maaf email atau password anda salah


Rendahnya Literasi Keuangan Picu Judi Online

Rendahnya literasi keuangan ikut memicu seseorang terjerat judi online. Regulasi judi online tak selalu bermanfaat.

arsip tempo : 171470102967.

Polisi saat menggerebek sebuah tempat operasi situs judi online yang berlokasi di wilayah Taman Palem, Cengkareng, Jakarta, 8 Oktober 2022. Dok. Humas Polres Metro Jakarta Barat. tempo : 171470102967.

Separuh masyarakat Indonesia, menurut data Otoritas Jasa Keuangan, telah melek keuangan dan ini perkembangan yang signifikan dibanding pada satu dekade lalu yang hanya sekitar 20 persen dari populasi. Namun bukan berarti kita terbebas dari keputusan-keputusan irasional dalam mengelola keuangan, termasuk ketika berurusan dengan judi online (judol).

Literasi keuangan menjadi argumen populer ketika berbicara soal kecanduan judi. Padahal studi dari Universitas Hiroshima, Jepang, menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara literasi keuangan dan ketagihan judi. Artinya, seseorang dengan literasi keuangan yang tinggi pun dapat kehilangan logika dan terjebak dalam perjudian. Hal ini mengindikasikan ketagihan judi melibatkan aspek psikologis yang kompleks, yang tidak selalu berkaitan dengan pengetahuan keuangan seseorang.

Studi lain dari Kansas State University, Amerika Serikat, menjelaskan, pemain yang terkena bias psikologi menjadi irasional sehingga meningkatkan toleransi risiko. Hal inilah yang menjelaskan mengapa penjudi berani bertaruh besar sampai harus meminjam uang atau menjual aset pribadi.

Lantas mengapa seorang penjudi percaya bisa menang meskipun sudah tahu pasti kalah?

Bias Psikologi dalam Judi Online

Ilustrasi seorang pria bermain judi online. Shutterstock

Pertanyaan tersebut salah satu hal yang sering dieksplorasi dalam literatur keuangan perilaku—cabang ilmu ekonomi yang mempelajari kaitan antara psikologi dan keputusan keuangan seseorang.

Misalnya, sebuah penelitian menunjukkan penjudi cenderung memilih taruhan berisiko tinggi ketika kalah atau tetap bertaruh karena pernah menang. Perilaku ini sering disebut sebagai hot-hand fallacy, yakni keyakinan bahwa kemenangan akan terjadi dan, jika pernah merasakan kemenangan tersebut, keyakinan pun semakin besar.

Hot-hand fallacy ini menjadi salah satu teorema kerangka model bisnis operator judi dengan membiarkan penjudi menang beberapa kali, setelah itu membuat mereka kalah.

Bias psikologi lain adalah gambler’s fallacy. Bias ini mendorong pemain tetap bertaruh karena mereka beranggapan peluang memenangi jackpot semakin meningkat setelah kalah berulang kali. Mereka yakin angka/warna/gambar yang dipertaruhkan pasti akan muncul karena belum pernah muncul sebelumnya.

Operator judol juga menggunakan illusion of control atau ilusi bahwa penjudi memiliki kendali permainan agar terus bertaruh. Misalnya, mereka membiarkan pemilik akun judi baru meraih kemenangan di awal untuk merangsang lebih banyak taruhan.

Baca: Judi Online Didesain Pengaruhi Psikologi

Akibatnya, banyak penjudi merasa tahu resep untuk menang judol, yaitu kerap membuat akun baru dan mengharapkan kemenangan awal di setiap akun. Para penjudi ini tak menyadari bahwa mereka telah masuk perangkap operator dan berisiko mengalami kerugian besar.

Singkatnya, manipulasi bias psikologi yang dilakukan operator tidak hanya meniadakan peran literasi keuangan, tapi juga meningkatkan selera risiko.

Penelitian menunjukkan bagaimana bias psikologi tersebut mempengaruhi gairah bertaruh yang berlebihan (obsessive passion), yang menyebabkan kecanduan berjudi. Dampaknya termasuk kelesuan dan kurangnya konsentrasi dalam tugas sehari-hari serta berimbas pada kesehatan mental. Hal ini juga yang menjelaskan mengapa kecanduan bisa mengarah pada tindakan kriminal, seperti pembunuhan atau penipuan.

Tindakan manipulatif menggunakan bias psikologi yang dilakukan operator judi sebenarnya diawasi dan terkendali di negara-negara yang memiliki kerangka regulasi judi.

Di negara-negara tersebut, operator judi memiliki kewajiban untuk transparan dan terbuka ihwal peluang menang dan kalah, termasuk secara implisit mengatur permasalahan manipulasi melalui psikologi. Tujuannya sesederhana untuk melindungi para penjudi dari potensi penipuan dan kecanduan judi.

Di negara-negara yang memiliki regulasi judi, operator judi juga tidak bebas melakukan promosi. Misalnya, di Inggris, iklan judi memiliki jam tayang di atas pukul 9 malam dan mengikuti kaidah “bermain dengan tanggung jawab”. Bahkan pemerintah Inggris tidak mengizinkan tokoh publik atau influencer menjadi model iklan judi.

