JAKARTA - Pemerintah tengah mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal masuk ke skala bisnis yang lebih besar. Langkah ini ditempuh lantaran produktivitas UMKM dinilai masih rendah.
"Kita perlu mendorong scaling-up. Salah satunya dengan menyiapkan peraturan presiden perihal kewirausahaan untuk mencetak dan melahirkan pengusaha baru," tutur Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki kepada Tempo, beberapa waktu lalu.
Sejauh ini, jumlah pelaku UMKM di Indonesia sebanyak 64 juta. Angka tersebut mencapai 99,9 persen dari keseluruhan usaha yang beroperasi di Indonesia. Kontribusi produk domestik bruto (PDB) dari sektor UMKM sekitar 60 persen. Sementara itu, sekitar 40 persen lainnya berasal dari usaha besar, yang jumlahnya hanya 0,1 persen.
Menurut Teten, salah satu langkah yang tengah disiapkan pemerintah adalah melakukan konsolidasi pembiayaan pemerintah. Pasalnya, kata dia, selama ini skema pembiayaan untuk sektor usaha mikro menyebar di 22 kementerian. Dengan adanya peraturan presiden tersebut, diharapkan skala ekonomi pelaku usaha bisa didorong, misalnya dari usaha mikro naik menjadi usaha kecil hingga menengah.
Pembuatan pesawat berbahan fiber di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, 12 Oktober 2020. Tempo/Tony Hartawan
Selama ini, ujar Teten, jumlah pelaku UMKM terus bertumbuh, namun tidak banyak yang bertahan. Ia mencontohkan, hampir 60 persen UMKM bergerak di sektor makanan dan minuman. Dalam skala kecil, ujar Teten, mereka masih bisa bertahan. Namun, apabila skalanya diperbesar, kebanyakan UMKM kalah oleh produk industri besar. Untuk itu, Teten mengatakan, pemerintah juga mendorong UMKM untuk bisa masuk ke rantai pasok industri besar.
"Jadi, UMKM bisa fokus saja memproduksi komponen tertentu, misalnya masuk ke industri otomotif, elektronik, atau furnitur," ujar Teten.
Dengan begitu, menurut Teten, pelaku UMKM tidak harus bertempur dengan usaha besar, tapi terintegrasi dalam rantai pasok industri nasional ataupun global. Hal tersebut dinilai juga dilakukan oleh sejumlah negara, seperti Jepang, Korea, dan Cina.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Ikhsan Ingratubun, masih menanti konsep dan strategi scaling-up dari pemerintah. Menurut dia, salah satu cara untuk scaling-up UMKM adalah dengan memberikan akses pasar untuk meningkatkan permintaan. Kebijakan mewajibkan kementerian/lembaga berbelanja produk UMKM minimal 40 persen dari pagu anggaran bisa menjadi salah satu upaya untuk scaling-up. "Namun itu tidak mudah. Tetap masih kami tunggu," ujar Ikhsan.
Ikhsan mendukung imbauan pemerintah untuk mendorong UMKM masuk rantai pasok bagi perusahaan besar. Namun, kata dia, perlu ada jaminan perusahaan benar-benar mau menyerap produk UMKM. Selain itu, perlu ada dorongan agar produk usaha mikro hingga menengah mampu memenuhi syarat, spesifikasi, hingga kualitas perusahaan tersebut.
"Itu memang harus ada aturan yang memaksa. Pemberian insentif itu bisa jadi salah satu upaya. Namun akan sulit kalau tidak ada kewajiban bagi perusahaan besar untuk menyerap," ujar Ikhsan. Ia mencontohkan, cara tersebut dilakukan oleh pemerintah Cina yang menjamin penyerapan dan pasar bagi produk UMKM.
Produksi kursi berbahan rotan di Grogol, Jakarta, 23 September 2020. Tempo/Tony Hartawan
Ketua Umum Asosiasi Industri, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, berujar masih rendahnya kontribusi UMKM terhadap PDB terjadi karena penyerapan manfaat program pemerintah di lapangan belum signifikan. Apalagi, kata dia, sekarang skala UMKM juga bergeser. Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021, UMKM skala kecil sekarang bergeser menjadi skala mikro.
Menurut Hermawati, kontribusi yang besar tentunya juga harus berbanding lurus dengan daya beli masyarakat. Ia tak bisa memungkiri kondisi Covid-19 membuat kompetisi, baik di antara pelaku maupun mitra UMKM, dalam platform online semakin ketat. Menurut dia, UMKM yang mampu dan siap bersaing lebih banyak adalah pengusaha kecil yang bergeser menjadi pelaku usaha mikro.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menuturkan sekitar 90 persen kelompok UMKM masuk ke segmen usaha mikro. Hal tersebut sering disebut sebagai hollow in the middle atau lubang di tengah, karena usaha mikro sulit naik kelas ke usaha kecil kemudian ke menengah. Menurut Bhima, faktor penyebabnya adalah sumber daya manusia, teknologi, modal, dan akses pasar. "Terkait SDM, sebagian besar tenaga kerja usaha mikro lulusan SMP ke bawah dan diisi generasi X serta baby boomers," ujar Bhima.
Menurut Bhima, yang perlu dilakukan pemerintah untuk mendorong scaling-up UMKM adalah mengeluarkan kebijakan yang sifatnya komprehensif dan terintegrasi. Misalnya, kata dia, dimulai dari pemberian kewenangan Kemenkop dan UKM yang lebih luas untuk menjalankan program UMKM yang tersebar di hampir semua kementerian, termasuk badan usaha milik negara (BUMN).
"Kalau bisa satu pintu, maka jauh lebih optimal," ujar Bhima. "Karena selama ini sudah banyak program UMKM yang bagus, tapi selesai tahun anggaran tidak berlanjut."
BUDI SETYARSO | LARISSA