Belum lama mengembangkan usaha yang bergerak di bidang artificial intelligence (AI), Meidy Fitranto paham betul akan sulitnya mencari sumber daya manusia yang andal, khususnya di bidang computer vision. "SDM yang tersedia masih langka. Ini salah satu tantangan terbesar," ujar Chief Executive Officer & Co-Founder Nodeflux Teknologi Indonesia itu. Namun Nodeflux tak ingin mencari jalan pintas dengan menarik tenaga kerja asing. "Kami ingin menaikkan kepercayaan bahwa SDM kami pasti bisa melakukannya," kata Meidy saat wawancara pada Jumat lalu. Berikut ini petikan wawancara dengan Meidy.
Bagaimana strategi untuk memenuhi kebutuhan SDM di bidang ini?
Kami masuk ke komunitas-komunitas, universitas, lalu melakukan riset bersama dengan melibatkan mereka dalam proyek yang kami miliki. Seiring dengan tumbuhnya industri teknologi informasi, minat mereka untuk masuk ke sektor ini juga meningkat. Lihat saja daftar perusahaan terkaya yang sekarang diduduki Google, Facebook, dan Apple. Maka kami memberikan preferensi dan kesempatan buat anak-anak Indonesia untuk bisa menunjukkan kapasitas dan kapabilitasnya.
Apakah perkembangan industri AI saat ini sudah menggembirakan?
Perkembangan adopsi AI di Indonesia memang masih tahap awal. Ada ketertinggalan dibandingkan dengan negara lain. Tapi pemainnya mulai banyak. Artinya, awareness dan antusiasmenya sudah ada. Setidaknya ada dua topik yang mendorong adopsi AI di Indonesia, yakni industri 4.0 dan transformasi digital, baik di sistem pemerintahan maupun sektor swasta.
Siapa saja klien dan proyek yang pernah Nodeflux kerjakan?
Kami terlibat dalam perhelatan Asian Games dan International Monetary Fund (IMF) 2018. Kami diminta melakukan pengawasan publik via kamera pemindai (CCTV). Di antaranya untuk pengenalan wajah, pengenalan pelat nomor kendaraan, estimasi kerumunan orang, hingga behaviour massa tersebut kalau ada sinyal terjadi kekacauan. Jadi, fokus kami pada solusi keamanan. Tapi kami juga masuk ke solusi finansial, seperti kebutuhan electronic know your customer (e-KYC) untuk fintech, perbankan, asuransi, dan retail.
Benarkah Nodeflux ikut dalam pengembangan e-KTP?
Iya, kami diminta Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk membantu pengembangan e-KTP. Salah satu yang menjadi perhatian adalah antisipasi fraud di tengah tren menuju transaksi via digital karena KTP bisa disalahgunakan. Kami menggunakan face recognition untuk mendukung kebutuhan deteksi fraud, sehingga aktivitas bisnis bisa dipertanggungjawabkan. Jadi, kami menyediakan platform bersama yang bisa digunakan banyak pihak untuk melakukan verifikasi, termasuk menyalurkan bantuan sosial.
Jadi, bisnis teknologi AI ini menjanjikan?
Peluangnya masih terbuka lebar. Kami juga berupaya berinovasi dan menyediakan beragam solusi untuk banyak sektor. Bicara kinerja perusahaan, kami juga membahagiakan. Kami sudah meraup laba bersih pada 2018, padahal berdiri pada awal 2016. Pertumbuhan pendapatannya juga lumayan signifikan. Kenaikan 1,5-2 kali lipat per tahun.
Apa dukungan yang dibutuhkan dari regulator?
Cukup banyak. Kami saat ini berkompetisi dengan perusahaan Cina, Jepang, dan Amerika Serikat. Mereka mendapat endorsement sangat baik dari pemerintah masing-masing. Ekosistem di negara mereka sudah sangat mendukung. Di Cina bahkan sudah masuk industri strategis nasional. Kami sudah berdiskusi dengan Kemenristek, BPPT, LIPI, dan Kemendikbud, termasuk mulai membahas kurikulum perihal AI.
GHOIDA RAHMAH
Chief Executive Officer & Co-Founder Nodeflux Teknologi Indonesia, Meidy Fitranto: Peluang Industri Kecerdasan Buatan Terbuka Lebar