JAKARTA – Para pelaku bisnis hotel dan penginapan mulai melepas aset lantaran tak sanggup menanggung biaya operasional selama masa pandemi Covid-19. Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, mengatakan sebagian pengelola hotel menjual seluruh aset, sedangkan yang lain melepas sebagian properti kepada publik.
Menurut Maulana, ada pengusaha yang menawarkan aset hotel melalui kanal jual-beli online atau marketplace. “Jual aset ini langkah terakhir pengelola saat setelah semua strategi efisiensi gagal,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Maulana mengatakan tren itu mulai terjadi karenatekanan yang belum berhenti. Hingga awal tahun ini, tingkat keterisian rata-rata hotel masih di bawah 50 persen atau tak mencapai separuh dari kapasitas yang tersedia. Hal ini terjadi karena pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali dan masa sepi alias low season.
Konsekuensi lainnya, kata Maulana, pengusaha memasang tarif 30-40 persen dari rate normal. “Hotel itu aset pasif yang memiliki biaya tetap saat sepi atau ramai, belum lagi pengusaha harus membayar utang bank.”
Maulana mengklaim dana hibah pariwisata sebesar Rp 3,3 triliun yang dicairkan pemerintah untuk 101 kota dan kabupaten pada akhir 2020 tak dapat dimanfaatkan secara efektif. Padahal, kata dia, sebanyak 70 persen dari dana itu diperuntukkan bagi sektor perhotelan. “Tapi uangnya untuk bayar pajak karena tak ada keringanan, sehingga uang itu mengalir kembali ke pemerintah,” ucapnya.
Hotel Losari Roxy di Jakarta. Dok losarihotels.com
Berdasarkan pantauan Tempo, penjualan hotel terjadi di platform online OLX. Salah satunya adalah hotel bintang tiga bernama Losari Roxy di Jalan KH Hasyim Ashari, Cideng, Jakarta Pusat. Hotel 10 lantai dengan 102 kamar itu dijual dengan harga Rp 65-75 miliar. Ada pula Hotel Yuan Garden berkapasitas 330 kamar di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, yang dijual di OLX dengan harga Rp 880 miliar.
Pada awal Februari lalu, PHRI Provinsi Bali pun mencatat 60 hotel akan dijual oleh para pengelola yang tak sanggup membayar biaya operasional dan gaji karyawan. Merujuk pada data PHRI nasional, tingkat keterisian rata-rata hotel di Bali sepanjang tahun lalu hanya 15,3 persen. Okupansi itu merupakan yang terendah dibanding 33 provinsi lainnya.
Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, mengatakan pengusaha hotel di wilayahnya berupaya menjual kamar lewat promosi protokol kesehatan dan layanan bersih untuk meyakinkan pengunjung domestik. “Wisatawan harus confident dulu ke Bali, baru kita bisa percepat paket-paket promosi,” ujarnya.
Managing Director PT Efata Ultrans Tour Bali, Intan Novriyanita, mengatakan baru melepas kontrak kolaborasi dengan sejumlah mitra hotel bintang tiga di Bali. “Ada juga hotel yang alih fungsi, bangunannya tak untuk penginapan lagi setelah dibeli pemilik baru,” kata dia.
Petugas kebersihan membersihkan gagang telepon dengan cairan disinfektan di salah satu hotel di Bali, 5 Juni 2020. Johannes P. Christo
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan pengusaha hotel yang kekurangan modal dan masih bergantung pada pinjaman akan dengan mudah melego asetnya di tengah kondisi seperti saat ini. Namun, kata dia, ada pengusaha hotel besar yang justru memanfaatkan momen ini untuk mengakuisisi hotel kecil. “Mumpung ramai, pemain besar bisa beli murah lalu merenovasi aset barunya agar siap dipakai saat demand mulai normal,” ujarnya.
Founder bisnis rintisan rumah indekos RoomMe, Glen Ramersan, mengatakan sebagian kecil mitranya merupakan eks pengelola hotel yang mengubah penginapan menjadi rumah kos. “Mitra kami dengan profil seperti ini belakangan semakin bertambah,” katanya, kemarin.
Glen mengatakan belum akan membuka peluang layanan inap harian atau mengubah bisnis indekos menjadi hotel. Manajemen RoomMe mengelola 10 ribu kamar di 12 kota di Indonesia. Perusahaan menyediakan kamar untuk ditinggali dalam periode tertentu, minimal sebulan.
YOHANES PASKALIS