Daniel Awigra
Deputi Direktur HRWG
“Dibutuhkan seluruh desa untuk membesarkan seorang anak.” Pepatah Afrika ini menjelaskan keyakinan bahwa setiap penduduk kampung memiliki tanggung jawab untuk membangun lingkungan yang sehat dan aman bagi tumbuh kembang anak. Namun, bagi anak-anak pekerja migran, pepatah ini berlaku dengan cara yang memilukan.
Anak-anak pekerja migran tumbuh dan berkembang di desanya bersama saudara, handai-taulan, dan tetangganya, tapi tanpa orang tua: salah satu atau bahkan keduanya. Karena alasan ekonomi, orang tua mereka harus bekerja di luar negeri dan meninggalkan mereka di negara asal.
Para anak yang ditinggal orang tua pekerja migran, atau “stay-behind children”, ini ada di hampir semua negara asal pekerja migran. Menurut hasil riset Human Rights Working Group yang terbit tahun ini dalam bentuk buku berjudul Stay-behind Children in Myanmar, the Philippines and Indonesia (HRWG, 2020), anak-anak tersebut merupakan salah satu kelompok paling rentan dalam fenomena pekerja migran. Karena bertumbuh kembang tanpa orang tua, mereka mengalami krisis kasih sayang dan terjerumus ke banyak masalah sosial.
Kebanyakan mereka dibesarkan oleh kakek dan neneknya yang sudah lansia, yang sesungguhnya merupakan kelompok rentan lainnya. Dari sana, muncul sejumlah persoalan sosial dengan berbagai stigma dan diskriminasi dari masyarakat.
Dalam aspek tumbuh kembang, banyak di antara mereka yang mengalami tekanan mental, kehilangan kepercayaan diri, penurunan prestasi akademik, serta persoalan gizi dan kesehatan. Ada yang terlibat kasus kekerasan, termasuk kekerasan seksual, baik sebagai korban maupun pelaku.
Nasib anak-anak ini kerap luput dalam diskursus mengenai pekerja migran. Padahal apa yang mereka alami merupakan salah satu biaya sosial akibat migrasi. International Organization for Migration secara umum mendefinisikan biaya sosial migrasi sebagai efek yang tidak diharapkan, baik secara sengaja maupun tidak, dari migrasi orang tua, di dalam dan ke luar negeri, yang ditanggung oleh individu ataupun masyarakat (IOM, 2017, hlm. viii-ix).
Umumnya, diskursus migrasi masih didominasi oleh pendekatan ekonomi pembangunan. Pemerintah menyebut pekerja migran sebagai pahlawan devisa. Maklum, pekerja migran Indonesia, menurut data Bank Dunia pada 2017, secara persentase berkontribusi terhadap pendapatan domestik bruto sebesar US$ 8,9 miliar. Tapi puja-puji tersebut tak diikuti oleh komitmen perlindungan buat mereka, apalagi terhadap anggota keluarganya. Sampai saat ini, masih banyak kasus pelanggaran hak, eksploitasi, dan kekerasan terhadap para pekerja migran.
Paradigma yang hanya berfokus pada remitansi dan pertumbuhan ekonomi, tapi mengabaikan beban sosial yang harus dipikul oleh anak pekerja migran saat masa tumbuh kembangnya, harus segera ditinggalkan. Tanpa perubahan paradigma, anak pekerja migran akan terus menanggung biaya sosial dari migrasi. Padahal Pasal 19 Konvensi Hak Anak menegaskan, “Tiap anak berhak mendapat pengasuhan yang layak, dilindungi dari kekerasan, penganiayaan, dan pengabaian.”
Kisah kematian Galang, anak pekerja migran berusia 9 tahun asal Bekasi, merupakan salah satu contoh tragis. Ia terus murung setelah mendengar kabar mengenai ibunya, Nuraeni, pekerja sektor domestik di Malaysia. Nuraeni lari dari majikannya dan mengungsi di sebuah shelter milik Konjen RI di Penang. Cemas akan keadaan ibunya, Galang kehilangan selera makan, sehingga mengalami sembelit akut yang berujung pada kematiannya (HRWG, 2020, hlm. 94-95). Kondisinya barangkali akan lain jika Galang mendapat perhatian dan bantuan psikologis yang memadai.
Mengacu pada studi yang dilakukan HRWG, isu utama dari persoalan “stay-behind children” ini adalah lemahnya data serta fokus kebijakan pemerintah pusat dan daerah pada anak-anak pekerja migran. Dibandingkan dengan Filipina dan Myanmar, inisiatif Desa Migran Produktif (Desmigratif) dari pemerintah Indonesia sebenarnya sudah cukup baik dan bisa menjadi contoh kebijakan yang memperhatikan problem anak pekerja migran. Salah satu pilar dari program ini adalah pola asuh komunitas atau community parenting. Namun perlu didalami lebih lanjut sejauh mana Desmigratif mendukung tumbuh kembang anak pekerja migran.
Adapun yang menjadi persoalan di negara tujuan migrasi adalah kebijakan yang hanya memberikan perhatian kepada pekerja migran di negara mereka. Semestinya, sebagai pihak yang diuntungkan oleh migrasi, mereka turut memperhatikan hak anak pekerja migran. Misalnya, mereka dapat ikut menanggung biaya sosial akibat migrasi, sehingga tidak sepenuhnya menjadi beban anggota keluarga yang sudah lansia, desa, dan pemerintah lokal. Perhatian negara asal dan negara tujuan migrasi akan meringankan beban di pundak anak-anak pekerja migran.
Dengan demikian, bagi anak-anak pekerja migran yang ditinggal orang tuanya, perhatian dari setiap penduduk desa saja, sebagaimana pepatah Afrika di atas, tidaklah cukup. Agar dapat bertumbuh kembang dengan baik, “stay-behind children” memerlukan dukungan dari setiap pihak yang mendapat keuntungan dari proses migrasi, baik negara asal, negara tujuan, maupun komunitas internasional.