Rentetan proyek penugasan dari pemerintah memaksa petinggi badan usaha milik negara (BUMN) bidang konstruksi untuk mengatasi utang yang menumpuk.
Direktur Utama PT Waskita Karya (persero) Tbk I Gusti Ngurah Putra salah satunya. Bersama lima bos BUMN lainnya, Putra menemui Presiden Joko Widodo, Senin pekan lalu, untuk menjelaskan kondisi keuangan dan langkah memperbaikinya.
Dari laporan keuangan triwulan III 2019, utang PT Waskita mencapai Rp 108 triliun dan utang jangka pendeknya Rp 58,8 triliun. Penjualan aset dan pembayaran proyek dengan skema turnkey menjadi andalan untuk menambal kas. "Makanya kami tak agresif berekspansi," ujar Putra kepada tim Koran Tempo di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Kamis lalu.
Apa isi pertemuan BUMN karya dengan Presiden Joko Widodo?
Pak Jokowi ingin tahu kapasitas keuangan. Selain Waskita, ada PT PP, Wijaya Karya, Adhi Karya, Hutama Karya, dan Jasa Marga. Saya jelaskan sampai triwulan III tahun lalu gearing ratio (rasio utang terhadap modal) Waskita sekitar 2,93 kali. Tapi, kami dapat mencairkan banyak proyek turnkey, hampir Rp 24 triliun. Pada akhir tahun, rasio utang terhadap modal turun menjadi 2,3 kali.
Apakah rencana menjaga kinerja keuangan juga disampaikan?
Iya. Saya melaporkan penjualan dua ruas jalan tol tahun lalu, sehingga ada uang masuk. Nilai aktual jalan tol Solo-Ngawi Rp 1,85 triliun, ditambah jalan tol Ngawi-Kertosono Rp 562 miliar. Pembelinya Kings Key Ltd yang berasal dari Hong Kong. Artinya di mata dunia internasional, infrastruktur kita menjanjikan. Menjual barang mahal itu tidak gampang. Kami akan jual lagi empat ruas tahun ini. Sudah ada investor asing yang tertarik.
Jadi, pengembangan kapasitas keuangan jadi fokus perseroan?
Kalau kapasitas keuangan tidak bagus, investasi pasti terhambat. Kami harus selalu mencari ruang investasi baru. Misalnya ke bidang energi, properti, dan rencana yang paling dekat adalah mendukung ibu kota negara baru.
Bagaimana reaksi pemerintah mendengar beban BUMN karya?
Sebenarnya kami berterima kasih dengan pemberitaan karena pemerintah jadi peduli, terutama perihal pembayaran proyek turnkey, misalnya untuk light rail transit (LRT) Palembang. Pak Jokowi meminta kami agar bisa mengatur kapasitas keuangan.
Apakah perusahaan melihat proyek baru bisa meningkatkan pendapatan?
Strategi kami menjadi pengembang, bukan operator. Pada 2014 dan 2015 kami banyak mendapat proyek jalan tol. Saat itu kami menawarkan saham perdana (IPO) dan mendapat penyertaan modal negara. Sekarang investasi agak turun karena pemerintah belum punya proyek jalan tol yang baru. Sempat ada lelang jalan tol Semarang-Demak, namun kami kalah. Ada juga proyek jalan tol Solo-Yogyakarta yang tendernya masih berproses. Itu sebabnya, kemungkinan untuk tumbuh sulit.
Sudah ada target kontrak baru untuk 2020?
Kami targetkan nilainya Rp 48 triliun. Sebagian dari investasi Waskita Toll Road, anak usaha kami, untuk proyek dari luar negeri. Di Manila, Filipina, kami ikut tender light rail transit (LRT) yang nilainya Rp 6 triliun. Di Malaysia juga kami mencari proyek. Ada tawaran LRT di Serawak yang masih dijajaki. Kami murni bergerak sebagai kontraktor, bukan investor.
Benarkah Badan Pemeriksa Keuangan sempat mengingatkan Waskita untuk mengantisipasi beban bunga?
Ya, secara personal, kemudian saya minta dukungan. Pada dua-tiga tahun lalu bunga bisa dikapitalisasi. Begitu jalan tol selesai, beban bunga kami tahun lalu setidaknya Rp 3-3,5 triliun per tahun dan masih begitu kondisinya saat ini. Artinya, sehari bisa Rp 10 miliar. Jadi, setiap bangun tidur, saya sudah memikirkan bunga pinjaman Rp 10 miliar. Makanya kami tak agresif berekspansi karena harus mengembangkan kapasitas keuangan. Jangan sampai ekspansi mengorbankan kinerja.
YOHANES PASKALIS PAE DALE
I Gusti Ngurah Putra
Pendidikan:
- Sarjana teknik sipil Universitas Brawijaya (1984)
- Magister manajemen Universitas Prasetyo Mulya (2004)
Karier:
- Direktur Utama PT Nindya Karya (2011-2014)
- Direktur Utama PT Hutama Karya (2014-2018)
- Direktur Utama PT Waskita Karya Tbk (April 2018–sekarang)