JAKARTA – Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat akan menyelesaikan tarik-ulur wewenang penetapan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa atau toll fee dalam revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi. "Kami membuka peluang perbaikan toll fee dan akselerasi investasi di sektor hilir migas," kata Wakil Ketua Komisi Energi DPR, Eddy Soeparno, kepada Tempo, kemarin.
Tarik-ulur mengenai kewenangan penetapan toll fee ini berawal dari surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif kepada Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada 2 Mei lalu. Arifin meminta penetapan toll fee gas bumi yang menjadi wewenang Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas dialihkan ke Menteri Energi atas persetujuan presiden. Tujuannya adalah meningkatkan daya saing industri melalui percepatan pemanfaatan gas bumi. Kebijakan ini juga dinilai bisa mendorong implementasi penetapan harga gas khusus untuk industri tertentu.
Pengalihan wewenang sempat diakomodasi dalam Undang-Undang Cipta Kerja versi 812 halaman yang dikirim DPR kepada Sekretariat Negara pada 14 Oktober lalu. Dalam Pasal 46 disebutkan bahwa BPH Migas wajib mendapatkan persetujuan Menteri ESDM dalam pengaturan dan penetapan toll fee. Namun pasal tersebut menghilang dalam naskah versi 1.187 halaman yang dikirimkan Sekretariat Negara ke sejumlah organisasi Islam.
Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, menyatakan perubahan itu terjadi karena kesalahan teknis. "Seharusnya (Pasal 46) dihapus," katanya. Dia berdalih, dalam pembahasan panitia kerja, usul pengalihan wewenang BPH Migas itu tak disetujui, tapi ternyata tetap tercantum dalam naskah yang dikirim ke pemerintah. Supratman menyatakan penghapusan pasal dilakukan setelah Sekretariat Negara memeriksa naskah yang dikirim DPR.
Merujuk pada klarifikasi tersebut, Eddy menyatakan Komisi Energi akan memastikan BPH Migas melanjutkan tugasnya, tapi dengan sejumlah perbaikan yang akan diatur dalam revisi UU Migas. "Terutama perbaikan terkait dengan jalur pipa yang sudah ditender cukup lama tapi masih mangkrak, sehingga aspek keekonomiannya sudah berubah," katanya. Dia berkaca dari keputusan PT Rekayasa Industri yang mundur dari proyek gas transmisi Cirebon-Semarang lantaran tak mampu membiaya proyek yang dimenangi lelangnya 14 tahun lalu itu.
Ketua Indonesian Natural Gas Trader Association, Eddy Asmanto, mengapresiasi kinerja BPH Migas dalam penentuan toll fee. Sebab, kata dia, tarif ditentukan secara terbuka dengan aspirasi dari semua pemangku kepentingan. Namun dia mendukung koreksi tarif di ruas transmisi tua. "Karena sudah terdepresiasi dan operator tinggal menikmati keuntungan," tuturnya. Eddy juga menyoroti besaran iuran pengangkutan gas bumi. Menurut dia, iuran tersebut membebani shipper.
Anggota Komite BPH Migas, Jugi Prajogio, telah empat kali mengubah aturan toll fee agar lebih efisien dan memenuhi skala keekonomian. Aturan terbarunya tercantum dalam Peraturan BPH Migas Nomor 34 Tahun 2019. Dalam regulasi tersebut, BPH Migas mengatur tarif di 60 ruas pipa dengan rata-rata toll fee US$ 0,353 per juta standar kaki kubik (MSCF) dan mempertimbangkan nilai basis aset. "Jangka waktu depresiasi minimal 16 tahun," katanya.
Namun Jugi menyatakan belum ada rencana untuk mengubah besaran iuran. Sebab, kata dia, prosesnya tak akan mudah lantaran membutuhkan perubahan peraturan pemerintah. "Iuran ini kecil sekali sehingga tidak berpengaruh besar terhadap harga jual," ujarnya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | VINDRY FLORENTIN