JAKARTA – Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menerima laporan keterlambatan pembayaran insentif tenaga kesehatan yang menangani pasien Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di berbagai daerah. Keterlambatan pembayaran itu terjadi pada insentif tenaga kesehatan pada 2020.
Sesuai dengan laporan yang diterima oleh PPNI, keterlambatan pembayaran insentif terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pirngadi, Medan, Sumatera Utara; RSUD M. Yunus, Bengkulu; sejumlah rumah sakit rujukan Covid-19 di Kalimantan Selatan; serta beberapa rumah sakit swasta rujukan Covid-19 di Bekasi, Jawa Barat.
"Kami masih mengumpulkan laporan-laporan tersebut untuk dilaporkan kepada pemerintah," kata Ketua PPNI, Harif Fadhillah, kemarin.
Harif mengatakan sebagian besar keterlambatan pembayaran insentif terjadi selama beberapa bulan terakhir. Penyebab keterlambatan pembayaran insentif ini beragam, dari keterlambatan transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah hingga pihak rumah sakit yang memang telat membayarkannya kepada tenaga kesehatan.
Ia mendesak pemerintah agar membenahi keterlambatan pembayaran insentif tersebut. Sebab, seharusnya tenaga kesehatan mendapat apresiasi dari pemerintah atas jasanya menjadi garda terdepan melawan pandemi Covid-19. Namun keterlambatan pembayaran ini berpotensi menambah masalah bagi perawat dan tenaga kesehatan lainnya.
Dokter disemprot disinfektan setelah bertugas di tenda infeksius Puskesmas Tamblong, Bandung, Jawa Barat, 7 Desembr 2020. TEMPO/Prima Mulia
"Insentif ini sangat berguna bagi para perawat. Pemerintah harus menghargai perjuangan mereka," katanya.
Menurut Harif, lembaganya juga menerima laporan terjadi pengurangan insentif bagi tenaga kesehatan, khususnya perawat. Ia mengatakan sejumlah perawat melaporkan besaran insentif yang mereka terima lebih rendah dari janji pemerintah pusat. Padahal, sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan, perawat memperoleh insentif sebesar Rp 7,5 juta per bulan.
Ada berbagai alasan sehingga insentif perawat dipotong. Pertama, perawat dianggap bekerja kurang dari 22 hari dalam sebulan. Waktu 22 hari ini merupakan syarat pembayaran satu bulan insentif. Kedua, keputusan manajemen rumah sakit yang memotong insentif tenaga kesehatan dengan alasan untuk menggaji sopir ambulans, tenaga kebersihan, dan tenaga bantuan lainnya yang memang tidak mendapat insentif dari pemerintah pusat.
"Mereka juga berjasa, tapi tidak mendapat insentif dari pemerintah. Jadi, seperti sukarela memberi insentif untuk mereka yang tidak dapat," ujar Harif.
Senada dengan hal itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membenarkan kabar adanya pemotongan insentif tersebut. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Muhammad Adib Khumaidi, mengatakan pemerintah seharusnya menganggarkan insentif untuk tenaga pendukung rumah sakit rujukan Covid-19. Sebab, mereka juga berperan besar dalam memerangi pandemi di garda terdepan.
"Mereka juga punya risiko besar terinfeksi Covid-19. Negara wajib memberikan apresiasi kepada mereka," kata Ketua Tim Mitigasi Covid-19 PB IDI ini.
Selain itu, Adib meminta pemerintah lebih rinci dalam mengatur proses penyaluran insentif kepada dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya. Sebab, menurut dia, keterlambatan dan pemotongan insentif terjadi karena aturan penyaluran dana yang kurang jelas serta mekanisme pencairan insentif yang berbelit-belit.
Sesuai dengan aturan Menteri Kesehatan, proses pembayaran insentif tenaga kesehatan dilakukan oleh masing-masing fasilitas kesehatan, baik rumah sakit maupun puskesmas. Lalu insentif tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit daerah disalurkan lewat pemerintah daerah.
Adib mengusulkan agar pembayaran insentif ditransfer ke masing-masing rekening tenaga kesehatan. Cara ini dianggapnya lebih cepat lantaran pemerintah tak perlu melewati birokrasi di daerah dan manajemen rumah sakit, serta untuk menghindari pemotongan insentif. "Kami sudah sampaikan ini kepada Menteri Kesehatan," kata Adib.
Petugas kesehatan menggunakan hazmat bersiap untuk merawat pasien di RS Darurat COVID-19 Wisma Atlet, Jakarta, 18 November 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan, secara umum, anggaran insentif tenaga kesehatan terbagi dua, yaitu untuk mereka yang bertugas di rumah sakit umum pusat (RSUP) dan di rumah sakit umum daerah. Anggaran insentif untuk tenaga kesehatan di RSUP sudah disalurkan lewat Kementerian Kesehatan sampai November 2020. Lalu pembayaran insentif pada Desember 2020 masih menunggu anggaran tahun ini.
"Sementara itu, anggaran insentif tenaga kesehatan RSUD langsung diberikan ke pemerintah provinsi. Dananya sudah ada di kas pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota sejak awal tahun," kata Nadia.
Sejumlah daerah menguatkan terjadinya keterlambatan pembayaran insentif bagi tenaga kesehatan. Misalnya, Pemerintah Kota Yogyakarta mencatat hingga saat ini tenaga kesehatan yang bertugas di dua rumah sakit pemerintah dan 18 puskesmas belum menerima pembayaran insentif periode Oktober hingga Desember 2020. Total tunggakan insentif tersebut mencapai Rp 5,7 miliar.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan pembayaran insentif itu menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. "Kami berharap insentif tersebut segera bisa dibayarkan, meskipun tenaga kesehatan di sini tidak sampai demo,” kata Heroe.
Kondisi serupa terjadi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kepala Dinas Kesehatan Sleman, Joko Hastaryo, mengatakan insentif tenaga kesehatan di daerahnya terakhir kali dibayarkan pemerintah pada September 2020. Tunggakan insentif tenaga kesehatan ini terdapat di dua rumah sakit daerah dengan total mencapai Rp 2,3 miliar.
“Kekurangan Oktober sampai Desember infonya akan dibayarkan melalui anggaran 2021,” kata Joko.
Kondisi berbeda terjadi di Jawa Barat. Pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat sekaligus Asisten Pemerintahan, Hukum, dan Kesejahteraan Sosial Sekretariat Daerah Jawa Barat, Dewi Sartika, mengklaim insentif tenaga kesehatan periode 2020 di daerahnya sudah dibayarkan ke kas daerah. Tapi dana itu belum seluruhnya dibayarkan kepada tenaga kesehatan karena masih dalam proses pembayaran. "Alokasinya sudah ada dan mencukupi. Sudah dianggarkan," kata Dewi.
INDRA WIJAYA | AHMAD FIKRI (BANDUNG)| PRIBADI WICAKSONO (YOGYAKARTA)