Dengan adanya regulasi, tindakan manipulatif bisa dengan cepat diatasi dan dihukum. Pemerintah Filipina, misalnya, dengan cepat menutup situs judol e-sabong karena terindikasi melakukan penipuan dan memantik kecanduan. Di Kamboja, pemerintah menutup 231 judol ilegal yang tak hanya terindikasi melakukan penipuan, tapi juga perdagangan manusia.

Di negara yang melarang judi seperti Indonesia, situasinya sangat berbeda. Operator judi yang masuk secara ilegal dapat dengan bebas melakukan manipulasi dan memanfaatkan bias psikologi untuk menjerat pemain hingga menyebabkan kecanduan. Bahkan kebanyakan model iklan judol justru influencer. Hal ini menjelaskan mengapa kerugian masyarakat Indonesia akibat judol mencapai Rp 300 triliun.

Peran Negara dan Norma Sosial dari Perspektif Keuangan Perilaku

Ilustrasi seorang pria bermain judi online. Shutterstock

Negara-negara yang memiliki regulasi sebenarnya menggunakan pendekatan keuangan perilaku untuk mengatasi masalah ketagihan judi online. Misalnya, Inggris membuat regulasi dengan meningkatkan transparansi dalam probabilitas kemenangan, memberlakukan batasan waktu berjudi dan jumlah uang yang dimainkan, serta mengurangi fitur yang mendorong perilaku irasional pemain.

Perlu dicatat, meregulasi judi belum tentu menjadi pilihan bijak. Sebagai contoh, Australia menerima pendapatan sebesar AU$ 6 miliar (sekitar Rp 60 triliun) dari bisnis judi pada 2020, tapi penduduknya mengalami kerugian hingga AU$ 25 miliar akibat berjudi. Selain itu, muncul masalah perdagangan manusia, seperti yang terjadi di Myanmar dan Kamboja, hingga masalah pencucian uang. Karena itu, regulasi judi tidak dapat dianggap sebagai solusi yang tepat bagi Indonesia dalam mengatasi pandemi kecanduan judi.

Tentu saja, di negara tanpa regulasi judi seperti Indonesia, pengawasan terhadap judol ilegal menjadi sulit—tapi bukan berarti tidak mungkin. Tindakan proaktif dengan memblokir masuknya judol mungkin hal yang perlu diapresiasi. Namun pemerintah juga harus bisa menggunakan pendekatan keuangan perilaku untuk melakukan tindakan preventif terhadap masuknya situs-situs judol ke Indonesia.

Dari perspektif keuangan perilaku, upaya untuk mengatasi perilaku irasional dapat difokuskan pada edukasi. Salah satu pendekatan yang efektif adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang trik manipulatif yang digunakan operator judi untuk menyebabkan kecanduan.

Studi dari University of Adelaide, Australia, menunjukkan bagaimana program edukasi di masyarakat bisa menjadi intervensi dini menghalangi kecanduan judi. Karena itu, pemerintah dapat mengadakan kampanye pelayanan masyarakat yang menyoroti bagaimana operator judi memanipulasi pemain dengan memanfaatkan bias psikologi.

Selain itu, peran tekanan sosial dari kelompok masyarakat terbukti efektif mencegah perjudian daring. Studi dari Auckland University of Technology, Selandia Baru, menunjukkan bagaimana norma sosial dan agama, yang menganggap judi bukanlah sebuah permainan, melainkan aktivitas yang merugikan diri sendiri dan masyarakat, dapat menekan penjudi. Secara praktis, langkah-langkah seperti melaporkan perilaku judi dan memberikan bantuan kepada individu yang terancam kecanduan adalah contoh nyata bagaimana kita bisa membentuk norma sosial.

Studi empiris lain menunjukkan norma sosial dapat membantu seseorang tetap rasional dan menghindari perjudian. Sebab, ketika tindakan perjudian tidak lagi sesuai dengan nilai dan norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, individu cenderung menghindarinya.

Sebagai contoh, jika masyarakat percaya bahwa judi dapat merusak keluarga seperti narkoba, orang-orang akan menjadi takut mencobanya. Dengan demikian, menciptakan sistem norma sosial yang kuat menjadi kunci untuk mencegah kecanduan judi dari sisi masyarakat.

Di Indonesia, kekurangan regulasi dan penegakan hukum atas judi memberi operator judol keleluasaan dalam menerapkan strategi yang memanipulasi bias perilaku. Namun literasi keuangan bukanlah solusi dalam perihal kecanduan judi dan regulasi bisa jadi bukan opsi yang tepat. Di negara yang tradisi sosial dan nilai-nilai keagamaannya masih kuat seperti di Indonesia, kita dapat mengatasi bias psikologi yang mempengaruhi pemain serta mencegah kecanduan judi dengan pendidikan dan norma.

---

Artikel ini ditulis oleh Rayenda Khresna Brahmana, dosen ekonomi, keuangan, dan akuntansi di Coventry University, Inggris. Terbit pertama kali di The Conversation. 

Konten Eksklusif Lainnya

  • 3 Mei 2024

  • 2 Mei 2024

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan