JAKARTA - PT Asuransi Jiwasraya (Persero) berusaha menata kembali portofolio investasi sebagai salah satu upaya restrukturisasi dan penyehatan perusahaan. Perubahan komposisi penempatan investasi akan dilakukan secara bertahap dalam lima tahun ke depan, dimulai dengan melepas saham bervaluasi rendah.
"Jika memungkinkan, portofolio saham dan reksa dana saham harus dilepas setelah resmi dinyatakan fraud," ujar Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Hexana Tri Sasongko, kepada Tempo. Namun, menurut Hexana, ini tidak mudah. "Sulit karena nilainya sudah Rp 50. Ada juga yang sudah tidak diperdagangkan dan terkena suspend sehingga tidak likuid," katanya.
Setelah itu, menurut Hexana, pengelolaan investasi dirombak dengan menerapkan manajemen portofolio yang memperhatikan prinsip kehati-hatian. "Khususnya terkait risk appetite dan sesuai dengan petunjuk regulator," ucap dia.
Komposisi yang sehat itu meliputi surat utang pemerintah paling sedikit 30 persen, surat utang perusahaan BUMN dengan rating investment grade, juga saham dan reksa dana saham kelompok papan atas LQ45 maksimal 20 persen.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelumnya menemukan dugaan penyimpangan dalam pengelolaan investasi dan keuangan perusahaan asuransi pelat merah itu. Ketua BPK Agung Firman Sampurna menyebutkan kebijakan jual-beli saham di bawah manajemen lama Jiwasraya terindikasi dilakukan oleh pihak-pihak terafiliasi. "Pihak-pihak yang terkait adalah pihak internal Jiwasraya pada tingkat direksi, general manager, dan pihak lain di luar Jiwasraya," kata dia.
BPK mencatat Jiwasraya melakukan investasi pada saham-saham perusahaan yang berkualitas rendah yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan, di antaranya saham PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR), PT Semen Baturaja Tbk (SMBR), dan PT Property Tbk (PPRO). Indikasi kerugian akibat transaksi itu diperkirakan sekitar Rp 4 triliun.
Jiwasraya juga memiliki sekitar 28 produk reksa dana dan 20 produk reksa dana di atas 90 persen, yang sebagian besar memiliki underlying saham berkualitas rendah atau lapis kedua dan tidak likuid, di antaranya saham PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP), PT SMR Utama Tbk (SMRU), PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR), PT Semen Baturaja Tbk (SMBR), PT Property Tbk (PPRO), saham PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), serta PT Hanson International Tbk (MYRX). Indikasi kerugian sementara akibat penurunan nilai saham pada reksa dana ini diperkirakan sekitar Rp 6,4 triliun.
BPK selanjutnya turut mempersoalkan keputusan manajemen lama dalam memilih perusahaan manajer investasi yang tidak masuk golongan top tier. "Analisis manajer investasi tidak dilakukan secara memadai, dibuat seolah-olah mereka memiliki kinerja yang baik, sehingga dapat dipilih Jiwasraya untuk menempatkan investasi," ucap Agung.
Mantan Direktur Keuangan dan Investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Hary Prasetyo, mengatakan kondisi keuangan perusahaan yang minus memicu manajemen merambah instrumen keuangan lain untuk menggenjot saham, obligasi, deposito, dan reksa dana untuk menggenjot pendapatan. "Jadi, saya harus akui, mau enggak mau harus masuk portofolio lapis kedua untuk mendapatkan return tinggi menutup minus tersebut."
Hary mengaku tak mengetahui secara detail perihal pemilihan manajer investasi karena prosesnya berlangsung di bawah kajian kepala divisi investasi. "Yang sampai ke saya hanya kajian reksa dana bisa mencapai imbal hasil sekian," ucapnya.
Salah satu perusahaan yang mengelola investasi Jiwasraya pada reksa dana saham adalah PT Dhanawibawa Manajemen Investasi. Di perusahaan ini, Hary merupakan salah satu pendirinya. Menurut Hary, ia sudah tidak ada urusan dengan Dhanawibawa sejak 1994. "Saya tidak mengurus hal itu dan tidak kenal siapa-siapa lagi di sana," ujarnya. GHOIDA RAHMAH
Jiwasraya Sulit Melepas Investasi Bermasalah