Gaya Kekinian Melestarikan Bahasa Ibu
-----------
Sejumlah anak muda mengaktualisasi penggunaan bahasa daerah dengan gaya kekinian dan tak membosankan. Mereka memanfaatkan Internet dan media sosial untuk menyebarkan konten edukasi dan hiburan dalam bahasa ibu masing-masing. Penyuka karya mereka tak hanya dari orang daerah yang sama. Ini adalah aksi nyata melestarikan bahasa dan budaya Nusantara.
-----------
Dua tahun lebih mengelola akun edukasi bahasa Bali di media sosial, Putu Dirga kerap mendapat permintaan unik dari orang-orang asal negara lain yang sedang berkunjung ke Pulau Dewata. Salah satu hal yang sering ditanyakan mereka kepada Putu lewat akun Instagram @bahasa_bali maupun halaman Facebook Belajar BahasaBali miliknya adalah bagaimana mengubah penulisan nama dari aksara Latin ke dalam aksara Bali. “Banyak turis meminta saya membuatkan tulisan nama mereka dalam bahasa Bali untuk dijadikan tato,” ujar pria berusia 28 tahun ini kepada Tempo, Rabu lalu.
Ya, di kalangan turis asing, membuat tato nama dalam bahasa Bali adalah salah satu “suvenir” populer saat berkunjung ke negeri seribu pura itu. Tapi, sayangnya, kata Putu, sering kali cara penulisan aksara Bali oleh para seniman tato tidak sesuai dengan kaidah. “Artinya malah jadi jauh berbeda,” ujar dia. “Seniman tato di Bali memang bagus-bagus, tapi mungkin tidak semua fasih menulis dalam aksara hanacaraka Bali.” Putu pun dengan senang hati membantu para turis tersebut secara cuma-cuma.
Membuatkan tulisan dalam aksara Bali hanyalah satu dari sekian banyak aktivitas yang dibagikan Putu lewat media sosial. Pria yang berprofesi sebagai guru bahasa Bali di salah satu sekolah swasta di Badung ini memang punya misi pribadi mempopulerkan penggunaan bahasa asli tanah kelahirannya itu. “Saya mulai membuat akun edukasi bahasa Bali karena terinspirasi oleh akun edukasi bahasa Jawa yang banyak terdapat di media sosial. Waktu itu akun edukasi bahasa Bali justru sangat jarang.”
Selain di Instagram dan Facebook, Putu rutin membuat konten edukasi bahasa Bali di YouTube lewat kanal Belajar BahasaBali. Di sini Putu justru lebih detail dalam menyampaikan materi pelajaran. Sebab, tak hanya membagikan konten berupa perbendaharaan kata, ia juga membuat video tata cara menulis dalam hanacaraka Bali.
Putu Dirga, pengelola akun media sosial Belajar Bahasa Bali. Dok. Pribadi
Materi pelajaran buatan Putu terbilang sangat lengkap. Dari materi dasar untuk pemula, seperti pengenalan setiap karakter aksara dan cara menulis, hingga aneka aturan penulisan tingkat lanjut. Misalnya, penggunaan pangangge tengenan (lambang yang melekati suatu huruf). Putu membahas setiap pangangge tengenan yang terdiri atas bisah, surang, cecek, dan adeg-adeg dalam video terpisah dengan sangat rinci. “Setiap materi saya rancang agar penonton video saya bisa cepat mengerti.”
Aktivitas Putu ini, selain nyambung dengan profesinya, berkaitan dengan latar pendidikannya sebagai sarjana bahasa Bali dari Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali. Jadi, Putu punya basis akademik dalam memberikan materi pelajaran. Putu juga punya motivasi lain, yaitu ingin membawa bahasa Bali bisa mengikuti perkembangan zaman.
Sebelum membuat berbagai konten edukasi, Putu menyaksikan fenomena berkurangnya peminat bahasa Bali di kalangan anak muda Pulau Dewata. “Pengguna bahasa dan aksara Bali itu dulu identik dengan kaum orang tua saja. Anak muda paling hanya belajar di sekolah tapi tidak digunakan dalam keseharian.”
Putu juga sering mendapat pengalaman menggugah. Pria yang juga membuka kursus privat bahasa Bali ini kerap dimintai tolong oleh orang luar Bali yang baru pindah karena bekerja atau bersekolah di Bali. “Justru yang saya lihat orang yang bersemangat belajar bahasa Bali itu pendatang dari daerah lain, seperti Jawa.”
