JAKARTA – Para penyedia jasa perjalanan wisata kini kian selektif dalam mencari mitra akomodasi untuk menjaga tingkat permintaan pada masa pandemi Covid-19. Sekretaris Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo), Pauline Suharno, mengatakan pengguna jasa perjalanan semakin kritis dalam memilih penginapan.
Menurut dia, konsumen cenderung menginginkan hotel yang sudah memiliki sertifikat cleanliness, health, safety, and environmental sustainability (CHSE). "Jadi, kalau ada persyaratan yang tidak bisa dipenuhi hotel, mau tak mau kami harus berpindah (mitra akomodasi),” ucap dia kepada Tempo, kemarin.
Pauline mengungkapkan, Astindo, yang beranggotakan lebih dari 9.500 agen, baik yang berstatus perusahaan maupun perorangan, kerap bermitra dengan penginapan dari berbagai kelas. Persoalannya, dia menyebutkan, belum semua pengelola kamar memiliki sertifikat CHSE karena terhambat pemangkasan biaya operasional.
"Hotel sedang memangkas biaya yang membuat layanannya berkurang. Tapi kami tetap harus ikut membantu sosialisasi CHSE untuk menjaga permintaan,” tuturnya.
Petugas kebersihan mengolesi gagang telepon dengan cairan disinfektan di salah satu hotel di Bali, 5 Juni 2020. Johannes P. Christo
PT Efata Ultrans Tour Bali termasuk perusahaan penyedia jasa perjalanan wisata yang mengutamakan penginapan yang sudah lolos CHSE. Managing Director Efata, Intan Novriyanita, mengatakan adanya persyaratan CHSE membuat jumlah penyedia akomodasi yang bisa diajak bermitra semakin minim.
"Hotel-hotel yang membuat program promo pun banyak yang tidak merespons (tawaran menjadi mitra).”
Selain masalah CHSE, dia mengimbuhkan, beberapa kontrak kerja sama paket wisata yang sudah dijalin Efata Tour dengan sejumlah hotel berbintang di Bali terputus karena tutupnya hotel tersebut. Sebagian pengelola hotel menjual aset karena tak sanggup membiayai kegiatan operasional dan gaji karyawan. "Kontrak putus karena tutup atau diakuisisi oleh manajemen baru,” ucap Intan.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, mengatakan tekanan bisnis akibat pandemi membuat manajemen hotel menghentikan kontrak dengan agen perjalanan ataupun agen promosi. Bukan hanya itu, supaya bisa bertahan di tengah pembatasan mobilitas, pengelola hotel juga harus banting tarif kamar.
"(Tarif kamar) turun sampai 40 persen dari harga normal. Dengan pendapatan terbatas, sudah tentu ada kontrak dengan agen perjalanan yang tak bisa dilanjutkan lagi,” kata dia.
Pelanggan memilih paket tur di Jakarta, 5 November 2020. Tempo/Tony Hartawan
Dari catatan PHRI, hotel hanya sempat memasang tarif kamar normal pada masa libur Natal dan tahun baru 2021. Liburan akhir tahun berlalu, tarif pun kembali jatuh sejak Januari lalu. Data PHRI juga menyebutkan tingkat okupansi kamar rata-rata hotel nasional mencapai angka terendah di bawah 10 persen pada April 2020, dan hanya bisa menanjak menjadi 30-35 persen di pengujung 2020.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno menargetkan sertifikasi CHSE pada tahun ini bisa menyasar 6.500 pelaku usaha pelesir. “Angka ini harus kita tingkatkan lagi dengan cara merangkul dunia usaha agar mau berpartisipasi,” tuturnya.
Saat mengucurkan hibah sektor pariwisata senilai Rp 3,3 triliun ke 101 kota dan kabupaten pada akhir tahun lalu, pemerintah telah menggenjot program sertifikasi CHSE gratis yang bisa diikuti oleh pengelola hotel dari seluruh Indonesia. Program itu didanai dengan kas Kementerian Pariwisata sebesar Rp 119 miliar. Sandi mengklaim sertifikasi CHSE pada 2020 sudah diikuti oleh 6.000 pelaku bisnis wisata dan ekonomi kreatif.
YOHANES PASKALIS