JAKARTA – Kementerian Perhubungan memastikan program kargo laut bersubsidi alias tol laut akan terus diperluas ke wilayah terluar Indonesia yang belum terjamah kapal komersial. Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan, Antoni Arif Priyadi, mengatakan terdapat empat tambahan trayek baru untuk program yang dimulai pada 2015 tersebut. Dia memastikan pemerintah akan menyaring masukan dan tak sembarangan menambah jalur baru.
“Usul pemerintah daerah menjadi pertimbangan utama, selain kelayakan pelabuhan,” kata Antoni kepada Tempo, kemarin.
Enam trayek kapal tol laut yang dilayani perusahaan pelayaran pelat merah PT Pelni (Persero) sejak 2016 terus diperluas hingga menjadi 26 trayek pada tahun lalu. Pada 2020, program yang dipayungi Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2017 ini sudah didukung oleh tiga pelabuhan pangkal di Pulau Jawa, enam pelabuhan transit, serta 100 pelabuhan singgah yang mayoritas berada di wilayah tengah dan timur Indonesia.
Kapal motor (KM) Sabuk Nusantara 110 di Pelabuhan Jetty Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, April 2019. ANTARA/Syiffa Yulinnas
Pada tahun ini, Kementerian Perhubungan meresmikan empat trayek tambahan. Dua di antaranya adalah trayek yang menghubungkan Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya dengan Pelabuhan Namlea di Maluku, serta Pelabuhan Nunukan dan Tarakan di Kalimantan Utara. Ada juga trayek penghubung Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta dengan Pelabuhan Teluk Bayur di Padang, Sumatera Barat.
Sementara itu, satu trayek lainnya menjadi trayek unggulan pada tahun ini karena berada di dalam daerah alias interland antara Pelabuhan Merauke dan Pelabuhan Depapre di Papua. Jalur ini mengaitkan Papua bagian selatan dan utara secara langsung. “Hasil produksi bisa dibawa langsung tanpa harus ke singgah ke Jawa dulu,” kata dia.
Menurut Antoni, penentuan rute tol laut juga mempertimbangkan jalur yang bisa dilewati operator swasta. Pasalnya, beberapa trayek dilelang ke publik agar bisa ditangani oleh perusahaan non-pelat merah. “Mengingat keterbatasan armada pemerintah.”
Direktur Usaha Angkutan Barang dan Tol Laut PT Pelni, Yahya Kuncoro, mengatakan entitasnya ditugasi mengelola sembilan trayek. Pada awal 2021, dia mengklaim muatan kapal barang di semua trayek Pelni sudah menembus 617 TEUs (satuan kontainer). “Hitungannya sudah 40 persen lebih tinggi dari target kami,” tutur dia, kemarin. “Kami dorong semua pemerintah daerah agar dapat memanfaatkan kapal tol laut.”
Kapal laut KM Sabuk Nusantara 107 di Pelabuhan Penumpang Tanjung Priok, Jakarta, 2018. ANTARA/Hafidz Mubarak A
Adapun Direktur Utama PT Djakarta Lloyd (Persero), Suyoto, mengatakan perusahaannya masih ditugasi mengelola lima trayek. Dia menyebutkan Djakarta Lloyd mendapat subsidi senilai lebih dari Rp 86 miliar untuk membiayai operasi kapal tol laut tahun ini. Target muatan di lima jalur penugasan itu pun bervariasi, dari sekitar 660 TEUs hingga 990 TEUs.
“Sudah beroperasi semua. Tidak ada yang setop karena hanya perlu melanjutkan (pekerjaan) tahun sebelumnya,” katanya.
Meski terus diperluas, tol laut sering mendapat kritik dari para pengusaha logistik. Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia, Zaldy Ilham Masita, pernah menyebutkan bahwa skema angkutan bersubsidi itu tak sesuai dengan kebutuhan logistik dalam negeri. Meski bisa memangkas ongkos angkut di kapal, subsidi tak meringankan biaya proses rantai pasok yang mahal jika dihitung secara keseluruhan dengan distribusi dari darat hingga pelabuhan.
“Kalau bukan eksekusinya yang salah, mungkin memang konsepnya tak cocok untuk Indonesia,” ucapnya kepada Tempo.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia Bidang Rantai Pasok, Digital Logistik, dan E-Commerce, Trismawan Sanjaya, juga menyatakan armada tol laut harus disesuaikan dengan jenis komoditas di daerah tujuan. Kapal yang diberangkatkan, ujar dia, didominasi oleh feri dengan muatan kontainer besar. “Karena banyak barang curah seperti hasil kebun dan perikanan yang kemasannya tak cocok masuk kontainer, orang daerah malas pakai tol laut.”