Murid-murid kursus Putu kebanyakan anak-anak dari para orang tua yang berdinas di Bali. “Mereka ingin anak-anaknya menguasai bahasa Bali walau mungkin mereka hanya tinggal sementara. Sementara itu, orang Bali-nya sendiri, saya perhatikan, lebih ingin anak-anaknya menguasai bahasa Inggris karena dianggap akan lebih mudah mencari pekerjaan setelah lulus sekolah,” ujarnya.
Tangkapan layar Belajar Bahasa Bali karya Putu Dirga. Dok. Pribadi
Berbagai pengalaman itulah yang membuat Putu semakin bersemangat membagikan konten pelajaran di media sosial. Menurut Putu, meski terkesan rumit, sebetulnya mempelajari bahasa dan aksara Bali tidak sulit dan tidak perlu waktu lama. Aksara Bali, kata Putu, jumlah abjadnya hanya 18 alias lebih sedikit dari aksara Latin. Bentuknya pun mirip aksara Jawa. Jadi, orang-orang yang pernah mempelajari hanacaraka Jawa biasanya akan lebih cepat memahami aksara Bali. “Rata-rata murid kursus saya sudah bisa hafal dan mempraktikkan penulisan aksara Bali dalam satu semester.”
Adapun untuk menggaet minat anak muda Bali agar bangga berbahasa daerah, di akun Instagram itu, Putu kerap mengunggah konten-konten bernada humor atau tebak-tebakan, tentunya dalam bahasa dan aksara Bali. Pada Oktober lalu, ketika karakter anime Naruto diceritakan mati dalam serialnya, misalnya, Putu mengunggah ucapan duka cita bertulisan “Amor Ring Acintya I Gede Naruto Saputra” lengkap dengan gambar tokoh kartun itu. “Materi-materi di Instagram biasa saya dapatkan dari teman-teman penyuluh bahasa Bali yang juga aktif membuat konten di media sosial. Saya repost karya-karya mereka supaya semakin bangga dan senang berbahasa Bali,” tutur dia.
***
Inisiatif mengaktualisasi penggunaan bahasa ibu melalui media sosial juga datang dari Ujang Wardani, pemuda 23 tahun asal Garut, Jawa Barat. Sejak enam bulan lalu, Ujwar—begitu ia biasa disapa—mengelola akun @belajarbasasunda di Instagram dan kanal Belajar Bahasa Sunda di YouTube. Walau baru sebentar, jumlah pengikutnya di YouTube sudah hampir 1.500 akun. “Ternyata orang yang berminat belajar bahasa Sunda cukup banyak,” kata Ujwar, Selasa lalu. Hal itu juga terlihat dari komentar para subscriber yang mengaku antusias mengikuti pelajaran bahasa Sunda bersama Ujwar.
Di kedua media sosial itu, Ujwar lebih menekankan kontennya pada bahasa Sunda yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kini, ada puluhan konten video yang sudah diunggah Ujwar dengan jumlah penonton ribuan. Dari pelajaran kata-kata sapaan, mengenal nama-nama anggota tubuh, hingga kosakata percintaan dalam bahasa Sunda. Ujwar menyampaikan pelajaran dengan membuat percakapan-percakapan monolog. Ia mencantumkan teks dalam bahasa Indonesia untuk menerangkan arti kalimat yang diucapkannya.
Alasan Ujwar membuat akun edukasi ini adalah untuk mengisi waktu luangnya pada masa pandemi. Kebetulan Ujwar baru saja menjadi sarjana bahasa Inggris dari Universitas Persatuan Islam Bandung. Menurut dia, di media sosial, belum banyak akun yang konsisten membuat edukasi bahasa Sunda. “Kebanyakan juga hanya berupa konten teks. Sedikit yang berupa video.” Dengan cara ini, kata dia, setidaknya bahasa Sunda bisa ikut berbaur dan populer di dunia maya. “Kalau konten berbahasa Inggris atau bahasa asing lain kan sudah banyak,” tutur dia. Semasa berkuliah, ia juga melihat fenomena banyak kawan sebayanya yang lebih banyak memakai bahasa Indonesia dalam keseharian. “Padahal sesama orang Sunda.”
Walau berlatar pendidikan bahasa Inggris, Ujwar yang juga seorang penulis novel, merasa perlu mengasah keterampilan bahasa Sunda-nya. Ketika baru lulus SMA dulu pun, Ujwar sempat mengajar bahasa Sunda sebagai guru honorer di salah satu SMP swasta di Garut. Selain ingin membantu orang-orang yang ingin bisa berbicara bahasa Sunda, “Saya bikin konten edukasi bahasa Sunda sekalian memperdalam kembali ilmu bahasa Sunda yang saya miliki.”
