Lima belas tahun lamanya Aning meninggalkan anaknya, Bagus, untuk bekerja di Brunei Darussalam. Di sana, ia menjadi asisten rumah tangga. Sejak kepergiannya pada 2003, Aning hanya bisa pulang ke kampungnya di Cilacap, Jawa Tengah, dua tahun sekali. Walau jarang mudik, Aning mengaku cukup beruntung. Sebab, ia tetap lancar berkomunikasi dengan Bagus yang dirawat kakek dan neneknya. “Alhamdulillah bos saya di Brunei sangat pengertian,” kata Aning kepada Tempo, Rabu lalu.
Aning melempar kembali ingatannya selama bekerja di negeri jiran itu. “Awal-awal memang berat sekali rasanya berpisah dengan anak yang baru berusia 16 bulan.” Namun Aning selalu menguatkan dirinya sendiri bahwa pilihannya itu memang demi masa depan sang anak dan keluarganya. Untuk tetap memantau perkembangan anaknya, Aning berkomunikasi dengan keluarganya lewat surat. “Sampainya lama sekali, bisa sebulan.” Majikan Aning, yang mengetahui kondisi itu, lalu memberikan sebuah kartu telepon yang bisa digunakan untuk sambungan telepon ke Indonesia. “Komunikasi pun jadi lebih rutin. Sampai akhirnya suatu kali saya dikasih ponsel oleh majikan.”
Sejak dua tahun lalu, ia “pensiun” menjadi buruh migran dan tinggal di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur, bersama keluarganya. Kemudian Bagus, yang baru lulus sekolah menengah kejuruan di Cilacap, menyusul ke Jakarta. “Dia pingin kerja di sini,” kata perempuan berusia 45 tahun itu. Aning bangga kepada putranya itu karena harapan dia—agar Bagus bisa bersekolah sampai minimal tamat SMA—sudah tercapai. “Saya kan kerja jauh-jauh juga buat dia, supaya bisa menamatkan sekolah.” Aning sempat menawari Bagus untuk melanjutkan studi ke tingkat universitas. Namun, karena putranya ingin bekerja terlebih dulu, Aning pun tak mau memaksa.
Yoga Prasetyo dan ibunya, Sri Kunaeri, saat wisuda di Universitas Indonesia, 2018. Dok. Pribadi
Aning mengakui nasibnya memang lebih beruntung dibanding rekannya yang lain. Banyak buruh migran yang tak bisa rutin pulang ke Tanah Air, bahkan sulit berkomunikasi dengan keluarga akibat perlakuan tak manusiawi dari majikan. Padahal komunikasi antara orang tua yang bekerja di luar negeri dan anak-anak yang ditinggalkan di Tanah Air merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Hal itu tergambar dalam penelitian “Stay-Behind Children di Myanmar, Filipina, dan Indonesia” yang dirilis Human Rights Working Group (HRWG), pertengahan 2020 lalu.
Dalam laporan itu, para peneliti mengungkapkan bahwa kepergian orang tua ke luar negeri menjadi buruh migran mempengaruhi pendidikan anak-anak yang ditinggalkan. Memang, ada sebagian anak-anak yang merasa kepergian orang tua mereka dalam waktu lama tak berdampak. Bahkan banyak dari mereka yang berprestasi di sekolahnya. Hal itu, seperti ditulis dalam laporan HRWG, terjadi karena para orang tua tetap dapat “hadir” memantau perkembangan anak-anak melalui berbagai cara: telepon, aplikasi percakapan, ataupun video call. Hal ini didukung oleh kerabat mereka di kampung halaman yang memastikan uang kiriman para orang tua itu digunakan untuk keperluan sekolah anak-anaknya.
Meski begitu, tak sedikit pula anak-anak yang menjadi “korban” dari kepergian orang tuanya. Rata-rata masalah yang dihadapi anak-anak ini adalah kesulitan berkonsentrasi dan belajar di sekolah. Beberapa anak dilaporkan tak bisa fokus belajar karena selalu memikirkan orang tua mereka. Kurangnya “kehadiran” orang tua akibat komunikasi yang tidak berjalan juga membuat mereka merasa tak punya motivasi. Sebab, tidak ada sosok yang mengingatkan mereka untuk bersekolah dan tekun belajar. Bahkan ada kelompok anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena kerepotan harus melakukan berbagai pekerjaan harian seorang diri.
