke daerah-daerah untuk wastra ini?
Banyak. Sampai pernah waktu ke Sulawesi itu kapal mau tenggelam. Saya juga pernah kena malaria waktu ke Nusa Tenggara. Saya juga akrab dengan suku Dayak di Kalimantan.
Apa pengalaman unik lainnya?
Saya pernah bikin fashion show 100 koleksi. Semua yang terlibat, dari perajin, kreatif desain, hingga penjahitnya, ikut naik panggung. Itu salah satu apresiasi buat mereka juga.
Pemilik Kekean Wastra Gallery, Achmad Nur Hasim di Sukaraja, Tasikmalaya. Dok. Kekean Wastra Gallery
A. Nurhasim Hamada
Lahir: Nganjuk, 14 April 1983
Pendidikan: S-1 Akuntansi
Pekerjaan
- CEO Kekean Wastra Gallery
- Pemilik PT Kekean Primanda Indonesia (perusahaan yang bergerak bidang tekstil, MICE, dan konsultan UMKM)
- Mentor pengembangan UMKM di beberapa Bank Indonesia perwakilan wilayah
- Mentor pengembangan tenun Kabupaten Toraja
- Tenaga ahli Disperindag Provinsi Bengkulu
- Tenaga ahli pembinaan UMKM di Kementerian Perdagangan
- Expert fashion technology di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
- Anggota tim penyusun Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang fashion technology di Kementerian Ketenagakerjaan
- Mentor kepribadian dan public speaking
Prestasi
- Pemenang Good Design Award G-Mark 2020 di Jepang
- Pemenang Good Design Indonesia (GDI) 2020 kategori GDI Best
- Juara ketiga kompetisi batik dan tenun dalam Adiwastra Nusantara 2018 kategori Tenun Sutra Terbaik
- Juara pertama kompetisi batik dan tenun sutra dalam Adiwastra Nusantara 2016 kategori Batik Sutra
- Juara pertama ASEAN Youth Creative Industry Fair (AYCIF) 2015 kategori Fashion (sustainable fashion)
Organisasi
- Pengurus Dekranasda Kabupaten Gianyar Bidang Kreatif periode 2016-2018 dan 2018-2023
- Pengurus Dekranasda Provinsi Bali Bidang Kreatif 2018-2023
- Pengurus BPD Hipmi Bali 2017-2020 Kompartemen Pariwisata, Ekonomi Kreatif, Koperasi, dan UMKM
- Pengurus Inti BPD Hipmi Bali 2020-2023 Bidang Pariwisata, Ekonomi Kreatif, Koperasi, dan UMKM