Tangkapan layar kanal YouTube Belajar Bahasa Sunda milik Ujang Wardani. YouTube/Belajar Bahasa Sunda
Menurut dia, banyak pengikutnya di Instagram maupun YouTube yang bukan orang Sunda asli. Justru mereka datang dari Kalimantan dan pulau lain. “Ada sejumlah follower dari daerah lain yang menikah dengan orang Sunda. Jadi, mereka ingin bisa ngobrol dengan pasangannya dalam bahasa Sunda,” kata dia. Lewat kolom komentar, Ujwar pun mendapat tanggapan positif. “Banyak yang bilang konten saya bermanfaat.” Ia menjadi semakin termotivasi membuat konten.
Dalam sepekan, Ujwar bisa dua kali membuat dan mengunggah konten. Semua konten masih dikerjakan seorang diri. Ia biasanya memulai produksi dengan meriset materi yang akan disampaikan. Lalu ia membuat naskah percakapan untuk direkam menggunakan video. “Habis pengambilan gambar, saya sendiri yang mengedit.”
Bagi Ujwar, kanal dan akun Belajar Bahasa Sunda ini merupakan cara lain untuk bersenang-senang. “Belum terpikir untuk dimonetisasi,” ia melanjutkan. Tapi dia tak menutup kemungkinan jika suatu saat ada follower-nya yang ingin belajar bahasa Sunda secara privat. “Kenapa tidak, kalau memang ada kesempatan.”
***
Edukasi bahasa daerah di media sosial juga bisa dilakukan dengan cara jenaka, santai, dan bergaya vlogging. Konsep itu dipilih Viano Suwuh, pemuda asal Jakarta berdarah Manado. Lewat kanal YouTube Nyong Viano, pria berusia 25 tahun ini memproduksi dan menyebarkan konten-konten yang berkaitan dengan aneka budaya Manado, seperti kuliner, wisata, dan pelajaran bahasa Manado. “Kedua orang tua saya berdarah Manado. Saya juga bisa bahasa Manado, tapi sejak lahir tinggal di Jakarta. Jadi, ada semacam keinginan untuk memperdalam budaya dan bahasa tanah leluhur.”
Dorongan itu menguat ketika Viano hijrah ke Manado untuk berkuliah di Universitas Negeri Manado. Walau mengambil jurusan hukum, Viano punya ketertarikan lebih terhadap bahasa ibunya. Ia pun sempat mengikuti kegiatan budaya, seperti menjadi duta wisata (Nyong Manado) di tingkat universitas dan daerah. “Dari sana saya semakin mengenal dan dekat dengan budaya Manado.”
Semasa baru pindah dari Jakarta, Viano punya pengalaman unik. Meski lancar berbahasa Manado, ia tak punya logat khas orang asli Sulawesi Utara. “Kalau orang Manado, kan, saat berbicara, ada logat dan penekanan di ujung kalimat. Kalau saya, lempeng-lempeng saja,” ujarnya. Cara berbicara Viano itu jadi terlihat berbeda di antara teman-teman sebayanya yang memang biasa berbahasa Manado.
Tangkapan layar konten bahasa Manado oleh Viano Suwuh. Dok. Pribadi
Fenomena berkebalikan ia temui di Manado. Saat berkuliah, beberapa anak muda asli justru ingin bisa berbicara dengan logat Jakarta. “Jadi, mereka pakai sapaan lo-gue ketika berbicara. Mungkin mereka merasa lebih bangga kalau bisa bicara dengan bahasa yang terkesan gaul.” Padahal, menurut Viano, seharusnya anak muda daerah bangga dengan bahasa ibu mereka sendiri.
Di YouTube pun konten edukasi bahasa Manado yang diunggah Viano banyak digemari berbagai kalangan. “Apresiasi banyak datang dari orang luar Manado. Mereka minta saya konsisten membuat konten pelajaran bahasa Manado,” tutur dia.
Viano beberapa kali membagikan tip bagi pemula yang ingin belajar bahasa Manado secara cepat dan cara pelafalan berbagai kata agar terdengar fasih. Di konten lain, ia juga membuat perbandingan kata-kata dalam bahasa gaul yang biasa digunakan anak-anak Jakarta dengan bahasa Manado.
Target penonton kanal Nyong Viano ini, kata dia, memang untuk orang luar Manado dan orang Manado sendiri. Jika diperhatikan, kata Viano, kebanyakan youtuber asli Manado justru membuat konten yang ditujukan untuk orang-orang Manado sendiri. “Saya pakai perspektif anak Manado yang tinggal di Jakarta dan sebaliknya.” Jadi, kontennya pun bercampur dengan hal-hal yang berkaitan dengan keseharian di Ibu Kota. Misalnya, mencicipi aneka kuliner Manado yang ada di Jakarta atau membuat eksperimen sosial berbicara bahasa Manado dengan orang-orang yang ia jumpai di Jakarta.
