JAKARTA — Meski sudah berhasil panen, kekhawatiran masih merecoki pikiran para petani di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara. Nurhati Siregar, seorang petani di lahan food estate, berharap hasil panen milik petani bisa dibeli pemerintah atau swasta dengan harga yang pantas. "Janganlah kami diajak ikut menyukseskan program pemerintah tapi hasil panen tidak dibeli," ujar Nurhati kepada Tempo.
Kekhawatiran itu muncul setelah petani asal Desa Ria Ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbahas, mulai memanen bawang merah di atas lahan demonstrasi farming (demfarm) untuk program lumbung pangan atau food estate beberapa waktu lalu. Panen dilakukan lima bulan sejak pembukaan lahan food estate Humbahas.
Pada panen perdana, petani berhasil memetik bawang merah varietas batu hijau (batu ijo) sebanyak 42 ton per hektare panen basah atau sekitar 20 ton per hektare panen kering. Capaian tersebut dinilai cukup baik, mengingat lokasi penanaman food estate itu merupakan lahan bukaan baru. Dari situ pemerintah menilai lahan tersebut cocok untuk tanaman hortikultura, seperti kentang, bawang merah, dan bawang putih.
"Ini tanaman prioritas di lahan food estate Humbang Hasundutan," ujar Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara, Khadijah El Ramija.
Warga menunjukkan hasil panen bawang merah di lahan lumbung pangan (food estate) Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Tempo/Sahat
Kepala Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Pollung Wisler Lumbanbatu mengatakan lahan pertanian bawang merah, bawang putih, dan kentang yang sudah dibuka di kawasan food estate Desa Ria Ria berjumlah 215 hektare. Rinciannya, 200 hektare lahan dikelola masyarakat dan 15 hektare lahan dikelola BPTP Kementerian Pertanian sebagai percontohan.
"Di atas lahan percontohan 15 hektare itu kami menanam bawang merah, bawang putih, serta kentang, dan yang sudah panen bawang merah varietas batu ijo. Hasilnya akan dijadikan bibit unggul yang dibagikan kepada petani di kawasan food estate," ujar Wisler.
Pemerintah menargetkan penanaman di lahan lumbung pangan Humbahas bisa mencapai 3.000 hektare pada tahun ini. Pada tahap awal, luas area tanam yang dipersiapkan mencapai 1.000 hektare. Namun saat ini fokus penggarapannya baru pada lahan seluas 215 hektare. Wisler berharap pihak swasta yang dikabarkan akan masuk bakal serius mengelola 785 hektare.
"Swasta diharapkan membeli hasil panen petani rakyat. Jadi kerja sama petani, off taker (swasta), dan pemerintah nyata adanya. Konsep korporasi farming berjalan sesuai dengan harapan," ujar Wisler.
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, menyebutkan keseluruhan food estate tahap pertama ini dikelola oleh petani Humbang Hasundutan. Selanjutnya, segera dibuka lagi lahan seluas 785 hektare untuk pengembangan food estate. Menurut Prihasto, pemerintah tengah menyiapkan calon petani dan calon lahan (CPCL).
"Begitu siap, para investor sudah bisa masuk langsung. Tentunya para investor ini akan bekerja sama dengan petani,” Prihasto memaparkan.
Menurut Prihasto, dalam pengembangan kawasan di Sumatera Utara, pembangunannya diarahkan pada model industri hulu-hilir, termasuk pascapanen. Dengan begitu, kata dia, nantinya ada marketplace seperti pasar modern. Prihasto berujar bahwa target food estate berbasis hortikultura ini akan difokuskan pada peningkatan luas tanam dan produksi komoditas bawang merah, bawang putih, dan kentang.
"Sehingga dapat memperkuat kerja sama dan sinergi antarpetani dengan stakeholder terkait," kata dia.
Berdasarkan laporan perkembangan food estate dari Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, pemerintah mencatat perlu adanya lembaga pengelola food estate yang profesional, sehingga mampu mengintegrasikan pengembangan dan pendampingan penuh di empat kabupaten secara berkelanjutan, yaitu Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Pakpak Bharat.
Tanaman bawang merah di lahan lumbung pangan Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Tempo/Sahat
Setidaknya ada lima perusahaan yang digadang-gadang menjadi off-taker, yaitu Indofood, Great Giant Foods, East West Seed Indonesia, Grup Wings, dan Parna Raya Group. Perusahaan itu akan membeli putus dari petani pada harga yang telah ditetapkan sebelum musim tanam dimulai (forward contract). "Industri/off-taker menyediakan pendampingan, pupuk, benih, dan masukan agrikultur lainnya, yang akan memotong nilai beli dari petani," demikian isi laporan itu pada akhir bulan lalu.
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Maksum Syam, mempertanyakan model kemitraan antara petani dan perusahaan atau industri yang menjadi off-taker. Menurut dia, perusahaan besar tersebut berpotensi menguasai rantai pasok dari hulu ke hilir, misalnya dari musim tanam, persiapan lahan, panen, produksi, distribusi, hingga konsumsi. Menurut Maksum, setiap mata rantai harus melibatkan petani dan masyarakat.
"Ini sebenarnya bentuk mutakhir dari rantai pasok pangan, yaitu bagaimana sistem pangan menggerus keterlibatan rakyat dalam produksi atau menjadi produsen pangan," ujar Maksum.
Berkaca dari proyek ambisius Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke (PPETM) di Papua, Maksum menilai kemitraan itu hanyalah pemanis. Waktu itu, petani hanya menjadi pekerja buruh dan tidak melakukan perlawanan atas klaim hak adatnya. "Kelihatannya, Humbahas akan sama modusnya," kata Maksum.
Pengamat pertanian dari Universitas Santo Thomas Medan, Sumatera Utara, Posman Sibuea, berharap jangan sampai sistem kemitraan petani dan pemodal mengkloning kemitraan seperti lahan perkebunan sawit, yaitu petani dijadikan plasma oleh perusahaan inti. Menurut dia, konsep food estate sebaiknya menjadi corporate farming. Artinya, lahan sempit petani lokal disatukan menjadi luasan hamparan yang dilengkapi dengan modernisasi pertanian.
"Sehingga petani untung. Jangan nanti petani hanya menjadi penonton, bukan tuan di atas tanahnya," kata Posman.
KARANA WIJAYA W. | SAHAT SIMATUPANG