***
Besarnya pengaruh dukungan lingkungan sekitar terhadap keberhasilan pendidikan anak-anak para buruh migran juga terlihat pada kisah Silvi Dwi Anasari. Perempuan asal Jember, Jawa Timur, yang kini berusia 25 tahun itu merupakan salah satu mahasiswa berprestasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Sewaktu kuliah, Silvi, yang masuk UI angkatan 2013 ini, mendapat sejumlah beasiswa, seperti Bidik Misi dan beasiswa alumnus Biologi UI.
Silvi ditinggalkan ibunya yang bekerja di Hong Kong saat dia baru berusia 4 tahun. Di kampung halamannya di Jember, dia tinggal bersama kakek dan neneknya. Ibunda Silvi terhitung jarang pulang ke Tanah Air. “Paling empat tahun sekali,” kata Silvi, kepada Tempo, Kamis lalu. Tapi ibunya rutin menelepon dan memantau perkembangan pendidikan Silvi. “Ibu selalu mendorong saya untuk sekolah hingga kuliah.”
Silvi juga termotivasi karena di keluarganya belum ada yang bersekolah sampai pendidikan tinggi. Bahkan anak perempuan di kampungnya banyak yang menikah muda. “Dulu, waktu masih sekolah, saya takut sekali kalau harus menikah muda. Makanya saya juga termotivasi untuk kuliah,” ujarnya.
Kampung Silvi adalah salah satu daerah kantong buruh migran. Menurut dia, sejak ia kecil sampai sekarang, kondisi di daerahnya tak banyak berubah. “Banyak anak-anak para buruh migran yang putus sekolah dan memilih menikah muda.” Hal itu, dia menambahkan, disebabkan oleh kenyamanan materi dari orang tua mereka yang berpenghasilan besar hasil bekerja di luar negeri. Silvi pun mengakui bahwa sebetulnya kehidupan keluarganya mencukupi secara ekonomi.
Kini Silvi bekerja sebagai peneliti di Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YARI). Di lembaga itu, Silvi banyak terlibat proyek konservasi hewan-hewan langka. Dia kerap berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat terkait dengan perlindungan hewan. “Kesukaan saya terhadap binatang sudah muncul sejak kecil karena sering main di hutan di kampung dulu,” tutur dia.
***
Prestasi akademis mengesankan yang ditorehkan anak seorang buruh migran juga dicatat Yoga Prasetyo. Alumnus jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia angkatan 2013 ini berkali-kali mendapat beasiswa dan mengikuti pertukaran pelajar ke sejumlah negara selama kuliah. Yoga pun punya perhatian khusus terhadap isu buruh migran. “Kesadaran akan isu buruh migran itu saya dapat saat kuliah semester IV.”
Pada masa itu, kata Yoga, ia belajar soal poskolonialisme, isu kesetaraan gender, dan isu-isu ketidakadilan. Ia menggunakan aneka sudut pandang itu untuk melihat pengalaman dari orang terdekatnya: ibunya yang bekerja sebagai buruh migran di Singapura sejak 1997. “Dari sana saya semakin tertarik dengan isu-isu ini,” ujarnya.
Pada 2016, Yoga mendapat kesempatan untuk mengikuti pertukaran pelajar ke National University of Singapore. Di sana ia membentuk komunitas Voice of Singapore’s Invisible Hands untuk mengangkat kisah para buruh migran dalam bahasa Inggris. Di komunitas itu, Yoga memberikan pelatihan menulis dan pelajaran bahasa Inggris kepada sejumlah buruh migran asal Indonesia yang bekerja di Negeri Singa.