Karena sambutan yang positif dari subscriber-nya yang sudah lebih dari 3.000 akun, Viano pun berencana memperkuat identitas Manado dalam konten-kontennya. “Saya sudah punya rencana akan membuat konten apa saja terkait dengan Manado, seperti bahasa dan wisata, karena di Manado sendiri ada beragam bahasa khas lain yang patut diperkenalkan. Sekalian mempromosikan pariwisata Manado ke orang luar,” kata dia.
Selain itu, ia menambahkan, lewat kanal YouTube-nya, Viano ingin membangkitkan kembali kebanggaan berbahasa Manado di kalangan anak muda. “Sayang kalau anak muda Manado malah lebih bangga menggunakan bahasa lain.”
Viano Suwuh (kiri) menjadi duta pariwisata (Nyong) Manado. Dok. Pribadi
***
Aneka inisiatif yang dilakukan Putu, Ujwar, ataupun Viano itu menjadi angin segar bagi wacana perlindungan bahasa daerah di Nusantara. Walau sebetulnya bahasa Bali, Sunda, dan Manado masih berstatus aman dari kepunahan, pengalaman mereka memperlihatkan bahwa orang daerah mereka sendiri lebih berminat mempelajari bahasa asing. Jika tak ada upaya penyelamatan dan perlindungan, bisa saja bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya banyak pelan-pelan menjadi hilang di masa depan.
Organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, pernah mengeluarkan kajian yang menyebutkan diperkirakan 3.000 bahasa lokal akan punah pada akhir abad ini. Agar masyarakat tetap menyadari isu ini, UNESCO telah menetapkan Hari Bahasa Ibu Internasional yang diperingati setiap 21 Februari. Di Indonesia sendiri, tercatat sudah ada 11 bahasa daerah yang berstatus punah karena tak ada lagi penggunanya. Adapun puluhan bahasa lain berstatus kritis, terancam punah, mengalami kemunduran, dan stabil tapi terancam. Tercatat, dari 718 bahasa daerah yang teridentifikasi di Tanah Air, hanya 19 bahasa yang berstatus aman.
Upaya penyelamatan bahasa ibu secara lebih terorganisasi dilakukan sejumlah komunitas, seperti Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) dan forum bahasa Sunda Singrancagé. Tahun ini, dua komunitas tersebut mengadakan selebrasi Hari Bahasa Ibu Internasional dengan mengadakan lomba pembuatan situs Internet aksara Sunda, Olimpiade bahasa Sunda, kompetisi video bahasa ibu, dan lain-lain. Dalam selebrasi Hari Bahasa Ibu Internasional sebelumnya, PANDI pernah membuat lomba serupa dengan mengangkat tema aksara Jawa dan Bali.
Dalam keterangan pers pada Januari lalu, Miftahul Malik, jurnalis Sunda yang tergabung dalam kelompok Singrancagé, mengatakan kegiatan semacam ini penting dilakukan. Pasalnya, beberapa bahasa daerah masih dirundung sejumlah masalah. Padahal pemeliharaan bahasa daerah di Indonesia telah memiliki payung hukum yang jelas, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, serta berbagai peraturan daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Di dunia pendidikan, misalnya, mata pelajaran bahasa daerah masih tersisihkan oleh mata pelajaran lainnya. Bahkan, untuk kasus di Jawa Barat, mata pelajaran bahasa Sunda sudah dihilangkan sejak tiga tahun lalu. “Padahal bahasa Sunda memiliki penutur yang potensial, kedua terbanyak di Indonesia. Jumlahnya konon melebihi 32 juta,” ujarnya, seperti dikutip dari Tempo.co. Sayangnya, menurut dia, jumlah tersebut tidak berbanding lurus dengan perhatian masyarakat terhadap bahasanya sendiri. Malah cenderung menurun, terutama dalam pemahaman nilai-nilai budaya yang ditulis menggunakan bahasa Sunda. Apalagi, ia menambahkan, setelah orang Sunda terlibat dalam masyarakat digital.
Upaya pemeliharaan bahasa Sunda berbasis konvensional mulai tergerus. Buku-buku tidak lagi laku, media cetak banyak yang bertumbangan. Namun pilihan pengembangan media baru pun masih banyak kendala. Selain persoalan teknis dalam pemahaman bahasa dan teknologi, menurut Miftahul, “Bahasa Sunda masih dipandang belum memiliki nilai jual, misalnya untuk jurnalisme online dan konten lainnya di Internet.”*
PRAGA UTAMA