JJ Rizal
Sejarawan
Tiap kali berkunjung ke Kota Tua Jakarta, saya terus menjadi ngenes. Demikianlah kata seorang tamu dari Prancis di pinggir kali di depan rumah seorang kawan saya di Kampung Tongkol.
Saat itu dekat akhir 2018. Sebelum kembali ke negerinya, ia ingin melihat sekali lagi sedikit sisa terakhir tembok Kota Batavia di sebelah timur dan tentu saja gudangnya. Tampak sudah tumbuh pohon di atap dengan akar-akar masuk ke dalam dan memakan temboknya. Depan gudang dipenuhi mobil rongsokan. Jika hujan, kata kawan saya yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Kampung Tongkol itu, air masuk gudang dan memunculkan genangan di pinggir sisi selatan gudang. Ini dampak sisa tumpukan adukan pasir semen dan koral dari perusahaan pengecoran yang sempat menyewa lahan di samping gudang.
Selang dua tahun kemudian, pada awal 2021, ia mengirim video sepanjang tiga menit tentang Gudang Timur yang didapat dari kenalannya yang baru saja mengunjungi gedung dari abad ke-17 itu. Ia sertai pula sebuah pesan pendek: "Rupanya, setelah ditetapkan menjadi cagar budaya pun, nasibnya tak banyak berubah, tetap menyedihkan".
Beberapa bulan sebelum tamu itu datang, pada 17 September 2018, Gubernur Jakarta Anies Baswedan telah menetapkan Gudang Timur sebagai bangunan cagar budaya. Penetapannya melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1363 Tahun 2018. Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi DKI Jakarta dalam rekomendasinya yang bertitimangsa 3 April 2018 menyatakan: "Gudang Timur layak untuk ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya karena merupakan bangunan gudang yang dibangun pada abad ke-18 yang mewakili gaya bangunan pertahanan pada masa pendudukan VOC dan sebagai bukti sejarah dan kejayaan Kota Batavia sebagai pusat perdagangan pada abad ke-17 hingga abad ke-18 di Jakarta".
Pada abad ke-18, ketika VOC sedang kuasa-kuasanya, gudang-gudang itu disebut Graanpakhuizen atau "Gudang Gandum". Terkadang juga disebut "Gudang di Tepi Timur". Di sini, VOC menyimpan segala macam bahan makanan, seperti beras, buncis, kacang tanah, kacang hijau, dan kue-kue, untuk perbekalan kapal. Termasuk sejumlah minuman anggur, mom atau bir Belanda, lilin, daging asap, ikan pampus kering, mentega Belanda dan Bengal, gula batu, gula pasir, garam, serta minyak zaitun. Pendek kata, dari gudang ini dapat dilihat meja makan para pejabat VOC. Sebab, selain menerima gaji dan uang makan, mereka mendapat aneka minuman serta barang kebutuhan sehari-hari dari gudang pemerintah.
Selain sebagai artefak sejarah aliemantari atau sesuatu yang terkait dengan makanan dan produksi pangan, Gudang Timur oleh Adolf Heuken dalam buku klasiknya, Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, disebut sangat membantu siapa pun yang ingin membayangkan bentuk Kota Batavia pada abad ke-17 sampai ke-19. Tapi, cilakanya, setelah 1995, hilanglah kesempatan istimewa itu karena dua dari empat gudang yang paling tua dibongkar untuk pembangunan jalan tol. Sebelumnya, keempat gudang yang memanjang membentuk dua jajaran. Gudang tertua yang lebih rendah di sebelah barat daya, menurut sejarahnya, sebagian masih berasal dari pertengahan abad ke-17. Sedangkan tiga lainnya dibangun antara 1748 dan 1759.
Ketika datang, Heuken menemukan beberapa pintu masih dikunci dengan induk kuncinya yang amat berat. Balok-balok kayu yang panjang dan kokoh di dalamnya menjadi palang pintu. Di sepanjang sisi timur, dia menulis, di kedua gudang paling timur terdapat serambi yang sejak pertengahan abad ke-18 membentuk garis miring antara sudut benteng yang dinamakan Kubu Amsterdam pada tembok kota dan sudut lainnya, kubu Robijn, dari benteng atau kasteel Batavia, yang dulu terletak hanya 30 meter di sebelah utara gudang-gudang tersebut. Serambi itu berfungsi sebagai tembok kota. Suatu tembok pendek menghubungkan gedung-gedung itu dengan benteng tersebut. Pada tembok ini pernah terdapat salah satu dari dua gerbang Kota Batavia, yaitu Delftsche Poort atau Gerbang Delft.
Pergudangan tua itu membuat Heuken—sebagai sejarawan—dapat menyatakan bahwa apa yang dilukis oleh Johannes Rach dan J.W. van Heydt tentang situasi kota lama Batavia sangat pas. Lebih jauh, ia pun dapat memperkirakan bahwa kasteel Batavia, yang tersohor karena menjadi titik sentral yang mencengkeram Jayakarta, lalu dihancurkan seraya diganti menjadi Batavia, hanya kecil. Seluas kurang-lebih 250 meter. Karena itu, cobalah percaya bahwa pergudangan tua sesungguhnya gudang lapis-lapis narasi sejarah yang begitu kaya.
Ia merupakan sejarah ihwal sebuah kawasan yang menjadi jantung perusahaan multinasional raksasa VOC, yang jaringan kekuasaan dagangnya begitu luas terbentang dari Deshima di Jepang sampai Cape Town di Afrika Selatan. Ia juga cikal bakal Ibu Kota Jakarta, yang berawal dari kota bandar Sunda Kalapa, Jayakarta. Ini karena Kota Batavia merupakan nama untuk kasteel, yang dijadikan Jan Pieterzoon Coen untuk memulai yang kemudian disebut kolonialisme panjang dari Hindia Timur ke Hindia Belanda dan menjadi Indonesia.
Ironisnya, edisi pertama buku Heuken tentang tempat-tempat bersejarah di Jakarta yang terbit dalam bahasa Inggris, Historical Sites of Jakarta, justru keluar pada 1995, bersamaan dengan dihancurkannya "Gudang di Tepi Timur". Wajar saja jika dalam edisi pertama terjemahan bahasa Indonesia yang terbit pada 1997, ketika sampai pada pembahasan Gudang Timur, ia memulainya dengan nada menyesalkan tapi masih menyimpan harapan: "Sebuah kawasan bersejarah yang telantar dan pantas diperhatikan". Tentu saja keputusan Gubernur Jakarta untuk menetapkan Gudang Timur sebagai cagar budaya merupakan sesuatu yang pantas. Tapi soal apakah setelahnya tidak lagi telantar dan mendapat perhatian adalah urusan lain.
Nasib bangunan bersejarah memang terkurung dalam lingkaran setan masalah dan sikap yang bertahan lama, yaitu ketidakpahaman bahwa hidup memang dijalani ke depan, tapi dipahami ke belakang. Tidak aneh jika kota dan warganya terasa begitu anonim karena memang mereka tidak peduli terhadap sejarahnya. Semoga saja Gubernur Jakarta dan/atau Direktorat Peralatan Angkatan Darat Tentara Nasional Indonesia, yang tertulis dalam keputusan gubernur itu sebagai pengelola, akan memutus lingkaran setan tersebut dengan memulainya dari Gudang Timur yang terancam hancur.