Yoga tergerak membuat komunitas itu karena buruh migran di Singapura dilarang berserikat. “Mereka tak punya saluran formal untuk menyampaikan aspirasi.” Sementara itu, di sana aturan dianggap merugikan posisi buruh migran. Yoga dan kawan-kawannya mendorong para TKI untuk bersuara melalui karya-karya prosa. “Hasil tulisan mereka dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku antologi pada 2019,” ia menambahkan.
Setelah lulus dari UI pada 2018, Yoga aktif melakukan penelitian terkait dengan buruh migran. Yoga pulalah yang menjadi salah satu kontributor dan penyunting dalam laporan HRWG tentang anak-anak para buruh migran di Asia Tenggara.
Posisinya sebagai anak buruh migran tak hanya memudahkannya dalam kerja penelitian. Dia juga mengalami sejumlah pengalaman mengharukan. Ketika bertemu dengan anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya, suasana kerap menjadi emosional. “Biasanya mereka malu-malu untuk cerita. Tapi, begitu saya cerita pengalaman saya ditinggal ibu sejak kecil, barulah mereka terbuka, bahkan sampai menangis.”
***
Persoalan yang dialami anak-anak buruh migran tak hanya berasal dari lingkungan domestik, seperti kurang perhatian. Ada pula kasus anak buruh migran hasil pernikahan dengan warga negara lain kesulitan mengurus hak dasar, seperti dokumen kependudukan. Hal ini pernah dialami Mohamad Deddy Noviyanto Ali Alatas. Pria yang tinggal di Malang ini merupakan anak pekerja migran yang menikah dengan warga Arab Saudi.
Tiga puluh tahun lalu, Deddy dilahirkan ketika ibunya pulang ke kampung halamannya di Tulungagung, Jawa Timur, setelah bekerja di Arab Saudi. Waktu itu, ayah Deddy tak ikut ke Indonesia. Pada usia 2 tahun, Deddy ditinggalkan ibunya yang kembali ke Arab Saudi. Namun, dua tahun kemudian, sang ibu meninggal dan dikebumikan di sana. “Jadi, saya enggak ketemu ibu lagi,” ujar Deddy. Ia pun diasuh nenek dan kakeknya hingga dewasa.
Persoalan muncul ketika Deddy kuliah. Suatu ketika, pada 2015, ia terpilih mengikuti program pertukaran pelajar ke Singapura. Namun, saat hendak membikin paspor, pihak Imigrasi menganggap Deddy bukan WNI. “Mereka bilang karena bapak saya warga negara Arab Saudi.” Padahal, ketika itu, Deddy sudah memiliki kartu tanda penduduk. Ia pun kelimpungan dan mencoba membuat paspor di kantor Imigrasi di daerah lain. “Tapi hasilnya sama saja. Saya dilempar ke sana kemari tanpa kejelasan. Bahkan saya diancam dideportasi karena menurut mereka saya bukan warga negara Indonesia.”
Perjuangan Deddy mendapatkan paspor baru membuahkan hasil dua tahun kemudian. Dia dibantu lembaga bantuan hukum asal Bandung. Ia pun diarahkan untuk mendatangi kantor Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta. “Di sana saya menceritakan persoalan saya kepada para pejabat.” Namun rupanya Deddy pun tak bisa langsung mendapatkan paspor. Setahun kemudian, barulah dia bisa membuat dokumen itu setelah Kemenkumham menerbitkan surat yang menyatakan bahwa Deddy seorang WNI. “Padahal saya lahir dan besar di Indonesia.”
Namun masalah tak selesai di situ. Setelah mendapatkan paspor pun Deddy masih mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan. Pada 2018, Deddy berkunjung ke Malaysia untuk menemui kerabatnya. Ketika pulang dan baru mendarat di bandara, Deddy ditahan oleh petugas. “Saya diinterogasi sampai dua jam karena mereka curiga saya bukan WNI.”
Penampilan Deddy memang seperti orang Arab kebanyakan, berkulit putih dan berhidung mancung. “Saya sampai disangka orang asing yang mau menyusup,” ujarnya. Ketika itu, Deddy sampai harus berbicara dalam bahasa Jawa untuk meyakinkan para petugas. “Barulah setelah itu saya dilepas.”
Praga Utama